Ada yang Bahagia Melihat Bangsa Ini Susah Di Masa Pandemi
Oleh: Agung Wibawanto
“Senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang”.
Mungkin ungkapan ini sangat tepat ditujukan kepada sekelompok orang yang tengah bahagia melihat pemerintahnya susah. Atau sebaliknya mereka akan susah jika pemerintah berhasil menjalankan program-programnya, manfaat buat rakyatnya.
Adakah kelompok seperti itu? Jangan pura-pura tidak tahu.
Tidak perlu saya detailkan, pastinya sikap seperti itu tidak hanya parsial dan temporary. Sikap ini sengaja dibangun, ditanam dan disebarluaskan hingga ke semua sektor, semua lini kehidupan masyarakat. Tidak hanya sehari dua hari, namun selamanya sepanjang mereka belum pada posisi “menang” (baca: berkuasa). Dalam kondisi pandemi dan “tidak normal” seperti sekarang ini, kelompok itu seperti menutup mata, tidak mau tahu.
Yang mereka tahu adalah, salahkan terus pemerintah, sebarkan kebencian itu dan jika mungkin jatuhkan presiden. Itu saja, tidak ada yang lain. Tidak peduli akibat yang mereka lakukan banyak rakyat menjadi korban virus karena tidak percaya covid dan menolak vaksin. Tidak peduli banyak rakyat diperiksa polisi karena termakan hoax hingga melawan prokes. Akibat negatif yang menimpa rakyat justru dijadikan pula sebagai tujuannya untuk menyerang pemerintah.
Posisi Pemerintah
Begini, ada dua opsi yang sudah sangat diketahui oleh pemerintah terkait dengan penanganan pandemi Corona.
Pertama, lakukan upaya keras dan tegas untuk menekan penyebaran virus, yakni: lockdown. Dampak yang ditimbulkan adalah keterbatasan pangan untuk rakyat dan ekonomi nasional menurun tajam. Dampak sosialnya rakyat menjadi stress karena tidak diperbolehkan kemana-mana dan diterapkan jam malam.
Kedua, lakukan upaya losdon, alias membiarkan saja rakyat terpapar positif hingga memunculkan sendiri imunitas komunal. Kehidupan berjalan seperti biasa. Dampaknya sudah pasti meningkatnya kasus pencemaran covid hingga menuju kematian. Adakah pengetahuan ataupun pengalaman dari negara lain terkait dua jalan menangani pandemi ini? Ada. Yang secara pasti kita bisa melihat India. Di awal pandemi, Pemerintah India menerapkan kebijakan ketat hingga lockdown.
Akibatnya terjadi krisis kemanusiaan berupa rakyat yang kelaparan. Namun setelahnya, pemerintah India berbalik melonggarkan kebijakan hingga rakyat bebas berkerumun merayakan hari kebesaran agama di sungai Gangga. Kasus covid di India pun melonjak tinggi hingga kewalahan menampung dan melayani pasien. Bahkan untuk menguburkan atau kremasi jenazah pun harus antri panjang.
Faktor lainnya, banyak warga di India yang tidak percaya covid dan meremehkannya. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? Sejak awal, Jokowi lebih memilih jalan tengah. Kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat yang utama, tapi roda perekonomian juga tidak boleh berhenti. Membolehkan beberapa sektor ekonomi tetap beroperasi, namun dilakukan pula pembatasan berskala besar untuk masyarakat lainnya.
Program bantuan sosial pun diberikan untuk membantu rakyat bertahan hidup, terutama mereka yang berstatus kurang mampu. Usaha mikro kecil-menengah mendapat subsidi. Dan banyak lagi program bantuan lain. Strategi ini dipilih agar tidak terjadi gangguan yang dampaknya bisa menjadi fatal. Hal ini sambil menunggu vaksin yang akan disuntikkan kepada setidaknya 70% rakyat Indonesia hingga muncul kekebalan komunal. Tahap vaksinasi hingga kini tengah berjalan.
Teriakan Rakyat Oposan
Saya katakan “rakyat oposan” karena memang ada dan nyata. Kelompok rakyat tersebut bentukan ataupun produk dari partai-partai oposisi penentang pemerintah. Sejak awal mereka sudah menyalahkan pemerintah yang mengatakan terlalu menyepelekan, tidak tanggap, lambat, dll. Beberapa saat kemudian, lihat teriakan lainnya, saat kebijakan mulai diperketat: menyusahkan, rakyat jadi sengsara, kelaparan, kemiskinan dll.
Bagaimana ketika sudah diperketat dan ada pula program bantuan sosialnya? Suara mereka berubah lagi, teriakannya kali ini seperti: rakyat dicovidkan, tidak ada Corona, negara lain sudah tidak bermasker, vaksin itu untuk membunuh dll. Saat libur lebaran rakyat yang terprovokasi suara oposan berbondong-bondong mudik dan melawan himbauan pemerintah. Paska peristiwa itu terjadi peningkatan jumlah kasus positif covid.
Kondisi ini ditambah pula dengan mulai munculnya virus varian baru di Indonesia (delta). Dengan sangat terpaksa pemerintah kembali menginjak rem dalam-dalam mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat. Kembali suara oposan protes menganggap PPKM tidak ada gunanya dan terbukti gagal, sebaiknya presiden mundur saja. Tingginya kasus covid karena kebebalan rakyat, yang disalahkan pemerintah.
Pemerintah menekan penyebaran covid dengan pembatasan mobilitas, juga disalahkan dianggap menyengsarakan rakyat. Lantas maunya apa? Jelas, maunya mereka hanya Jokowi mundur dari presiden. Ketahuilah, jika kita melihat dalam data, jumlah penambahan kasus harian Covid-19 pada Kamis, 15 Juli 2021 adalah 56.757 kasus. Ini merupakan penambahan kasus terbanyak yang dilaporkan selama pandemi.
Kemudian pada Jumat, 16 Juli 2021, jumlah penambahan kasus harian ada 54.000 kasus. Pada Sabtu, 17 Juli 2021, jumlah kasus harian yang diumumkan ada 51.952. Di hari Minggu, jumlah kasus harian yang dilaporkan 44.721 kasus. Sedangkan kemarin, Senin (19/7) jumlah kasus harian yang dilaporkan 34.257 kasus (Sumber: Kompas 20/7). Selasa (20/7) presiden Jokowi berkeputusan memperpanjang masa PPKM hingga 25 Juli 2021.
Dalam artian begini, trend kasus baru covid 19 sudah mengalami penurunan sejak 4-5 hari lalu. Nah, jika trend tersebut dapat dipertahankan hingga 25 Juli, maka per 26 Juli kebijakan akan diperlonggar. Mengapa menjaga trend harus lebih dari 4-5 hari? Jangan lupa kita baru saja melalui hari raya idul adha. Di mana masih banyak masyarakat yang bandel berkerumun melakukan kegiatan sholat Ied hingga penyembelihan hewan qurban.
Maka harus dilihat dulu apakah trend turun tadi mengalami perubahan menjadi trend naik kembali setelah 5 hari ke depan? Jika dipikir, pemerintahan mana yang hatinya happy menghadapi masa pandemi ini? Lihat Malaysia sudah berbulan-bulan lockdown tapi kasus positif masih tetap tinggi. Negara-negara yang kemarin dibanggakan sudah tidak pakai masker, seperti: AS, Inggris, Prancis dll kini mengalami trend naik lagi.
Terutama karena adanya virus varian baru hingga adanya klaster Piala Eropa beberapa waktu lalu. Semua kita di berbagai belahan dunia tengah menderita, bukan hanya bangsa Indonesia saja. Jika kita patuh mengikuti prokes serta menjaga diri, keluarga dan lingkungan, maka penyebaran rantai covid dapat kita tekan bahkan kita putuskan. Tapi jika kita abaikan apalagi ingin menantang virus, maka sampai kapan pun akan terus muncul kasus-kasus baru. Itu saja. Simpel banget.
Agung Wibawanto, Penulis adalah Jurnalis dan Pengamat Sosial