Esai  

Masyarakat: Jika Tuhan Maha Kuasa, Mengapa Tidak Menghentikan Corona?

Kilatnews.co – Memperdebatkan soal teologi merupakan perdebatan yang tidak akan pernah berhenti. Teologi yang saya maksudkan di sini adalah cara kita memahami dan berhubungan dengan Tuhan.

Apalagi pada masa-masa pandemi seperti ini. Akan banyak mucul pertanyaan-pertanyaan yang beraroma “skeptis”, tentang kekuasaan Tuhan.  Itu merupakan suatu kewajaran, saya kira kita selaku manusia yang berkeyakinan tidak mudah emosional jika menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini.


Dulu pada tanggal 28 juni 1982 Majalah Tempo, menerbitkan tulisan Gus Dur, berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang saya pandang dari kacamata awam itu sangat kontroversial, karena sampai saat ini perdebatan soal apakah Tuhan perlu dibela atau tidak, tetap menjadi diskursus yang tidak berkesudahan. Ditambah dengan ledakan-ledakan peristiwa soal penistaan agama yang masih kerap terjadi.

Ditambah lagi dengan karyanya Ulil Abshar Abdalla, dengan judul bukunya yang secara gamblang melontarkan satu pertanyaan besar “Jika Tuhan Maha Kuasa, Kenapa Manusia Menderita?”. Yang ditulis juga pada masa-masa pandemi.

Pernyataan dan pertanyaan yang berkaitan dengan kekuasaan Tuhan merupakan suatu diskursus yang menarik untuk kita telaah lebih dalam. Agar kita menjadi manusia yang beragama tidak hanya sekedar ikut-ikutan, dan tidak mudah digoyahkan walaupun pada situasi yang dirasakan cukup melelahkan (pandemi).

Dan pertanyaan: jika Tuhan Mahakuasa, mengapa Tuhan tidak menghentikan Corona? Juga pertanyaan yang kerap didengungkan oleh sebagian masyarakat yang meragukan antara ada dan tiadanya wabah ini.

Pernyataan semacam ini dalam tradisi teologi, jika meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla disebut sebagai “teodisi”. Dalam isitilah umum, teodisi sendiri adalah upaya untuk menyelesaikan masalah kejahatan dengan menyelaraskan keberadaan Tuhan yang mahakuasa dengan keberadaan kejahatan atau penderitaan di dunia. Perisis seperti krisi ekonomi dan pandemi pada saat ini.


Tuhan dalam konsepsi Islam, memiliki kekuasaan atas segala hal (Qadirun), yang bersifat mutlak dan sempurna. Sehingga adanya kehidupan pada makhluk hidup di dunia ini tentu atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.

Alhasil, kehidupan selalu berkaitan dan berimplikasi akan kemampuan Tuhan. Itulah yang membuat segala sesuatu yang terjadi selalu dipertanyakan peran Tuhan di sana.

Bahkan, peran Tuhan digambarkan oleh Al-Ghazali atau dikenal sebagai Algazel oleh orang Barat, seorang filsuf yang hidup abad pertengahan dari Persia. Dalam Ihya‘  ia menyatakan bahwa kemampuan dan kekuasaan Tuhan tidak terbatas begitu pula pengetahuan-Nya.

Dan sangat wajar lontaran pertanyaan semacam itu hadir di tengah-tengah kita semua. Dan jawabnya memiliki satu benang merah yang sama, seperti yang tertulis dalam karya Ulil Abshar Abdalla. Bahwa pandemi Corona yang sedang melanda seluruh dunia sekarang, dilihat dari satu sisi adalah penderitaan yang besar bagi jutaan manusia.

Ribuan buruh kehilangan pekerjaan, kasus kelaparan semakin sulit teratasi, lapangan pekerjaan semakin terdegradasi, ekonomi mengalami stagnasi dan perlambatan drastis. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan, dan tidak bisa dipungkiri malah terjadi kericuhan sana sini.

Ribuan nyawa hilang tanpa pandang kedudukan dan status sosial, yang meninggalkan duka dan luka bagi keluarga yang ditinggalkan. Tapi, tidak semua kisah pandemi adalah soal kesedihan yang tidak berarti.

Ada hal-hal baik yang demikian terjadi, salah satunya adalah munculnya pola komunikasi baru, dengan menggunakan sistem online.

Semua lembaga pendidikan dan tata kehidupan bermasyarakat beralih ke pola jarak jauh, yang semula tidak tahu soal Zoommeeting menjadi melek dengan teknologi.

Banyak para relawan dan orang-orang baik hadir, yang rela menyumbangkan hartanya untuk seksama. Yang semula tidak peduli sekarang lebih memiliki rasa empati. Dan hal-hal baik lainya yang saban hari terjadi.

Sebagai manusia yang berkeyakinan, haruslah selalu menaruh harapan baik, husnuzzan kepada Tuhan. Kepercayaan bahwa di balik segala penderitaan dalam sekala besar, ada hikmah besar dalam sekala besar pula yang terjadi, yang mungkin terkadang kita sadari belakangan.

Dengan situasi seperti ini, jangan putus harapan, selalu ada cahaya di ujung lorong kegelapan. Kita harus terus menjaga pikiran-pikiran baik. Menghidup-hidupi harapan. Pandemi bisa menghentikan kaki untuk melangkah, tapi jangan sampai menghentikan plan(demi) berbuat kebaikan.

Tuhan telah memberikan kita potensi, selanjutnya tugas kitalah sebagai manusia untuk mengaktualisasikan potensi untuk menghentikan pandemi Corona ini. Itulah jawaban atas segala kegelisahan yang dapat kita temukan.


Mahadir Mohammed, Penulis adalah Penggiat Literasi