Tema tulisan ini, lahir atas kajian bersama dari putra-putri daerah yang berhimpun di Rumah Tala Ia Yogyakarta dan juga mrupakan bagian dari warga yang terdampak bencana. Tentu kami sebagai putra-putri daerah sangat menyayangkan sikap pemerintah Kabupaten Lembata yang tidak Konsisten dan bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi di daerah akibat bencana.
Diskursus mengenai perencanaan proyek realokasi merupakan bagian dari strategi kepengaturan rasionalitas dan birokratis pasca bencana dengan ilmiah tentang bencana. Secara substantif teoritis kepengaturan merupakan salah satu upaya pengturan terhadap kehidupan manusia dengan cara-cara yang terukur. Sebagai bagian dari teknik prosedur yang diterapkan menempatkan kehidupan manusia sebagai individu-individu dibawah otroritas kekuasaan yang bertanggung jawab untuk mengarahkan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi.
Pengertian mengenai praktik-praktik tata cara kepengaturan dalam bencana tidak terlepas dari diskursus yang lebih luas, yakni pengurangan resiko bencana. Berkaitan dengan premis bahwa teknik dan tata cara kepengaturan adalah taktik kekuasaan, alhasil kepengaturan bencana pun layak untuk ditelaah dalam bingkai relasi kekuasaan dengan mencermati betapa gejala ini tidak sama dengan kejadian bencana itu sendiri. Oleh karena hal tersebut bergerak paralel dengan kampanye global tentang pengurangan resiko bencana.
Bencana merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi kerentanan dalam struktur komunitas manusia, mempengaruhi besar kecilnya setiap gambaran sebagai suatu bentuk bencana. Betapapun demikian, kerentanan dapat ditekan dalam rangka menciptakan profil masyarakat yang selalu bangkit dari musibah bencana alam. Doktrin umum dalam kajian tentang bencana memberikan argumentasi faktual bahwa kerentanan dapat dikurangi seminimal mungkin dengan jalan memperkuat kapabilitas masyarakat.
Alasan mendasar dari doktrin itulah selanjutnya merangsang dorongan yang begitu besar untuk mengantisipasi berbagai acaman bencana sehingga tidak membombardir pencapaian pembangunan dan modernisasi dalam skala yang luas. Gagasan tentang kepengaturan resiko bencana alam berangkat dari kehendak tersebut agar memberikan motivasi atau dorongan dari berbagai aktor untuk menerapkan upaya intervensi guna membangun kehidupan masyarakat yang mempunyai seperangkat teknik untuk menyikapi bencana, baik pada masa sebelum maupun sesudah terjadinya bencana.
Pada sejumlah kawasan yang ditetapkan sebagai rawan bencana, diterapkan pola praktik-praktik yang spesifik. Masyarakat yang ada di daerah diarahkan agar mempunyai perencanaan dan prosedur kesiapsiagaan. Spesifiknya bagi masyarakat yang terpapar oleh bencana, mereka didoktrin dengan berbagai program pemulihan, pemberdayaan ekonomi, revitalisasi budaya lokal. Termasuk membangun kembali pemukiman yang dianggap aman terhadap bencana.
Dampak dari bencana seperti banjir pada 4 april 2021 di Kabupaten Lembata, Kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur, merasionalisasi praktik penerapan program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana bagi warga yang terdampak. Pemerintah, baik pusat maupun daerah menetapkan sejumlah daerah sebagai lahan baru untuk direalokasi demi menjalankan keberlangsungan hidup masyarakat secara turun-temurun. Kehadiran program proyek realokasi dilandasi dengan menularnya penyakit prasangka, rumor, dan pergolakan penolakan sebagian besar warga terhadap realokasi ditengah kelompok masyarakat.
Pada konteks realokasi pasca bencana, realokasi adalah salah satu program atau proyek yang terdapat dalam rangkaian kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Realokasi juga merupakan bentuk perwujudan atau aksi nyata dari ambisi perekayasaan yang dilakukan oleh pemerintah yang didalamnya mengandung unsur adanya monopoli dalam mengelolah kekuatan aksi paksaan, relatif dan tidak bertentangan dengan bentuk kekuasaan nonpolitik dan institusi-institusi yang mengurus persoalan sosial lainnya. Oleh sebabnya masyarakat yang direalokasi merupakan cerminan dari kondisi ketidakberdayaan sebagai korban, karena atas dasar itulah mereka kehilangan kontrol atas ruang secara fisik, serta tercerai-berai dari nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang melekat dibalik ruang fisik tersebut.
Proyek Realokasi Pasca Bencana
Program realokasi pasca bencana banjir dan tanah longsor 2021 dikabupaten Lembata, Kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur, merupakan bagian dari proyek yang dipegang oleh sistem kelembagaan yang bekerja dalam kegiatan rekonstruksi pascabencana banjir dan tanah longsor. Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah procurator terhadap proyek rekonstruksi dan rehabilitasi masyarakat pascabencana dan pembangunan kembali permukiman baru.
Program tersebut dikemas sebagai bagian dari strategi rekoinstruksi dan rehabilitasi tanpa ada kejelasan yang pasti. Dan juga tanpa melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak. Bahwa yang ditekankan terkait dengan nama proyek memang tampak eksplisit. Dengan mengutip pendapat Swinski dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang ditulis oleh Lubabuan Ni’am, Bahwa Rekonstruksi pasca bencana tidak dapat dilepaskan dari konsep partisipasi komunitas; pekerja bencana berperan dalam merancang dan menjalankan proyek-proyek yang menekankan pelibatan masyrakat.
Davidson dalam jurnal yang sama juga mengutarakan pandangan serupa, bahwa “literatur-literatur kontemporer mengenai pelaksanaan proyek rekonstruksi pasca bencana, mengkaji seputar paradigma yang telah diterima secara luas sebagai pertispasi komunitas.
Tentunya, proyek realokasi ini bukan tidak mungkin dapat merubah sesuatu. Jelas bahwa ada hunian rumah baru bagi warga korban bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi dikecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur. Terhadap korban bencana, peran dari procurator adalah memfasilitasi pembangunan rumah yang tahan terhadap gempa dengan merealokasi warga masyarakat ke daerah yang dipastikan aman untuk di huni.
Betapapun demikian, arahan mengenai realokais ini terbilang simpang siur dan tidak ada kejelasan dari otoritas yang bertanggung jawab. Atas dasar inilah sebagian besar warga menolak untuk direalokasi, karena masih nampak ketidakjelasan terkait konspesi realokasi. Di sisi lain mereka menolak atas dasar karena takut akan kehilangan kepemilkan hak atas tanah yang menjadi milik mereka yang sah.
Nalar Tanding Warga Pasca Bencana
Pasca bencana banjir 4 April 2021 di Kabupaten Lembata, Kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur, dua dari beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Lembata, terhempas oleh limpahan banjir lahar hujan yang merusaki dan mengubur puluhan warga. Oleh karena dampak lahar hujan itulah, kemudian warga diarahkan untuk direalokasi dalam artian mereka harus meninggalkan desa karena di cap sebagai kawasan rawan bencana lahar hujan.
Setelah lama waktu berjalan, peristiwa banjir dan tanah longsor tersebut sesuatu yang dapat disebut “Nalar” pun ikut berfikir dinamis. Bagaimana tidak, mereka menerima secara nalar diwaktu kejadian, tetapi juga kembali memasang nalar tandingan yang lain ketika sejumlah solusi kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah, mereka anggap tidak lagi benar bahwa kawasan mereka sebagai kawasan yang rawan terhadap bencana atau kawasan yang berbahaya selayak kondisis sebelumnya.
Warga masyarakat berani menolak kebijakan itu karena ketidakjelasan konsepsi realokasi dari pemerintah yang dianggap akan memberikan dampak bagi keberlangsungan hidup mereka dalam jangka waktu yang cukup panjang. Cara mengambil sikap berdasarkan permainan nalar seperti ini, tentu saja berbenturan dengan pertimbangan-pertimbangan dalam logika terkait penetapan kawasan rawan bencana atau berbahaya, yang dirumuskan secara ilmiah berdasarkan kejadian bencana banjir dan tanah longsor pada April 2021.
Beberapa hal yang menjadi masuk akal mengapa warga menolak untuk direalokasi. Pertama, penetapan lokasi lahan untuk pemukiman mereka yang baru tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan terbilang mendadak tanpa analisis secara komperehensif. Bahkan lahan yang dimaksud adalah lahan yang dihibahkan oleh perorangan dari masyarakat. Kedua, mereka menolak sikap pemerintah karena tidak juga adanya kejelasan mengenai konsep realokasi. Mereka justru lebih memilih untuk tetap bertahan dipemukiman meraka yang lama, karena takut akan kehilangan hak atas tanahnya dan bagaimana keberlangsungan hidup mereka setelah realokasi.
Dalam persepsi warga, jika memang demikian mereka harus tetap direalokasi, maka lahan yang sebelumnya pun tetap menjadi milik mereka demi memenuhi keberlangsungan hidup mereka. Akan tetapi berbeda dengan sikap pemerintah yang berbenturan dengan nalar masyarakat. Alhasil wacana realokasi itu terjadi maka lahan warga yang ditinggalkan akan diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian berupa fisik maupun non fisik. Tentu hal ini akan berpengaruh pada responsifitas dan tingkat kepuasan masyarakat dengan nalar Pemerintah terkait realokasi.
Dengan demikian sikap seperti ini bisa dikatakan ada kemungkinan besar proyek realokasi ini dimanfaatkan oleh segelintir kelompok yang punya otoritas untuk memonopoli lahan warga. Jelas bahwa ketakutan warga kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur akan kehilangan tanah yang menjadi hak mereka. Sebagian besar warga yang mau realokasi jika mereka harus melepas tanah yang mereka punya dan nantinya akan diwarisi dari generasi ke generasi.
Politik Kepengaturan Dibalik Realokasi
Pada titik pendekatan kepengaturan yang akan di telah dsini adalah merumuskan beberapa poin gagasan atau pemikiran generiK tentang intervesnsi kepengaturan pasca bencana.
Pertama, pendekatan kepengaturan realokasi warga masyarakat di dua kecamatan tersebut dapat menjadi pembahasan menarik untu mencaritahu dan merumuskan ulang pola kepengaturan realokasi dari pemerintah sebagai otoritas yang bertanggung jawab. Realokasi warga masyarakat tidak dapat dinafikan merupakan teknik-teknik yang diproduksi oleh institusi modern dan penyokongnya dalam rangka mengatur warga. Teknik kepengaturan melalui realokasi telah menunjukan bagaiman Pemerintah menjadi entitas yang berbeda dari warga.
Oleh sebab itu, untuk menguatkan realokasi dan memberikan pemahaman terhadap warga, Pemerintah mendayagunakan otoritas dan kewenangan untuk mengklaim kebenaran dari sebuah tindakan yang mestinya diambil oleh warga masyarakat. Pemerintah hadir sebagai ide atau gagasan yang memperkuat kebenearan akan dirirnya.
Kedua, Dalam praktik resiko kepenganturan bencana, program proyek rekonstrksi dan rehabilitasi pasca bencana termasuk juga realokasi itu terlihat sangan beragam dan tidak mempunyai kejelasan analisis. Hal tersebut munculah narasi tentang bagaimana kekuasaan bekerja untuk mendasari ruang yang berbeda dan bagaimana perencanaan terhadap ruang tersebut yang menghasilkan dampak terhadap kekuasaan. Penolakan dari sebagian besar warga di dua kecamatan itu dimana dengan mempertimbangkan bahwa kekuasaan akan mendapatkan legitimasi akan kepemilikan (monopoli lahan).
Warga masyarakat di dua kecamatan tersebut menjadi kelompok yang mempresentasikan diri sebagi pihak yang ditekan, diberi tipu daya, dan mengupayakan sendiri kebutuhan dalam rangka memperbaiki kehidupan pasca bnecana.
Terakhir, penolakan warga masyarakat bukanlah merupakan salah satu bentuk antipasti terhadap otoritas yang bertanggungjawab terhadap kepengaturan. Dalam konteks pasca bencana banjir dan tanah longsor, terdapat semacam upaya harapan perhatian melalui program proyek Pemerintah dan juga ungkapan-ungakapan rasa syur dan terimakasih kepada pihak-pihak diluar pemerintahan yang telah memberikan pendamppingan dan bantuan. Mereka kerap menempatkan diri sebagai subjek yang tidak bermaksud untuk menepis keterlibatan dalam segalanya.
Terbukti bahwa masih ada keterlibatan dalam menyiapkan team siaga, sekalipun menolak realokasi, bahkan tetap berharap ada celah yang dapat mereka terima dan diberikan oleh pihak luar.
Pada pendekatan kepengaturan mengenai bentuk realokasi pascabencana, dalam praktiknya tidaklah sepenuhnya sesuai dengan prinsip dasar tentang bentuk realokasi. Salah satu fenomena yang terlihat samar adalah ketidak jelasan dan tanggung jawab pemeritah terhadap keselamatan masyarakat di dua kecamatan tersebut. Penolakan sebagain besar warga terhadap realokasi, selanjutnya memberi ruang kontestasi antar warga dengan beberapa pihak. Warga berhadapan dengan beberapa institusi yeng mempunyai kuasa atas kepengaturan tersebut.
Penolakan itu bukan merupakan bentuk antipasti terhadap yang punya kuasa atas kepengaturan, namun lebih menunjukan irisan antara sikap mempertahankan diri untuk kehidupan yang lebih baik menurut mereka. Sekaligus bersikap taktis untuk tidak mengatakan pragmatis atas hadirnya sentuhan program proyek bantuan, maupun kebijakan dari berbagai phak.
Semua itu merupakan responsifitas terhadap bertambahnya aKtor dalam formasi tentang diskursus pengurangan resiko bencana yenag berarti semakin kompleks menunjukan warga masyarakat di dua kecamatan tersebut berada dalam diskursus itu, entah dalam bentuk penolakan maupun keretakkan internal warga ketika berhadapan dengan proyek realokasi pasca bencana.
Oleh sebab proram proyek realokasi bukanlah hasil dari sesuatu yang esensial, namun terhadap tragedi bencana banjir dan tanah longsor adalah sebuah kisah yang tidak ada akhir dan memuaskan semua pihak dan takkan menjanjikan akan adanya ketuntasan pasca bencana.
Penulis, Syahfuad Nur Rahmat
Mahasiswa Hukum Janabadra dan Putra Daerah Lembata