Solusi Untuk Lembata, Pasca Bencana Banjir

Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat

DALAM perspektif ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada 4 April 2021 di Kabupaten Lembata Kecamatan Ile Ape- Ile Ape Timur telah melumpuhkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk infrastruktur di dua kecamatan tersebut. Sebuah bencana besar yang juga mempengaruhi kondisi sosial masyarakat secara fisik dan psikologis.

Pemerintah dalam hal ini mengambil sikap tindak relokasi atau pemukiman kembali para korban bencana banjir dan tanah longsor ke daerah yang aman untuk tempat bermukim secara permanen, sehingga diharapkan mereka dapat menjalankan kehidupan seperti semula atau bahkan lebih baik.

Terlaksananya Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur Kabupaten Lembata kota pasca banjir dan tanah longsor, dengan adanya perkembangan kawasan permukiman baru untuk ditempati oleh korban banjir dan tanah longsor yang direlokasi, maka terhadap permasalahan yang timbul mengenai bagaimana sebenarnya kepastian hak dari tanah mereka yang lama setelah dilakukannya relokasi.

Tingkat kerusakan akibat banjir menyebabkan hancurnya beberapa bangunan di dua kecamatan tersebut yang letak geografis wialyahnya disekitar kaki gunung Ile Lewotolok, agar tidak memungkinkan lagi di bangun permukiman di kawasan kaki gunung. Startegi pengembangan di dua kecamatan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dibangunnya kawasan permukiman baru pasca bencana banjir dan tanah longsor ke daerah yang lebih aman. Penetapan lahan relokasi dengan kriteria lahan tersebut harus aman dari kemungkinan bencana banjir dan tanah longsor yang memiliki luas lahan yang memadai untuk menampung penduduk yang akan direlokasi ke wilayah tersebut.

Pelaksanaan relokasi korban bencana banjir dan tanah longsor untuk sementara masih dalam proses wacana, namun demikian bukan berarti tidak menyisakan berbagai pertanyaan. Permasalahan yang muncul adalah masih ada masyarakat yang tidak ingin dilakukannya konsep realokasi, mereka lebih memilih menempati rumah di daerah asalnya— dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya, kepastian hukum status hak atas tanahnya yang lama pasca relokasi akibat banjir dan tanah longsor. Seyogyanya tanah lama dilokasi bekas banjir dan tanah longsor menjadi milik pemerintah  dengan ketentuan setelah mendapatkan rumah bantuan yang diberikan. Hal demikian yang memicu timbul keragu-raguan masyarakat dengan ketidakjelasan Pemerintah, baik pusat maupun daerah tentang mekanisme realokasi.

Oleh karena itu diharapkan kepada pemerintah, apabila konsisten dalam melaksanakan relokasi, diharapkan untuk mengevaluasi atau menganalisis kembali lokasi relokasi rumah bantuan pasca bencana banjir dan tanah longsor, dikarenakan mengingat banyak sekali persoalan yang muncul terkait pelaksanaan relokasi tersebut dikemudian hari.

Tanah Menurut Hukum

Tanah sebagai bagian dari bumi secara jelas sudah disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Adapun ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan tinggi, yang dipelajari dalam hukum penataan ruang.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk menggunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.

Sebagaimana diketahui bahwa UUPA, selanjutnya dijabarkan dalam rangka mewujudkan pemanfaatan tanah bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia, diberi wewenang untuk pada tingkat yang tertinggi yaitu: 1); Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan tanah, dan pemeliharaannya; 2). Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai hak atas tanah; 3). Menentukan dan mengukur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan yang mengenai tanah.

Untuk melaksanakan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar–besar kemakmuran rakyat, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dalam dictum ke V UUPA yang merupakan pembaharuan hukum agraria bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dari segi hukum Indonesia yang berdaulat sempurna.

Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat Rechtscadaster.

Rechtscadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan hak nya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan. Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya.

Persoalan Baru Pasca Banjir

Setelah timbul hak baru dari pemerintah terhadap masyarakat yang tanahnya terkena bencana alam timbul permasalahan baru, bagaimana status hak dari tanah masyarakat yang sebelum terjadinya bencana alam tsunami, yang ingin di dayagunakan kembali oleh masyarakat, oleh karena itu sesuai dengan ketentuan pasal 27 UUPA tidak dapat dikatakan bahwa dengan adanya bencana alam status dari hak atas tanah dari seseorang akan dapat hilang begitu saja.

Dengan adanya bencana banjir dan tanah longsor tersebut bukannya tanpa meninggalkan masalah terhadap proses permasalahan agraria dari dampak bencana banjir dan tanah longsor tersebut, walaupun sudah terjadi bertahun-tahun lamanya permasalahan-permasalahan perihal agraria khususnya dibidang pertanahan, dalam hal ini walaupun sudah terjadi menahun akan tetapi masih ada muncul permasalahan-permasalahan lainnya setelah pelaksanaan relokasi tersebut. Menurut ahli hukum agraria Maria SW Sumardjono, tidak berarti korban bencana telah kehilangan hak milik atas tanah yang sebelum bencana menjadi milik mereka.

Hal ini disebabkan karena gempa bumi maupun hal yang sejenisnya merupakan bencana alam diluar kehendak manusia. Selain itu dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tidak mengenal penghapusan hak milik atas tanah dikarenakan terjadinya bencana alam. Sesuai dengan pasal 27 UUPA: Hak milik hapus bila : a). tanahnya jatuh kepada Negara : 1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena ditelantarkan; 4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b). tanahnya musnah.

Pendapat yang terkait juga dikatakan oleh Maria, bahwa “Prinsip utama relokasi adalah kesukarelaan masyarakat untuk bersama-sama pindah kelokasi yang baru”. Untuk ini, diperlukan transparansi dan akses informasi bagi masyarakat yang ikut dalam program relokasi berkenaan dengan fasilitas yang akan mereka peroleh dalam lokasi yang baru. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau di kenal dengan UUPA adalah undang-undang yang berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia yang mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan asas bahwa hak milik atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 6 dan Pasal 18 UUPA. Dijelaskan didalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat”. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial tetapi tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum .

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejateraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Kemudian di jelaskan di dalam Pasal 3 Undang – Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejateraan dan kemakmuran bangsa, Negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Prinsip fungsi sosial yang dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria memang mengandung makna, bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi.

Hal tersebut tetapi tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai pembenaran mengabaikan kepentingan mereka yang mempunyai tanah. Pada asasnya, jika diperlukan tanah kepunyaan orang lain haruslah terlebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalkan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau lain sebagainya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan jalan musyawarah tidak menemukan kata sepakat, pemerintah dapat mengambil tindakan pencabutan hak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang- Undang Pokok Agraria.

Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga yang paling berwenang memberikan kepastian hukum akan hak atas tanah dan perlindungan atas pengakuan hak tersebut. Badan Pertanahan Nasional melalui Multi Donor Trust Fund (MDTF) telah mendapatkan bantuan dana hibah guna melakukan kegiatan yang dimulai dari rekonstruksi penataan letak dan atau penetapan tanda batas-batas persil bidang tanah, pengukuran persil bidang, penelitian data yuridis atau kebenaran dari bukti-bukti permohonan pendaftaran tanah.

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara, pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara termasuk perpanjangan jangka waktu hak dan pembaharuan hak. Tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Terlaksananya Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur Kabupaten Lembata pasca banjir dan tanah longsor, dengan adanya perkembangan kawasan permukiman baru untuk ditempati oleh korban tsunami yang direlokasi, maka terhadap permasalahan yang timbul mengenai bagaimana  sebenarnya kepastian hak dari tanah mereka yang lama setelah dilakukannya relokasi, tentu hal ini harus segera terselesaikan, oleh karena itu penulis melakukan analisis ini untuk memberikan gambaran bagi pemerintah dan juga memeberikan pemahaman terhadap masyarakat dengan judul “Analisis Hukum Relokasi Tanah dan Hubungannya Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pasca Benana Banjir Di Kabupaten Lembata”.

Tata Ruang Wilayah

Didalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang Kawasan. Pengertian wilayah dalam pasal 1 butir 17 UUPR adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenapnya unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrative dan/atau aspek fugsional. Sedangkan pengertian Kawasan dalam pasal 1 butir 20 UUPR adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan system jaringan sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan social ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan tata ruag.

Adapun asas dan tujuan dalam penataan ruang yaitu, berdasarkan pasal 2 UU no. 26 tahun 2007 ditegaskan dengan jelas bahwa penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas;

  1. Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat;
  2. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan;
  3. Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang;
  4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas;
  5. Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang;
  6. Kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan;
  7. Perlindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat;
  8. Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan
  9. dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum;
  10. Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.

Berdasarkan uraian diatas tentan, jelas bahwa penataan ruang dan asas yang menjadi prinsip dasar, maka tugas dan wewenang Pemerintah/Pemerintah Daerah adalah melakukan penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi dua hal, yaitu;

  1. Penentuan haluan negara;
  2. Pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. Dalam plaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksud diatas, bahwa negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam penyelenggaraan penataan ruang yang dimaksud itu dialkukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Banyak permasalahan timbul pada saat peristiwa bwncana banjir dan tanah longsor terutama setelah bencana akibat berubahnya topografi, morfologi, dan kondisi social ekonomi masyarakat. oleh karena itu sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam menyusun rencana tata ruang secara komphernsif dengan memanfaatkan ruang dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan.

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi pada tanggal 4 April 2021 telah merubah kondisi wilayah sebelumnya dengan merusak berbagai infrastruktur dan menelan banyak korban jiwa sehingga wilayah ini harus direncanakan dan ditata kembali mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma yang berlaku yang tepat dan memasukan aspek-aspek mitigasi terhadap bencana alam dalam rangka meminimalkan resiko dikemudian hari dengan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan implementasinya.

Adapun faktor-faktor yang perlunya untuk dipertimbangkan dalam pelasanaan realokasi pemukiman adalah: a) Perlunya koordinasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi; b) Pemilihan areal lokasi dan kualitas tempat; c) Hak masyarakat yang dipindahkan; d) Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali; e) Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan; f) Status hak atas tanah; g) Dukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat.

Bencana alam yang terjadi di dua kecamatan itu memberi dampak bagi masyarakat, terutama mengenai masalah pertanahan. Atas dasar inilah masyarakat menjadi bimbang untuk direalokasi ke pemukiman yang baru. Sulit untuk masyarakat menerima begitu saja dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pelaksanaan realokasi tanpa analisis yang kompherensif untuk meyakinkan mereka tentang kepastian hukum status hak atas tanahnya yang lama pasca realokasi akibat bencana alam.

Simpang Siur Relokasi

Simpang siur mengenai wacana realokasi ini juga menyisahkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul ditengah masyarakat, misalkan, Bagaimana penetapan tata ruang wilayah pasca bencana banjir dan tanah longsor di dua kecamatan tersebut? Bagaimana pelaksanaan realokasi tanah pasca bencana banjir dan tanah longsor? Bagaimana kepastian hukum terhadap status kepemilikan ha katas tanah pasca bencana banjir dan tanah longsor?

Pertanyaan-pertanyaan ini mestinya dilakukan sedari awal oleh para pemangku kepentingan sebagai penanggung jawab atas bencana yang terjadi sehingga tidak terjadinya kebimbangan masyarakat untuk menolak direalokasi.

Dengan demikian, kajian ini dilakukan dengan tujuan memberikan catatan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah sehingga secepat mungkin mengambil tindakan untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat di Kabupaten Lembata khsusnya masyarakat yang terkena dampak bencana yaitu Kecamatan Ile-Ape dan Ile-Ape Timur untuk mengetahui dengan jelas penetapan tata ruang wilayah pasca bencana, mengetahui pelaksanaan realokasi, juga mengetahui kepastian hukum atas status kepemilikan hak atas tanah pasca bencana.

Strategi pengembangan rencana tata ruang wilayah kecamatan Ile-Ape dan Ile-ape Timur dengan tingkat kerusakan yang sangat luas, memungkinkan beberapa desa di dua kecamatan tersebut di wacanakan direalokasi dengan penetapan lahan pemukiman yang lebih aman. Pembangunan tempat tinggal untuk realokasi dengan prinsip adil dan merata antara luas tanah dan fisik rumah adalah sama.

Namun demikian masih sebtas wacana dan menyisahkan benyak persoalan yang terjadi. Hal lain juga tentang kepastian hukum status kepemilikan hak atas tanah masyarakat yang lamah pasca bencana banjir dan tanah longsor. Secara prinsip maka akan diambil alih oleh pemerintah.

Saran

Dengan melihat uraian-uraian diatas maka kami meminta agar pemerintah baik pusat maupun daerah agar kembali melakukan analisis kembali terkait wacana realokasi secara kompherensif dengan melibatkan partisipasi masyarakat, karena mengingat banyak persoalan-persoalan yang terjadi ditengah masyarakat didua kecamatan tersebut. Hal yang lain adalah perlu adanya tindakan yang jelas dari pemerintah apabila terjadi persoalan dalam pelaksanaan realokasi agar bisa diselesaikan dengan tegas dan kepada masyarakat agar diberikan pemahaman mengenai kepastian hukum status kepemilikan hak atas tanah dan yang lainnya.

Penulis, Pengurus Tala Ia Yogyakarta