SEJAK second-term Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia untuk periode 2019-2024, ada banyak pakar yang mengkritik posisi Fajroel Rahman sebagai Juru Bicara (Jubir) Istana Negara. Kritik ini disebabkan oleh gaya komunikasi Jubir yang tidak pas dan kontekstual dengan harapan masyarakat untuk menangkap pesan dari Presiden. Banyak missing communication yang telah dilontarkan oleh Jubir tersebut. Mulai dari persepsi ganda hingga cari muka dihadapan publik muncul sebagai respon atas ungkapan si Jubir yang terkadang tidak kontekstual dan inkonsistensi.
Sebagai instrumen negara, Jubir Presiden memang sangat dibutuhkan. Apalagi di era platform digital yang menuai kesulitan untuk menepis beragam isu miring. Namun posisi Jubir akan blunder bahkan bisa menjadi ‘senjata’ ampuh dari pihak oposisi, manakala pesan yang disampaikan tidak sesuai dengan arahan Presiden.
Baru-baru ini kita dihadapkan dengan isu viral tentang ungkapan Presiden Jokowi yang menyoal Babi Panggang (Bipang) Ambawang-makanan khas Kalimantan Barat. Dalam pidatonya, Presiden menyerukan untuk mencicipi beragam makanan khas daerah. Isu ini telah menjadi konsumsi publik. Masyarakat ada yang menilai bahwa ungkapan Presiden tersebut tidak tepat untuk menyambut momentum Idul Fitri atau hari Lebaran.
Menurut saya ungkapan Presiden tersebut tidak ada yang salah jika dipandang sebagai Kepala Negara. Pada nafas ini, Jokowi hendak menunjukkan bahwa ia bukan milik golongan tertentu, sebut saja agama Islam. Pasalnya, ungkapan pidato Presiden tersebut beriringan dengan Hari Raya Kenaikan Isa Al-Masih (Yesus Kristus).
Namun karena ungkapan Jubir dan Menteri Pedagangan yang memplesetkan maksud dan tujuan dari Presiden, bahkan dalam twitter milik pribadi Fajroel Rahman, mengeles dari Bipang menjadi Jipang. Fenomena ini membuat saya mengasumsikan bahwa bawahan Presiden tidak mampu mengkomunikasikan maksud ungkapan Kepala Negara tersebut.
Dari kejadian viral ini menurut saya ada dua hal yang penting untuk dianalisis. Pertama, Jubir menghendaki adanya persepsi lain dan cenderung menutupi kesalahan pidato tersebut. Corak ini mengindikasikan bahwa mereka yang tidak mampu mengkomunikasikan dengan baik maksud dari ungkapan Presiden, seolah ingin terlihat sempurna dihadapan Jokowi. Kondisi ini harus menuntun saya kepada analisa tentang birokrat bermental kolonial. Mereka hanya menyajikan ‘hidangan’ sempurna dihadapan sang majikan. Walaupun bumbu redaksi pembuat naskah pidato memang salah. Alhasil, ‘biar bapak senang’, mereka memutarbalikkan fakta.
Kedua, gaya Jubir tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa begitulah komunikasi kepada generasi milenial. Mereka ingin menunjukkan sebuah akrobatik menjadi birokrat milenial, cukup dengan meminta maaf dan mengeles. Kondisi ini membuat gaduh dan bermuka ganda.
Dengan demikian, kita dapat mengambil hikmah bahwa menjadi birokrat tidak cukup hanya “asal bapak senang”, semua urusan bisa teratasi, Jubir harusnya menjelaskan dengan sebuah narasi lain bahwa Jokowi bukan hanya milik golongan tertentu. Namun telah menjadi Kepala Negara semua golongan di negeri ini.
Penulis, Ahmad Izudin. Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca juga kumpulan Jurnal Ahmad Izudin klik disini