OPINI  

Memperingati Peristiwa Genosida Banda Besar

8 Mei 2021 membawa kita pada peristiwa genoside yang terjadi di Banda Besar. Pada tanggal 8 Mei 1621 pernah terjadi persitiwa yang memiluhkan dan menyedihkan bagi segenap bangsa Indonesia, terlebih bagi masyarakat Banda Besar. Bagaimana tidak! Dimasa itu terjadi pembantaian oleh orang-orang Jepang dengan memotong kepala para leluhur Banda Besar dengan menggunakan samurai.

Catatan buruK ini berawal dari terbunuhnya Verhoevan oleh penduduk banda di pantai banda saat terjadi perselisihan antara penduduk banda dengan VOC yang diawali oleh tentara Belanda. Tepatnya laksamana Verhoevan terbunuh di atas sampan (perahu) hanya dengan pisau kecil orang banda, namun tak sedikit juga orang banda yang tertembak. Setelah para tentara belanda (VOC) yang tersisa ditarik kembali ke Belanda, kemudian diangkat pemimpin baru, yaitu Jan Pieterszoon Ceon yang nantinya menjadi otak pembantain orang kaya banda (gelar pemimpin pulau-pulau banda, seperti orang kaya salamon, imam salamun dan seterusnya).

Oleh Usman Talib sejarawan Universitas Pattimura yang dilansir dalam kompas.com tanggal 24/4/2012, mengenai peristiwa pembantai penduduk banda pada tanggal 8/5/1621 tersebut  mengatakan pemicu pembantain penduduk banda oleh Jan Pieterszoon Coen ialah dari terbunuhnya laksamana Verhoevan bersama rombongannya pada 22/5/1609.

Peristiwa pembantaian atau pemotongan kepala 40 orang kaya banda neira di sumur rante, benar-benar tidak manusiawi. Namun demikian buah dari eko-politik kolonialisasi, dalam  pembantain tersebut menurut Des Alwi ada sekitar 6.600 orang dibunuh dikepulauan Banda Neira, 789 orang di asingkan ke Batavia (Jakarta), sekarang dikenal kampung Bandan, ada 1.700 orang melarikan diri ke Banda Ely, kabupaten Maluku Tenggara, dan hanya sekitar sepertiga yang tersisa di Banda Neira. (Baca: Des Alwi “Batu Peringatan di Perigi Rante”)

Sedangkan dari cacatan sejarah yang termuat dalam dokumen lama orang Banda Ely, generasi yang masih hidup sampai saat ini. Menarik jumlah penduduk Banda dari jumlah penduduk Banda secara keseluruhan, ada 60% penduduk Banda di bawa ke Batavia (Jakarta) sepertiga dibawa ke Belanda, dan yang tersisa menyebar kesuluru kepulauan Maluku dan umumnya Nusantara.

Efek dari ekonomi-politik kolonial Belanda dibawa perusahan VOC membuahi tindakan tidak manusiawi dan tidak pernah akan dibenarkan dalam sejarah, sebab kompetitif perdagangan yang tidak  sehat akan selalu melahirkan pembangunan dunia suci ini dibawa darah dan penderitaan rakyat jelata.

REKONSTRUKSI SEJARAH

Mengingat masa itu, banyak saudara atau turunan para korban peristiwa 8 mei, mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia. Bahkan ada sebagian yang sudah merancang format gerakan untuk melawan pelaku diperistiwa tersebut. Hanya saja dalam format gerakan itu ada pula perbedaan yang paling mendasar.

Penulis sendiri sebagai anak keturunan dari para korban peristiwa 8 mei, merasa terhina jika mengingat bawha sampai saat ini penulis masih hidup diatas tulang-belulang dan potongan kepala para leluhur Banda, tanpa melakukan apa-apa. Disinilah penulis berusaha merekonstruksi peristiwa itu untuk kemudian dapat dijadikan pakem dalam bergerak. Artinya bahwa jika kita hanya kembali memperdebatkan salah benarnya sejarah masa lalu dengan berdiri di atas nama-nama para tokoh; baik tokoh wandan di Jakarta, Ambon, Tual dan seterusnya serta menggandeng DPRD kota Tual dan Provinsi Maluku maka perjuangan yang telah dilakukan para leluhur hanya bisa membentuk keturunan yang mengklaim siapa berposisi ini dan siapa berposisi itu. Akhirnya format gerakannya hanya formal struktural dan sebatas jangka pendek serta momentuman.

Oleh sebab itu, dalam memperingati peristiwa 8 Mei, penulis mengajak saudara-saudara pemuda wandan agar tidak terjebak dengan logika formal dari pada parah tokoh dan orang yang mendesain gerakan yang dilaksanakan pada 8 mei 2021, mengingat sudah kita ketahui maksud dari yang mengadakan acara pertemuan masyarakat wandan melalui media virtual kemarin beberapa hari yang lalu. Sekali lagi penulis mengajak semua pemuda wandan untuk turut menolak konsilidasi momentuman berjangka pendek, sebab ada semangat yang substansial dari peristiwa masa lalu, yaitu mampu membangun generasi yang lebih cerdas dalam menanggapi problem kehidupan hari ini. (Lihat M. Jadul Maula, 2019)

Pertanyaannya jika kita terus menceritakan masa lalu itu, apakah berbeda dengan gaya jajahan media berbasis unicron hari ini atau industri cerobong asap? Jika melihat amanat konstitusi, alinea keempat bahwa Negara Republik Indonesia, berkewajiban melindungi segenab bangsa. Dalam hal ini kehadiraan negara tidak lain bertujuang untuk melindungi kepentingan setiap indivudu atau warga negara agar negara tersebut bukan negara yang disebut Thomas Hobbes sebagai “Leviathan”.

Kembali lagi bagaimana merekonstruksi sejarah untuk dijadikan semangat serta dapat memahami bagaimana menjamin gerakan berjangka panjang. Penulis pikir yang paling terpenting bagaimana memikirkan dan menjamin pendidikan anak mudah wandan, sehingga jika berkesempatan untuk melanjutkan sampai ke negeri kincir angin  (Belanda) maka akan lebih muda untuk membuka lembar sejarah baru melawan kejahatan kemanusiaan. Walaupun memang tidak harus menyalahkan gerakan yang sudah dibuat hari ini, namun sekali lagi ditegaskan bahwa yang terpenting ialah bagaimana gerakan ini tetap hidup sampai generasi berikutnya.

Dengan demikian penulis kembali mengajak seluruh pemuda wandan yang berada di bumi Nusantara dan  seluru dunia untuk sama-sama menolak gerakan momentuman dan berpikir bagaimana generasi bisa masuk mengambil atau mengakses dokumen sejarah di negeri kincir angin (Belanda) untuk dijadikan alat perlawanan kita.

 

Penulis, Moh. Y.K. Salamun. Mahasiswa Universitas Janabadra dan Kader PMII Cabang DI. Yogyakarta