Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.

-Tan Malaka-

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Musim Semi Idealisme Mahasiswa

Mahasiswa sangat erat kaitannya dengan kaum muda, walaupun tidak semua kaum muda adalah mahasiswa. Tak salah kalau idealisme seringkali dilekatkan pada mahasiswa sebagai suatu prinsip mendasar dalam memegang tanggungjawabnya. Keduanya tidak dapat dipisahkan, meski kerap dijumpai ada sebagian mahasiswa yang berwatak pragmatis, bahkan oportunis.

Idealisme pada hakikatnya adalah sebuah prinsip yang harus dipegang teguh oleh Mahasiswa untuk dijadikan pedoman dalam berpikir maupun bertindak. Bahkan Idealisme dapat menjadi sarana pertimbangan etis dalam mengambil keputusan, bukan malah menjadi momok untuk bersembunyi dari pragmatisme politik.

Dengan kata lain, idealisme menjadi pertahanan bagi mahasiswa dalam memilih (pemimpin) untuk menjaga marwah politik, agar ruang politik dipahami sebagai upaya memenuhi kebutuhan material dan non-material, tidak semata-mata dimensi kegelapan ataupun kejahatan. Politik dalam pengertian klasik, sebagaimana dikatakan Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Baca; Hendry J Schmandt 1960)

Namun citra politik kini semakin buruk akibat praktik politik yang buruk dari para pemimpin yang buruk pula. Jelas ini semacam rantai keburukan secara sistematis. Mengapa demikian? karena pemimpin dalam hal ini sudah pasti dipilih melalui proses demokrasi langsung. Sudah barang tentu yang memilih harus memahami motif dasar kenapa ia memilih si A atau si B. Apabila ada pemimpin yang buruk, kemungkinan besar pemilihnya tidak memahami karakter pemimpin, atau bisa jadi juga model politik yang keliru.

Misalnya money politic (politik uang) dan politik identitas, keduanya merupakan praktik politik yang mencerminkan sebuah kontestasi politik transaksional yang merusak sistem demokrasi. Akhirnya demokrasi hanya dipahami sebagai ajang mencoblos selembar kertas menggunakan paku/besi (pencoblosan), dan ruang politik nantinya akan dihuni oleh para koruptor. Seperti dikatakan oleh Soe Hok Gie “Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi”.

Politik uang ataupun politik identitas sejatinya tidak merepresentasikan demokrasi partisipatif, tapi malah mengedepankan demokrasi mobilisasi. Praktik demokrasi mobilisasi berawal dari kecenderungan pragmatisme politik yang sudah pasti merusak moral politik. Parahnya lagi, ketika praktik kotor terus berlanjut dengan praktik Kolusi, Korupai dan Nepotisme, lengkap sudah.

Politik uang dan Polarisasi politik identitas sebenarnya adalah setting kapitalisme global untuk memecah kekuatan politik di Indonesia, sehingga terjadi pemberontakan dibeberapa daerah yang menuntut merdeka.

Sejarah politik di indonesia telah tercatat kejadian-kejadian politik yang demikian, misalnya gerakan PRRI/PERMESTA, negara Pasundan, dan sebagainya yang menuntut merdeka. Maka sudah menjadi keharusan untuk meninggalkan praktik demikian di era demokrasi pasca reformasi saat ini. Dengan kata lain, rantai keburukan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui suatu proses politik yang buruk (Baca; Hasyim Wahid 1999).

Oleh karena itu, pemilih harus benar-benar mempertimbangkan secara matang dan bijak untuk memilih pemimpin. Terutama mahasiswa, idealisme seyongyanya dijadikan saringan etis. Memilih bukan berarti karena prinsip primordial atau kantong yang sudah terisi (dibayar), memilih merupakan suatu proses politik dengan penuh keyakinan dan kesadaran memperbaiki atau mengupayakan masa depan yang lebih baik.

Tegasnya, politik tanpa prinsip hanya akan jatuh pada pragmatisme politik, tidak punya tujuan yang jelas.

Sulit kiranya mencita-citakan sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik melalui jalur politik, sedangkan proses politiknya saja sudah kotor dan bobrok. Itu sama halnya ingin mengambil buah apel diatas pohonya, tapi memanjat pohon jeruk penuh duri. Pada akhirnya kesejahteraan tinggal khayalan belaka, karena telah digerogoti oleh proses politik transaksional atau politik uang (Baca; Demokrasi Dan Proses Politik, Majalah Prisma 1986)

Apalagi politik primordial, sungguh benar-benar merusak bukan hanya citra politik, tetapi juga moralitas manusia. Karena orang lain akan dipandang rendah dan tidak mengedepankan aspek kemanusiaan. Hal ini bisa berefek pada polarisasi politik yang terjebak dalam konflik berkepanjangan, atau sering disebut balkanisasi, yaitu terpecah-pecah dan terus berkonflik membawa kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga (Baca; Hasyim Wahid, Mengaca Konsensus Nasional Dalam Makro Historis Indonesia, Artikel 2005).

Singkatnya, tulisan ini ingin mengajak pembaca agar lebih bijak dalam menentukan pilihan, dalam hal ini memilih pemimpin. Sedapat mungkin menghindari politik uang atau politik identitas/primordial, karena akan berdampak buruk pada demokrasi dan etika politik sebagai perwujudan watak manusiawi. Kita ketahui bersama bahwa demokrasi adalah perwujudan dari watak kemanusiaan, apabila kita merusaknya berarti dapat dikatakan telah merusak perwujudan watak manusiawi.

Pada akhirnya yang terlihat hanyalah praktik demokrasi barbar, karena demokrasi mobilisasi bisa saja diarahkan pada konflik, sebab pemilihnya buta terhadap politik atau cenderung pragmatis. Kalaupun pemilihnya paham, pasti hanya manut terhadap kehendak pemberi uang atau kesetiaan buta pada prinsip kesukuan, lantaran tidak punya prinsip dalam politik (idealisme) (Baca; Santono Sahlan & Awaludin Marwan 2012)

Kiranya menjadi jelas, bahwa idealisme mahasiswa harus digunakan sebagai penyaring etis dalam menentukan pilihan, agar dari sana muncul sebuah keyakinan penuh prinsip akan tatanan kehidupan yang lebih baik. Paling tidak itu bisa memperbaiki citra politik sebagai wujud watak manusiawi. Apa yang bisa kita harapkan dari kehidupan bila semua orang sudah memberhalakan uang dan bukan prinsip kemanusiaan misalnya? Kehidupan akan terlihat seperti gurun yang tidak menyediakan sumber penghidupan.

Dengan demikian, bolehlah dikatakan disini bahwa idealisme sebagai kemewahan terakhir membangun sebuah prinsip politik yang bermoral, tidak mengedepankan politik uang atau politik identitas/primordial.

Penulis, Wahyudi

Masyarakat Sipil Cinta Demokrasi

Reporter: KilatNews