Terminologi oligarki secara harfiah, yaitu pemerintahan yang dikendalikan oleh sekelompok kecil elite. ketika mendengar oligarki mungkin bukan sesuatu yang asing lagi bagi khalayak umum, apalagi penggiat demokrasi, dimana setiap postulat yang dibangun pasti ada kata oligarki, baik secara deskriptif ataupun penjelasan langsung sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi sistem demokrasi menjadi lemah. Hal ini merupakan variabel penting ketika membangun argumentasi tentang demokrasi.
Dari banyakannya argumen demokrasi, sering kita temui pengakuan bahwa dari sistem tersebut tidak menutup kemungkinan akan memberi celah bagi segelintir orang untuk mempreteli makna demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, peluang kebebasan yang dijamin demokrasi hanya dinikmati segelintir kelompok/elite yang memainkan kekuasaan sesuai keinginan mereka.
Di indonesia, sistem demokrasi baru mendapat tempat setelah kejatuhan orde baru. Dengan sistem yang lebih demokratis itu, lahirlah inisiatif perubahan UUD NRI 1945 salah satunya dalam hal menata kembali kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara, yakni lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta turut menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan bersuara sebagai perlindungan secara konstitusional hak warga negara. Dari perubahan tersebut lembaga negara yang awalnya hanya didominasi oleh lembaga eksekutif (eksecutive heavy) beruba menjadi lebih seimbang atau sejajar, juga warga negara yang dijamin haknya dalam konstitusi semakin aktif dalam kehidupan bernegara. Misalnya, membagun perkumpulan yang lebih banyak termasuk membentuk partai politik secara massif.
Seiring berjalannya reformasi, dalam praktek dan pengaplikasiannya kerap kita jumpai fenomena yang tidak sejalan dengan amanat UUD 1945. Bagaimana tidak, lembaga-lembaga negara yang seharusnya dapat menjalankan kewenangannya secara mandiri dan bebas dari lembaga lain, dengan tujuan dapat melaksanakan cita-cita negara malahan berbalik dan membangun hubungan mesra di antara lembaga-lembaga kekuasaan untuk kepentingan segelintir elite (oligarki). Problemnya bukan lagi seperti yang terjadi di era orde baru, yaitu dominasi eksekutif (eksecutive heavy) ataupun dominasi legisatif (legislatif heavy), tetapi dapat dikatakan sebagai oligarky heavy melalui hubungan mesra yang sudah terjalin baik nan busuk.
Lantas, pertanyaannya adalah dari manakah hubungan mesra tersebut? apakah itu cinta tatapan pertama? atau jika ibarat mahluk yang bertuhan seperti manusia apakah itu jodoh yang telah ditakdirkan? atau jangan-jangan ini efek domino legenda siti nurbaya (perjodohan oleh orang tua)? Mari kita menilik sejenak kedalam tubuh lembaga negara secara seksama. Namun jika masih ada kekurangan dalam pandangan, semoga dapat dilanjutkan oleh kawan-kawan yang membaca tulisan ini; tulisan ini hanya berupa uraian reflektif penulis agar menjadi bahan diskursus bersama.
Hubungan antara lembaga-lembaga negara telah membawa sistem pemerintahan yang berorientasi mengikuti kepentingan segelintir elite atau yang kita sebut disini oligarki. Hubungan antara lembaga negara memang diakui, tetapi dalam arti pengawasan dan keseimbangan yang dikenal sebagai prinsip checks and balences. Prinsip tersebut tidak berarti adanya hubungan yang mengiyakan satu kewenagan yang dimiliki masing-masing lembaga, seperti menjadi konsep hibrida dalam bentuk paham pembagian kekuasaan (distribution of power/devision of power). Jika demikian yang diartikan hubungan antara lembaga negara maka yang terjadi adalah kerjasama antar oligark yang berada disetiap lembaga negara (tikus menguasai lumbung).
Hal ini dapat kita lihat dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 tahun 2020 tentang keuangan negara dan stabilitas keuangan, yang dengan mulus mengalir seperti air tanpa adanya perdebatan/kajian serius di parlemen. Adapun yang baru- baru ini disahkan adalah Peraturan Presiden (perpres) Nomor 10 tahun 2021 tentang bidang usaha penanaman modal, walau pada akhirnya dicabut kembali oleh pemerintah.
Tidak sampai disitu saja, operasi pratik oligarki melalui lembaga-lembaga negara dalam beberapa kebijakan strategis yang diambil dekade terakhir ini yang juga cukup memancing suara publik, yakni revisi undang-undang KPK, undang-undang minerba, serta Omnibuslaw yang sejak perancangan sampai pengesahan dapat dijadikan fakta kongkrit adanya praktik oligarki melalui lembaga-lembaga negara.
Demikian pula ketika masyarakat yang beradab (masyarak madani) menduga jika gugatan secara materil dari peraturan tersebut melalui sebuah persidangan yang melelahkan, sesungguhnya hanya sebagai upaya penghalusan konflik yang sudah terang kesalahannya dari mana. Pada akhinya juga sidang pengujian tersebut hanya sebagian atau seluruhnya ditolak oleh hakim mahkamah konstitusi (MK). Mekanisme yang formalistik tersebut memang banyak ditolak karena dugaan yang kuat terkait praktik oligarki dalam tubuh lembaga-lembaga negara, penolakan publik memilih alternatif demonstrasi jalanan oleh masyarakat madani itu sendiri.
Bagitu juga dengan partai politik yang dipercayaai berfungsi sebagai artikulator dan agregator kepentingan masyarakat, malah menjadi kelompok oligarki sendiri dalam tubuh partai. Mengingat sistem pemerintahan yang dianut indonesia adalah sistem presidensil. Tetapi parlemen dan presiden dipilih langsung oleh rakyat serta mempunyai partai pengusung yang sama, maka yang terjadi adalah kerjasama anggota partai politik didalam lembaga yang berbeda, ataupun partai-partai koalisi yang saling berterimakasih pasca pemilihan. Tidak bisa dinafikan lagi, bahwa saat ini sulit dibedakan mana partai koalisi dan oposisi. Hal tersebut merupakan bagian dari praktik oligarki yang telah mengakar kuat di masing-masing lembaga, seperti yang kita lihat dari uraian singkat ini.
Dari uraian singkat diatas, menjadi terang “benang merah” adanya kecenderungan oligarki dalam lembaga negara; uu dirubah, disahkan/diundangkan sepihak tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat. Ironisnya, kebijakan demikian malah mengatasnamakan rakyat. Singkatnya, reformasi tertatih dari 1998 sampai saat ini bukan menghilangkan oligarki politik orde baru, tapi hanya berubah aktor dan terjadi liberalisasi sektor ekonomi dan politik. Melalui hubungan harmonis lembaga negara, seakan-akan ini adalah bentuk demokrasi sesungguhnya, padahal kenyataannya oligarki terus menari diatas panggung politik yang menguasai lembaga kekuasaan untuk mengakomodir kepentingannya (tikus menguasai lumbung).
Mengutip apa yang disampaikan Hasyim Wahid bahwa demokrasi yang diterapkan saat ini adalah demokrasi semu. Demokrasi semu yang dimaksudnya ialah, dalam aspek politik ada pemilu, pemilih, partai peserta pemilu, panitia pemilu, sengketa pemilu. Semua itulah yang membuat indonesia terjebak, sehingga rakyat yang harus menanggung biaya mahal atas kebobrokan kebijakan negara.
Penulis, Moh. YK Salamun
Mahasiswa Hukum Univ. Janabadra
Kader PMII Yogyakarta