SALAH satu hal yang paling mendasar atau satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berporos pada prinsip “The rulle of law” adalah urgensi harmonisasi pemebentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar. Tentunya produk perundang-undangan sebagai suatu beleid yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini eksekutif seyogyanya memperhatikan prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi sehingga mudah di terapkan dan diterima oleh masyarakat umum.
Sebagai suatu dsikursus bahwa untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah yang lebih menitikberatkan pada peningkatan laju ekonomi daerah, maka pada tanggal 2 februari 2021 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 tentang “Bidang Usaha Penanaman Modal”. Yang salah satu diantaranya adalah mengatur tentang investasi miras dari 380 bidang usaha.
Perpres tersebut merupakan elaborasi dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang “Cipta Kerja” yang banyak memicu perdebatan dimuka umum pasca disahkan.
Berbeda dengan UU No. 11 tahun 2020, penyakit inkonstitutional suatu peraturan perundang-undangan kembali menular ke dalam Lampiran Perpres No. 10 tahun 2021. Walaupun sudah dicabut oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 maret 2021. Pencabutan itu setelah adanya reaksi dari kelompok masyarakat dan organisasi keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang menolak dengan tegas dan meminta Presiden Joko Widodo agar segera mencabut Perpres tersebut dikarenakan pengaturan dalam muatan materi berkaitan dengan “investasi miras” bertentangan dengan ajaran Islam.
Sebagaimana dilansir dari suarasurabaya.net Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, Al-Qur’an sudah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak kerugian. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa “Kami sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras”. Dalam Al-Qur’an dinayatakan, Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”. Bukan saja agama Islam, melainkan agama-agama lainpun dengan tegas melarang umatnya meminum minuman keras, maka sudah sepatutnya Pemerintah menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah berupaya meningkatkan produksi dan konsumsi masyarkat, Senin (1/3/20210).
Terlepas dari berbagai macam pendapat dari kelompok masyarakat maupun organisasi keagamaan, mengingat ada beberapa ketentuan pasal yang kontradiksi dengan kondisi dan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh ditengah masyarakat yang notabenenya hidup beragama.
Jika memang investasi terhadap bidang usaha minuman beralkohol dibuka lebar maka akan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Adapun pasal yang kontardiksi tersebut adalah, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 44, pasal 45 Lampiran Perpres No. 10 tahun 2021. Kompleksitas masalah yang ada dalam substansi muatan materi tersebut, tentunya dengan pertimbangan yang bijak, maka dicabutlah Peraturan tersebut.
Meskipun demikian, dibalik pencabutan itu menyisahkan semacam suatu keniscayaan atau ketidakkonsistenan dalam menyelesaikan persoalan ini. Mengapa demikian? Karena pada faktanya bukan saja Perpres No. 10 tahun 2021 dicabut lalu kemudian permasalahan terkait dengan pelegalisasian minuman beralkohol selesai, justru pintu gerbang pelegalisasian masih terbuka lebar karena hingga saat ini Perpres No. 74 tahun 2013 tentang “Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol” senantiasa masih eksis.
Benar adanya bahwa Perpres ini mengatur tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol namun pada kenyataannya subsatnsi materinya adalah sama yaitu tetap melegalisasikan minuman beralkohol untuk diperjualbelikan.
Oleh karenanaya pengaturan mengenai pelegalisasian itu tercantum dalam Lampiran Perpres No. 10 tahun 2021 melainkan diatur dalam Perpres No. 74 tahun 2013.
Di sisi lain, berbicara mengenai pengaturan pelegalisasian minuman beralkohol faktanya sudah ada sebelum kedua Perpres itu muncul. Bahwasannya di era Suharto rejim orde baru, pengaturan mengenai pelegalisasian tersebut diatur melalui Keputusan Presiden No. 3 tahun 1997 tentang “Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol”.
Namun demikian oleh Mahkamah Agung berdasarkan Putusan No. 42P/HUM/2012 tanggal 18 juni 2013 dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka dikeluarkanny Perpres No. 74 tahun 2013.
Demikian bunyi pasal 3 ayat (1) Perpres No. 74 tahun 2013 sebagai berikut;
“Minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor dikelompokan dalam golongan sebagai berikut, (a) Minuman beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan 5% (lima persen); (b) Minuman beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen); dan (c) Minuman beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen).
Pasal 3 ayat (2);
“Minuman beralkohol sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) ditetapkan sebagaimana barang dalam pengawasan”
Pasal 3 ayat (3);
“Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) meliputi pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualnnya. (baca juga pasal 7 ayat (1, 2, 3, 4, 5)
Dari uraian pasal diatas terlihat bahwa kendatipun Perpres No. 10 tahun 2021 tentang “Bidang Usaha Penanaman Modal” yang diteken oleh Presiden Joko Widodo namun pada akhirnya dicabut, tetap saja tidak membawa dampak yang baik sesuai dengan tuntuan dari elemen masyarakat untuk menghilangkan hal-hal yang berkaitan dengan minuman-minuman beralkohol yang akan memeberi penagruh yang bururk terhadap Bangsa.
Oleh karena itu hemat penulis, dengan melihat kerumitan-kerumitan yang ada, seyogyanya Perpres ini pun sepatutnya dipersoalkan secara konstitusional yaitu dengan cara mengajukan Judivial Review (peninjauan kembali) kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Lembaga Mahkamah Agung sebagai Kekuasaan kehakiman yang merdeka yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (pasal 24A ayat (1) agar mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penulis, Syahfuad Nur Rahmat, Mahasiswa Hukum Univ. Janabadra, Wadirec. LKBHMI Cab. Yogyakarta, Pendiri Forum Constitutional Law Study (CLS)