Gono-gini adalah istilah yang dikenal dalam budaya orang jawa kebanyakan dan sekitarnya. Istilah ini merujuk kepada harta yang dimiliki secara bersama suami dan istri di dalam sebuah pernikahan.
Tak ayal, harta yang dihasilkan oleh salah satu pasangan entah istri atau suami di masa pernikahan mereka merupakan kepemilikan bersama.
Apabila terjadi sebuah perceraian, misalnya seorang suami menceraikan istrinya, maka suami tidak dibenarkan secara hukum untuk membawa harta yang dia anggap sebagai hartanya sendiri walaupun berkat usahanya sendiri.
Ketika terjadi perceraian maka suami harus membaginya dengan pembagian 50 banding 50, untuk memberikan jatah tersebut kepada istrinya.
Begitu pula jika salah satu pasangan wafat maka harta tersebut mestilah diberikan setengahnya, yakni 50% kepada pasangan yang hidup sebagai harta bersama. Dan sisanya, barulah dijadikan harta warisan yang dibagikan kepada ahli waris yang ada.
Menurut Ahmad zarkasi dalam bukunya “Gono-Gini Antara Adat Syariat dan Undang-Undang” adalah nama harta bersama di setiap daerah di Indonesia itu berbeda-beda, tidak semua memakai istilah Gono-Gini. Dalam budaya aceh misalnya, harta bersama dikenal dengan istilah Hareuta Syareukat. Berbeda lagi dengan budaya Bugis dan Makassar yang mengenal harta bersama dengan istilah Cakkara. Kalau di Kalimantan disebut dengan nama Perpantangan. Budaya orang sunda menyebutnya Guna Kaya. Di Bali, Namanya Druwe Gabro.
Banyaknya ragam nama untuk satu jenis harta ini menunjukkan bahwa harta bersama memang sudah eksis sejak dahulu. Bahkan tidak berlebihan jika kita katakan bahwa itu sudah ada sebelum pemerintahan Indonesia berdiri.
Syari’ah Islam
Dalam Syariah islam, memang tidak dikenal istilah harta bersama, karena memang pernikahan itu bukanlah cara atau jalan untuk membuat harta itu pindah kepemilikan.
Akad nikah itu sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama-ulama fiqih adalah akad yang membuat laki-laki yang berakad boleh untuk menggauli wanita yang walinya berakad kepada laki tersebut dengan adanya ijab dan qabul. Itu akad nikah. Jadi tidak ada dalam akad nikah itu sesuatu yang membuat harta berpindah kepemilikan dari suami ke istri atau dari istri ke suami.
Dalam Syariah yang ada ialah harta istri mutlak untuk istri dan harta suami mutlak kepemilikannya dipegang oleh suami. Penghasilan suami mutlak milik suami namun ia berkewajiban memberikan nafkah untuk istri dan keluarganya. Namun, masih banyak perdebatan antara ulama ada Sebagian yang mengatakan ada dan sebagian mengatakan tidak ada harta tersebut.
Penulis, Latifah
Mahasiswi STEI SEBI, Depok