Hak Politik dan Nasib Demokrasi

Oleh : Fransiskus Xaverius

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Hak Politik dan Nasib Demokrasi

Reformasi adalah salah satu momentum menuju kejayaan demokrasi. Setelah runtuhnya rezim tangan besi (otoriterianisme) Soeharto, pada tahun 1998. Sekarang ini, di era reformasi kedaulatan sepenuhnya berada ditangan rakyat. Tak ayal, kalau masa ini disebut sebagai nafas segar demokrasi dalam mengendalikan dan menjalankan amanat pancasila.

Pada tahun 1955 indonesia pernah menjalankan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) untuk pertama kalinya. Hal ini sebagai pemenuhan amanat UU No.7 Tahun 1953. Selanjutnya pada pemilihan kedua pada masa Orde Baru (Orba) yang digelar pada tahun 1971. Pemilihan ini berdasarkan UU No.15 Tahun 1969. Meskipun pemilihan dilaksanakan melalui Pemilu, namun pemilihan ini masih dianggap belum sepenuhnya dilaksanakan secara demokratis. Karena dalam pelaksanaannya masih dibayang-bayangi oleh rezim otoriterianisme Soeharto. Jadi wajar, kalau Soeharto dari pemilu ke pemilu, selalu menjadi pemenang hingga berkuasa selama 32 tahun lamanya.

Baca Juga: 

Forum Warga Yogyakarta: Jokowi Mestinya Memikirkan Permasalahan Rakyat

Tak ayal, lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Kemudian estafet kepemimpin dilajutkan oleh Baharudin J. Habibi, membuat nafas rakyat Indonesia menjadi lebih legah. Rakyat pun dapat merasakan indahnya hidup dialam demokrasi, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama dalam sebuah negara. Hak menyampaikan pendapat dimuka umum pun, yang dulu dilarang dan dianggap suversif oleh rezim orba. Di era reformasi hak untuk berserikat dan berpendapat diberikan tempat dalam sistem demokrasi.

Bahkan hak politik setiap orang pun memiliki kedudukan yang sama. Hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya pemilu pertama kali di era reformasi yang dilaksanakan pada tahun 2004 yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Legislatif dengan menerapkan sistem kepartaian yang cukup baik. Sudah barang tentu, fakta ini menunjukan bahwa kedaulatan benar-benar berada ditangan rakyat, melalui pemilu secara langsung.

Hak memilih dan dipilih secara jelas sudah diatur dalam UUD’45. Mulai dari Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1) dan Pasal 28D ayat (3), secara jelas mengatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bahkan hak memilih dan dipilih pun juga diatur pada tingkat yaitu Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang mengatur hak pilih dalam Pasal 43, menyebutkan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 21 ayat (1, 2 dan 3).

Baca Juga:

Gibran Ikut Pasang Baliho Puan Maharani, Sinyal Arah Politik Jokowi kah?

Seiring perubahan zaman, jalan panjang demokrasi menghadapi jalan terjal dan berliku. Pemilu yang merupakan bagian dari demokrasi belum mampu menghantarkan rakyat indonesia menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Keberadaan partai sebagai pilar demokrasi, belum mencetak kader-kader yang mempunyai dedikasi yang tinggi untuk rakyat, bangsa dan negara. Justru kader partai menjadi bakteri yang menggerogoti sistem demokrasi. Wakil-wakil yang dipilih dan ditunjuk untuk memperjuangkan suara rakyat, rupanya masih mengedepankan kepentingan pribadi dan partai yang mengusungnya.

Menukil pendapat Prof. Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul “politik Hukum” bahwa hingga saat ini kita tidak bisa menipu diri sendiri bahwa keberadaan politik lebih determinan dari pada hukum. Yang artinya bahwa politik lebih berperan aktif dalam mengendalikan negara, ketimbang hukum itu sendiri. Sehingga ragam sistem politik yang dirancang dan dibangun. Tidak lain adalah untuk memperjuangkan kepetingannya sediri dan partai politik menaunginya.


Fransiskus Xaverius. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta

Reporter: KilatNews