OPINI  

Reorientasi Wawasan Kebangsaan Di Era Demokrasi

Tepat pada hari Minggu pagi, tanggal 31 Januari 2021 dapat dikatakan hari sejuta makna bagi segenap kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Janabadra Cabang Yogyakarta. Pagi itu segenap kader HMI dengan penuh khidmat melaksanakan sebuah kajian ilmiah yang merupakan diskusi rutin internal komisariat Janabadra.

Diskusi rutin komisariat tersebut diselenggarakan Bidang PPPA yang difasilitasi oleh Rony Syamsuri selaku Ketua Bidang dengan mengangkat tema “Reorientasi Wawasan Kebangsaan Diera Demokrasi”. Adapun pemantik diskusi, yaitu Syahfuad Nur Rahmat yang juga merupakan kader HMI Komisariat Janabadra.

Adapun pokok dasar dari diskusi ilmiah ini, yakni menyoroti minimnya pengetahuan wawasan kebangsaan yang dimiliki masyarakat dan juga generasi muda di era sekarang (era pemerintahan yang demokratis dan serba modern). Tak ayal, minimnya wawasan kebangsaan menyebabkan konflik horizontal semakin marak belakangan ini.

Perlu diketahui bahwa wawasan kebangsaan dapat menjadi perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap masalah yang memicu konflik dapat diatasi lebih dini apabila wawasan kebangsaan sudah ditransmisikan dalam kehidupan sehari-hari.

Diskursus awal yang dibangun dalam kajian ini mengenai wawasan kebangsaan yang merupakan suatu konsep politik bangsa Indonesia yang memandang indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) dan darat. Termasuk juga yang ada terkandung di dalam tanah, laut dan udara diatasnya secara tidak terpisah. Konsepsi satu kesatuan wilayah inilah yang mempersatukan bangsa dan negara.

Wawasan kebangsaan sebagai konsep politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional disebut wawasan nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan secara gestrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep ketahanan nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Begitu koherennya konsep yang dibangun the founding father terkait dengan wawasan kebangsaan yang tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep persatuan yang dibangun terinternalisasi dalam Frasa “tanah air”. Konsep tanah dan air merupakan ekspresi dari nilai persatuan dimana kesatuan wilayah yang terdiri atas pulau-pulau, lautan dan udara.

Selain itu, Frasa “Tanah Tumpah Darah” juga mengungkapkan persatuan antara manusia dan alam. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan nilai luhur yang menjadi pilar perekat kehidupan bangsa yang berbeda-beda.

Sayangnya konsep yang dibangun tokoh pendiri bangsa diatas, nyaris dalam aktualisasinya nampaknya tergerus arus modernisasi. Nilai luhur bangsa “Gotong Royong” pun hampir punah. Masyarakat sudah nampak hidup sendiri-sendiri, bahkan tidak peduli terhadap orang-orang yang ada disekitarnya.

Keadaan ini tentu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama, khususnya Pemerintah. Pasalnya, Pemerintah belum menunjukan keseriusannya untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada generasi muda. Di zaman Orde Baru program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Terlepas dari apapun bentuk dan isinya—bagaimana pelaksanaan atau aktualisasinya, namun pemerintah masih memiliki kemauan untuk memnanamkan nilai luhur bangsa.

Sejarah sudah membuktikan bangsa Indonesia adalah bangsa yang permisif. Tidak ada konflik saat perjalanan laut yang dilakukan nenek moyang terdahulu, bahkan mereka bergotong royong, bersama-sama menumpas penjajah asing. Pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa spirit persatuan yang ditanamkan dahulu kemudian hilang seketika?

Pada akhirnya, segenap kader HMI Komisariat Janabadra yang ikut dalam diskusi tersebut menarik kesimpulan bahwa memang salah satu yang menjadi problem di negara Indonesia adalah hilangnya pengetahuan tentang wawasan kebangsaan. Hal yang lainnya, yakni penting sekali pengenalan wawasan kebangsaan sejak dini. Generasi muda seyogyanya harus mengenal siapa dirinya sebagai anak dari sebuah bangsa bernama Indonesia.

Penulis, Penguru HMI Komisariat Janabadra Cab. Yogyakarta