Yogyakarta- Institut AntiKorupsi (IAK) untuk kesekian kalinya menyelenggarakan Diskusi Publik. Diskusi yang diselenggarakan kali ini mengangkat tema “kebijakan koruptif di daerah”, yang diselenggarakan, pada hari sabtu, 30/01/2021 dan dilaksanakan secara daring.
Pada diskusi kali ini, hadir dua orang pembicara yang cukup kompeten, yaitu: 1) Abdul Gaffar Karim seorang Akademisi dari Universitas Gaja Mada, sekaligus sebagai Pembina IAK, dan; 2) W. Riawan Tjandra, Pakar Hukum Keuangan Negara juga sebagai Pembina IAK.
Direktur IAK Muhamad Rudi, dalam kata sambutannya menyampaikan bahwa “diskusi ini merupakan rangkaian diskusi besar yang diselenggarakan oleh IAK. Ungkapnya.
Masih dikatakan, Muhamad Rudi “Kami berharap dengan diselenggarakannya diskusi tersebut mampu memberikan ruang wacana dan metode gerakan baru dalam upaya pemberantasan korupsi”. Lanjutnya.
Selain itu, W. Riawan Tjandra selaku pembicara pertama, pada saat menyampaikan materi menyatakan ketidaksepakatannya terhadap UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagaimana diketahui UU 19/2019 adalah hasil revisi dari UU No. 30/2002.
“Tidak boleh lembaga KPK diubah menjadi lembaga “rumpun eksekutif”, karena akan menggagu independensi dan efektifitas lembaga tersebut. Terbukti dengan laporan Transparency International Indonesia (TII), bahwa peringkat indeks persepsi korupsi indonesia merosot dari peringkat 85 (2019) menjadi peringkat 102. Faktor kemerosotan tersebut disebabkan oleh UU No. 19/2019. Ungkapnya.
Keruntuhan trush anti korupsi, salah satunya disebabkan korupsi tidak dijadikan musuh bersama. Dalam banyak kasus korupsi, Riawan Tjandra menemukan banyak saksi ahli, pengacara, berbondong-bondong untuk membela tersangka dengan iming-iming bayaran besar dan fasilitas yang mewah. Oleh karena itu, ia meminta MK berani membatalkan UU 19/2019.
“Mahkamah Konstitusi (MK) untuk berani membatalkan UU No. 19/2019, reformasi penegakan hukum dilanjutkan, dan mendorong partisipasi masyarakat sipil untuk ikut serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi, seperti yang dilakukan oleh IAK”. Harapnya.
Selanjutnya, Abdul Gaffar Karim, pembicara kedua berpendapat bahwa terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam melakukan pembacaan potensi korupsi di daerah.
Pertama, proses rekruitmen pegawai di daerah, termasuk kepala daerah. Sistem politik pemilihan pemimpin di daerah tidak berorientasi pada pemilihan pimimpin terbaik daerah, namun hanya berorientasi pada popularitas sehingga menyebabkan membengkaknya biaya politik di daerah.
Kedua, design pembinaan pegawai di daerah. Negara berpura-pura menggaji kecil pegawai negeri sipil. Lanjutnya, tidak perlu orang jahat untuk korupsi, yang membentengi saya untuk tidak korupsi adalah moralitas, sistem sama sekali tidak membantu.
Ketiga, pola keuangan di daerah. Sistem keuangan di daerah terorganisir secara kaku, sangat tidak efisien dan cenderung hanya menghabiskan anggaran untuk kegiatan yang tidak penting. Ulasnya.
Di penghujung sesi diskusi, Gaffar Karim kembali menekankan bahwa “cara membentuk pemimpin yang baik adalah dengan mengawasinya, dalam prinsip demokrasi pemimpin yang baik bukanlah kesalehan pribadinya, namun pemimpin yang mengayomi dan mengabdi pada masyarakat. Dilain sisi, masyarakat harus segera disadarkan dan digerakkan secara kolektif bahwa keadaulatan berada ditangan rakyat. Dengan terbentuknya kesadaran, maka sama halnya kita sedang memberantas korupsi”. Tegasnya.