Kilatnews.co – Seingat saya ada salah seorang mantan wakil presiden Indonesia, entah benar atau tidaknya, tapi ada terdengar di telinga saya dia mengucapkan kata-kata begini, “Jika mencari sepuluh orang terkaya di Indonesia, sudah dipastikan sembilan orang diantaranya adalah orang-orang Tionghoa.” Begitulah kira-kira ucapnya.

Soal harta duniawi khususnya di Indonesia, orang-orang Tionghoa memang superheronya. Layaknya di film serial ‘Gotham’ karya Bruno Heller, mereka bagaikan keluarga besar Thomas Wayne, kenapa tidak? Hampir tidak pernah kita melihat orang-orang Tionghoa yang tidak memiliki usaha ataupun bisnis. Sekecil-kecilnya usaha mereka, minimal mereka memiliki counter handphone di depan rumahnya, itulah yang terjadi di kampung halaman saya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Andaikan Saya Seorang Tionghoa!

Daerah saya merupakan daerah kepulauan, sepanjang garis pantai rata-rata dihuni oleh saudara-saudara saya dari kelompok Tionghoa. Minimarket, sarang walet, toko bangunan, pasar ikan, pasir, bebatuan, pabrik sagu sampai dengan kedai kelontong, sudah dipastikan 80% usaha mereka. Sehingga banyak sekali masyarakat Melayu yang berkerja dengan mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hadirnya bisnis saudara-saudara saya dari kelompok Tionghoa, terbantu pula pondasi ekonomi warga, pokoknya kalau sampean semua tidak percaya, ya datang saja ke daerah saya. Kabupaten Kepulauan Meranti namanya.

Namun, tiga hari yang lalu, ada fakta menarik dari salah seorang kawan saya. Beliau merupakan seorang Tionghoa. Melalui obrolan ringan di dalam perjalanan pulang dari tempat kerjaan, si teman saya ini, kita sebut saja namanya Ahong (nama samaran), beliau curhat ke saya, soal mereka sering dituduh tidak Indonesiais, tidak pancasilais, “Kami ini juga orang Indonesia lho, bro! Tapi dilain sisi kami sering dianggap orang lain, yang dipandang punya niatan hanya untuk merampok isi bumi Pertiwi ini demi negeri China.” Begitulah curhatan si Ahong, beliau seperti memberontak habis-habisan stereotipe masyarakat terhadap kelompok Tionghoa.

Jika direnungkan sedikit dari curhatan si Ahong ini, saya pikir stereotipe masyarakat umum terhadap kelompok Tionghoa tidaklah sepenuhnya benar, sebab dari tahun ke tahun yang merampok negeri ini bukanlah kelompok Tionghoa, justru para “politisi” yang jika kita ingin telisik lebih dalam, mereka tidaklah bergaris keturunan Tionghoa.

Bahkan fakta sejarah telah menunjukkan, bahwa kemerdekaan Indonesia diraih atas kontribusi seluruh elemen, termasuk kelompok Tionghoa. Banyak orang-orang bergaris keturunan Tionghoa yang telah berjuang untuk Indonesia. Mulai dari Jhon Lie, Yap Tjwan Bing, Lie Eng Hok, Djiaw Kie Siong, sampai dengan Soe Hok Gie. Yang mana perjuangan mereka memiliki warna tersendiri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia (Baca; Aktivis Cina dari Awal Republik).

Namun, apa yang membuat stereotipe negatif itu berkembang terhadap kelompok Tionghoa? Seperti yang dikatakan oleh Ahong tadi. Saya kira curhatan itu harus dijawab dengan beberapa tindakan yang harus dijalankan dengan pikiran dan sikap terbuka.

Makanya, andaikan saya seorang Tionghoa, setidaknya beberapa hal-hal kecil yang bisa saya lakukan berdasarkan pengalaman personal untuk menangkis stereotipe yang liar.

1). Terlibat dalam Setiap Musyawarah Mufakat Sekolah

Sejak saya SMP sampai dengan SMA, teman-teman saya Tionghoa jarang sekali hadir dalam agenda-agenda keorganisasian sekolah, memang sekolah saya ini mayoritas melayu, tapi justru karena itu, harusnya jika “saya” seorang Tionghoa, saya harus berperan aktif dan ikut terlibat memberikan sumbangsih walaupun dalam bentuk pikiran atau gagasan receh. Sehingga walaupun tidak mendominasi, minimal hadirnya saya sudah menjadi pertimbangan dalam kebijakan keorganisasian atau agenda-agenda sekolah.

2). Berpartisipasi dalam Struktural Pemerintahan Desa

Mengabdi untuk bangsa memang banyak jalannya, tidak melulu soal pemerintahan. Namun, jika kita ingin membangun tidak bisa hanya dari satu kelompok tertentu, maka melalui jalur pemerintahan adalah jalan jitu. Hal itu sudah pernah diungkapkan oleh founding father kita dalam pidatonya 1 Juni 1945. Dan harus dimulai dari pemerintahan terkecil suatu daerah, dalam hal ini pemerintahan desa.

Untuk itu, sebagai seorang Tionghoa, saya tidak melulu sibuk dengan urusan bisnis keluarga saya saja. Tapi juga mengambil bagian secara struktural dalam membangun kesejahteraan desa. Entah itu, mencalonkan kepala desa, kepala dusun, ketua BPD, pengurus BUMDES, ketua ini, ketua itu, dan lain-lainlah. Sekedar mencalonkan, syukur-syukur saya bisa naik. Hehe.

Intinya, saya harus proaktif terlibat dan terlihat, dengan tegas saya katakan bahwa, “…urusan kesejahteraan adalah tanggungjawab semua kelompok,” begitulah pidato singkat yang saya ucapkan dalam rapat desa, misalnya.

3).Hadir dalam Tongkrongan di Pinggir Jalan

Sudah jadi budaya di kampung, setiap sore menjelang magrib, ada budaya nongkrong di pinggir gorong-gorong, sambil memetik gitar dan menyanyikan tembang-tembang manis. Nah, dari dulu hampir jarang saudara -saudara saya Tionghoa ikut nongkrong di gorong-gorong pinggir jalan.

Mungkin, karena ada kekhawatiran tidak masuk dalam obrolan. Sehingga absen dari tempat-tempat semacam itu. Namun, jika saya seorang Tionghoa, saya akan beli kacang dan beberapa minuman berperisa, saya numpang nongkrong dan bercerita, sembari menjamu kacang dan membawa rokok surya, menyanyikan beberapa lagu-lagu nostalgia.

Mustahil, ditongkrongan itu menolak muka saya yang seorang Tionghoa, sebab kacang sudah terhidang, rokok surya sudah terbuka. Biasanya ditongkrongan kawan-kawan yang datang jarang bawa rokok lebih. Jadi, ketika sebungkus rokok sudah ditawarkan, biasanya kata-kata penolakan tidak bisa terucapkan. Alhasil, ditempat tongkrongan saya akan lebih puas dan bebas bercerita apa saja secara terbuka.

4).Menjalankan Pos Ronda

Pekan lalu, saya sempat ke kota Pekanbaru, kebetulan itu hari libur, Sabtu dan Minggu. Sekitar jam sepuluh malam saya baru pulang dari tongkrongan bersama kawan-kawan. Nah, saya tinggal di rumah sepupuan. Di sekitar rumah sepupu saya ini tidak hanya didominasi oleh satu suku, tapi beragam suku. Hampir semua suku ada, tidak terlepas dari suku Tionghoa.

Ketika melewati gang, ada lima orang yang menjaga pos ronda, tidak lupa saya melewati sembari memberikan salam sapa. Dari penglihatan saya, sepertinya tidak ada itu garis keturunan si Ahong di dalamnya. Dasar si Ahong.

Andaikan saya Ahong, akan saya sempatkan waktu untuk sekedar duduk sebentar walaupun hanya bercerita liga-liga bola. Pos ronda, tempat paling epik tentunya untuk saya menampakkan muka. Sebab, Indonesia dan pos ronda bagaikan hal yang tidak bisa terpisahkan.

Orang Indonesia mana yang tidak tahu pos ronda, haaa? Bahkan pos ronda seperti alarm bagi warga. Pokoknya pos ronda itu melambangkan Indonesia sekalilah. Jadi, jika saya seorang Tionghoa, tentunya akan saya tunjukkan bahwa saya juga bisa berjaga di pos ronda. Saya bisa menggunakan kain sarung sembari duduk mengharungi pikiran yang linglung. Ikut bermalaman di pos ronda, artinya saya ikut terlibat menjaga bagian Indonesia.

Begitulah kiranya yang bisa saya lakukan jika saya seorang Tionghoa. Disamping itu saya juga menyadari, stereotipe negatif pasti tetap akan ada melekat dari setiap kelompok terhadap kelompok lain.

Namun, streotipe negatif orang-orang terhadap diri ini tidaklah bisa kita kendalikan, yang pasti bisa dikendalikan hanyalah perilaku atau tindakan. Untuk itu, agar persepsi orang-orang tidak salah memahami diri kita sebagai manusia, mulailah menjaga pos ronda, atau hal-hal yang dipandang lebih Indonesia dan bermanfaat tentunya. Mantap! Untuk sahabat saya si Ahong jangan lupa berjaga di pos ronda. Biar kelihatan Indonesia. Wkwkw.

Sebagai akhir dari catatan ini, kembali saya ingatkan. Republik ini sudah majemuk sejak dalam kandungan. Kemerdekaan diraih bukan berkat perjuangan satu kelompok, melainkan banyak pihak dengan beragam latar belakang, etnis, agama, kelas sosial, hingga afiliasi politik. Maka mengklaim bangsa ini untuk golongan sendiri berarti mengingkari fitrah Indonesia (tidak pakai harga mati).

Mahadir Mohammed. Penulis adalah Penggiat Literasi

Reporter: KilatNews