Kilatnews.co Sebenarnya sudah pada tahu belum soal yang dimaksud dengan sistem pemilu proporsional tertutup? Kadang kita banyak terjebak kepada “look who is talking too“. Tidak tahu yang dibahas apa, pokoke Si A berkata begitu, apapun yang dikatakan Si A saya gak akan setuju. Atau sebaliknya, apapun yang dikatakan Si A, saya akan setuju. Ini namanya pemahaman lawakan.

Ada baiknya dicermati apa sih yang dimaksud, bukan sekadar siapa sih yang bicara?

Jika kita sudah paham, barulah silahkan berkomentar, karena argumentasinya akan enak didengar, tidak subyektif. Bukan sekadar suka atau tidak suka. Hal ini kerap melanda masyarakat awam. Istilah Jawanya “waton“. Baik waton seneng ataupun waton gak seneng. Waton setuju, ataupun waton menolak.

Sejak awal era Reformasi, penerapan sistem pemilu proporsional selalu menuai perdebatan. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem proporsional adalah sistem pemilu yang dipilih para pembuat kebijakan (elite partai). Variasinya relatif terbatas: menggunakan proporsional tertutup, setengah terbuka, atau terbuka penuh.

Bagaimana sejarah penerapannya? Kita lihat berikut.

Proporsional tertutup digunakan di Pemilu 1955 (dengan perbedaan adanya calon perseorangan), sepanjang pemilu era Orde Baru, hingga Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004 sistem proporsional ”sete- ngah” terbuka diterapkan.

Proporsional terbuka (penuh) mulai diterapkan sejak adanya Putusan MK No 22-24/ PUU-VI/2008 menjelang Pemilu 2009, mengoreksi penerapan proporsional ”setengah” terbuka jadi terbuka penuh, yang berlaku hingga Pemilu 2024.

Namun kini menjelang pemilu 2024 pun MK diminta untuk (kembali) menguji materi terhadap sistem pemilu tersebut. Seperti diketahui dua partai (PDIP dan PBB) setuju untuk menggunakan sistem proporsional tertutup, sementara partai lainnya menyatakan menolak dan tetap kepada sistem proporsional terbuka. Yang pasti semua alternatif pilihan tersebut tidak ada yang inkonstitusional, atau bertentangan dengan UUD 1945.

Proporsional tertutup itu ringkasnya pemilihan umum untuk kursi di parlemen dengan sistem mencoblos partai. Berbeda dengan proporsional terbuka yang bisa mencoblos personal caleg.

Apa sih konsekuensinya? Memang ada efeknya dengan kecerdasan apalagi dengan nasib rakyat sebagai pemilih? Ya sebenarnya tidak mengubah apa-apa bagi rakyat, nyaris sama saja, bahkan rakyat kerap hanya ikut berpartisipasi saja.

Dasar pemikiran yang setuju proporsional tertutup adalah, bahwa yang disebut peserta pemilu itu adalah partai, bukan individu ataupun personal. Namun demikian, MK pernah menyatakan bahwa partai itu juga perkumpulan beberapa individu, namun tiap individu yang akan menjadi anggota parlemen haruslah melalui partai (kecuali DPD). Jadi, sekali lagi, sepertinya bukan soal bertentangan dengan konstitusi atau tidak, tapi terkait “selera” dan strategi partai sendiri.

Jika tertutup, maka partai lebih leluasa dan memastikan yang mendapatkan jatah adalah sesuai nomer urut (istilahnya “nomer sepatu”). Tapi jika terbuka, maka caleg nomer urut buntut tapi karena populer di masyarakat maka dia bisa saja lolos karena dicoblos. Yang berkepentingan di sini harusnya caleg. Strategi partai lainnya, masyarakat agar fokus kepada partai saja, jangan kepada pribadi/individu.

Contoh: masyarakat bisa saja lebih tertarik dengan caleg yang dia kenal dari partai F, meskipun dia sebagai partisan atau kenal juga dengan partai A. Alasan lainnya, saat kemarin pemilu dengan sistem terbuka, ternyata juga dibolehkan nyoblos partai ketimbang bingung lihat daftar caleg yang demikian banyak. Oleh karena itu, kenapa tidak sekalian coblos partai saja semuanya?

Saya sendiri tidak dalam posisi untuk meyakinkan mana yang lebih baik. Dari perspektif partai besar seperti PDIP, atau partai kecil yang dianggap lebih populer partainya ketimbang calegnya (kadernya), seperti PBB, mungkin lebih praktis untuk memilih partai saja. Tapi kan banyak juga, misal artis yang ingin nyaleg, hal ini sebagai daya tarik masyarakat untuk memilih artis tersebut (ketimbang partainya).

Partai yang kemasukan” caleg artis tadi malah senang menjadikannya “tambang suara” (kelebihan suara dari artis tadi kan lumayan masuk ke partai). Jika tertutup akan mengurangi “gesekan” caleg di internal partai.

Pembaca tahu sendiri, biasanya memang antar caleg di satu partai bisa saling sikut menguasai suara di dapilnya, padahal di dapil itu ada beberapa caleg temannya (separtai). Jika terbuka, maka yang tempur dalam arti sesungguhnya antar pribadi caleg bisa terjadi.

Di pihak lain, masyarakat ingin pemilu yang lebih praktis saja. Bahkan jika perlu hanya diikuti beberapa partai saja, tidak multi partai yang kadang bikin pusing melihat kertas suara demikian besar. Terlebih yang sudah sepuh-sepuh ataupun mereka yang berada di pelosok pedalaman yang (maaf) kurang pendidikan. Terpenting lagi, mana yang terbaik saja agar perhelatan pemilu aman damai dan manfaat. Percuma pemilu kalau tidak faedah.

Nah, sebagai bahan diskusi di alam demokrasi ini ya silahkan saja kita membahas sistem pemilu seperti di atas. Namun tidak perlu sampai berdebat hingga ngotot-ngototan karena sekali lagi tidak berpengaruh besar dan tidak berpengaruh langsung kepada kita sebagai rakyat pemilih. Pastinya, mungkin tradisi amplop atau “bitingan” akan berkurang kalau sistem tertutup. Karena mesin partai lebih bekerja ketimbang individu caleg.

Reporter: KilatNews