Kebangkitan MU Setelah Terpuruk Di Awal Kompetisi, Dejavu?


Pada laga pra musim, Manchester United (MU) di bawah asuhan manajer baru, Erik Ten Hag, cukup menjanjikan di mana salah satunya sempat menggebuk Liverpool 4-0 di Bangkok, Thailand. Namun siapa yang menyangka mengawali pertandingan di Liga Inggris, MU justru takluk di tangan tim medioker seperti Brentford dan Brighton.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Kebangkitan MU Setelah Terpuruk Di Awal Kompetisi, Dejavu?

Dua kekalahan beruntun ini menjadikan MU terdampar di dasar klesemen (terbawah dari 20 tim peserta). Siapa yang berani menjagokan mereka juara liga? Jangankan juara, masuk dalam zona Champion saja sudah dianggap berat (mengingat tim saingan lain). Paling realistis MU berada di papan tengah, setidaknya masuk zona piala Eropa (UEFA Cup).

Kritik dan cemooh datang bertubi-tubi terutama dari para pendukung atau suporter tim pesaing yang selama ini memang mengharapkan MU semakin terperosok dan keluar dari big six ataupun big four liga. Diketahui, bahwa selain memiliki banyak fans club, MU juga banyak memiliki haters. Karena hampir semua fans tim pesaing merupakan haters MU.

Baca Juga: Messi dan Ronaldo, Bintang Sepakbola Modern

Hal ini mungkin selama beberapa dasawarsa, terutama di bawah kepelatihan Sir Alex Ferguson, MU terlalu dominan menguasai liga Inggris. Tercatat hingga kini 20 tropi liga berhasil mereka raih (tertinggi). Namun sepeninggalan SAF, MU seperti anak ayam kehilangan induknya. Tidak bertaji lagi dan minim tropi. Bahkan belum pernah menjuarai liga domestik lagi sejak 2013.

Kondisi ini tentu membuat fans tim pesaing merasa senang, artinya peluang mereka untuk menjuarai liga.terbuka lebar. Tim seperti Manchester City, Liverpool, Chelsea, Spurs dan Arsenal berlomba bergantian mengisi top 4. Sementara MU harus puas masuk dalam liga malam Jumat. Hal ini telah berlangsung 9 tahun, dan MU kini dianggap tim medioker.

Suksesor SAF yang sudah berganti beberapa kali, belum ada yang mampu mengangkat kembali MU sebagai klub elite liga Inggris. Kembali kepada kompetisi 2022-2023, MU dianggap benar-benar sudah habis (the end club’). Pernahkah MU semalu itu sebelumnya? Pernah. Mungkin para gibol dan fans MU masih ingat edisi pertama Premier League (musim 1992-1993).

Kala itu, Man United di bawah asuhan Alex Ferguson menelan kekalahan dari Sheffield United (1-2) dan Everton (0-3) pada dua laga pembuka kompetisi. Namun, di luar dugaan, Man United yang terseok-seok di awal musim justru menjadi tim dengan raihan poin tertinggi pada akhir kompetisi. Bahkan, mereka unggul 10 angka atas pesaing terdekat, Aston Villa, yang ketika itu finis di peringkat kedua.

Baca Juga: Aplikasi Live Streaming Bola Terbaik, Ada yang Gratis Lo!

Memori tepat 30 tahun lalu seperti dejavu yang terulang kembali di edisi kompetisi 2022-2023. Dua kekalahan beruntun seperti dituliskan di atas, seperti melecut pelatih dan pemain untuk berontak dan menunjukkan mereka tidak pantas berada di sana (dasar klesemen). Perlahan mereka mulai bergerak beranjak dari dasar dan kini memiliki poin yang sama dengan Newcastle United yang berada di posisi 3.

Sama memiliki poin 35, namun MU masih memiliki satu pertandingan sisa dibanding NU. Dan nilai itu hanya selisih 1 poin lebih sedikit dibanding Manchester City yang berada di posisi 2. Sementara Arsenal memuncaki klesemen sementara dengan jarak 9 poin dengan MU. Bagaimana MU kini bisa bangkit dari awal kompetisi yang berada di dalam dasar zona degradasi?

Menurut beberapa pengamat, ada dua faktor yang utama, yakni beberapa pemain baru yang moncer, dan faktor ETH sendiri selaku the new boss. Beberapa pemain baru yang dipandang sebagai pembelian terbaik itu adalah: Casemiro, Christian Eriksen, Lisandro Martinez, Raphael Varane (kecuali Christian yang didapat secara gratis). Mereka bermain baik.

Sementara pemain baru lain seperti: Jardon Sancho dan Anthony masih belum nyetel. Ada pula beberapa pemain lama yang kini mulai gacor setelah di musim sebelumnya sempat tenggelam, yakni: Marcus Rashford, Anthony Martial, Luke Shaw, bahkan Bruno Fernandes. Mereka seperti mendapat nyawa baru setelah ditangani oleh ETH. Begitupun dengan Diogo Dalot.

Bahkan MU mulai memunculkan pemain muda (akademik MU) dan mendapat kesempatan bermain di tim utama seperti Elanga dan Garnacho. Kepergian Edison Cavani dan Cristiano Ronaldo tidak berdampak buruk kepada permainan MU, malah semakin padu secara team work. Hal ini tidak lepas dari peran ETH yang tegas dan tidak pandang bulu.

Pasukan MU di bawah ETH tidak mengenal “pemain bintang”. Pemain yang siap yang akan dia turunkan sebagai starter, bukan karena dia pemain mahal. Sikapnya yang berani membangku-cadangkan CR7 dan bahkan “memecatnya” dianggap sebuah keberanian yang tidak dimiliki pelatih lain. Jardon Sancho yang dibeli mahal dari Dortmund pun belum lagi dimainkan dan masih menjalani porsi latihan pribadi.

Selain tegas, ETH juga sangat disiplin terutama terhadap aturan yang sudah dia buat dan harus diterapkan pemain. Baru lalu Rashford mendapat hukuman tidak sebagai starter karena melanggar disiplin terlambat mengikuti pertemuan sebelum pertandingan. Inilah semangat yang dulu sempat Hila di MU. Pemain tidak sekadar main, melainkan harus siap jika perlu mati di lapangan.

Tanpa semangat itu, jangan pernah harap bisa dimainkan ETH turun ke lapangan. Hal ini yang kini dirasakan oleh pemain senior seperti David de Gea hingga dia bisa bermain apik, karena dia memberikan sepenuhnya apa yang dia miliki untuk MU. Empat pertandingan terakhir dengan cleansheets merupakan catatan yang bagus. Bek tengah yang selama ini rapuh, kini mulai terjaga dengan baik oleh duet Varane dan Martinez.

Gelandang bertahan yang kokoh seperti era Roy Keane kini sudah memiliki pengganti yang tepat pada diri Casemiro. Sedang Eriksen bisa berperan sebagai gelandang penghubung seperti yang dilakukan pendahulunya, Paul Scholes. Dengan komposisi racikan ETH plus nuansa kepelatihannya, mungkinkah bisa mengembalikan MU pada posisi semula sebagai klub elit EPL? Kita tunggu saja hingga kompetisi ini berakhir.

Reporter: KilatNews