Taktik Lionel Scaloni, Argentina Juara Piala Dunia Qatar 2022
Piala Dunia di Qatar (Indonesian: PD Piala Dunia/ English: WC World Cup/ Arabic: KA Ka’su-al-‘Aalam) telah berakhir pada hari Ahad 18/12/2022 dengan Argentina sebagai juaranya setelah menang di laga final atas Perancis. Pertandingan berjalan begitu seru, ini menjadi salah satu laga yang banyak diperbincangkan di antara banyak pecinta sepakbola.
Probabilitas peluang untuk meraih juara memang hanya berbanding tipis tidak seperti laga final sebelum-sebelumnya: PD 2022 Argentina 53% dan Perancis 47%, PD 2018 Perancis 63% dan Kroasia 37%, PD 2014 Jerman 57% dan Argentina 43%, PD 2010 Spanyol 44% dan Belanda 56%, PD 2006 Italia 54% dan Perancis 46%, PD 2002 Brazil 58% dan Jerman 42%, hanya Belanda yang tidak mampu juara saat peluangnya lebih unggul dari pada lawan yang dihadapi pada partai final.
Catatan statistik laga dari babak penyisihan grup hingga semifinal. Argentina dengan gaya pemainan offensive terbukti mampu melepaskan setidaknya 12 tembakan dengan 8 tembakan on target per-laga, sayangnya Argentina sering juga kebobolan hampir setiap laga terlepas dari banyaknya save oleh kiper andalan mereka yaitu Emiliano Martinez.
Sedangkan Perancis selama piala dunia 2022 Qatar mencatatkan rata-rata hanya 8 tembakan dan hanya 5 saja yang on target per-laga, namun efektifitas pemanfaat peluang dan sedikit kebobolan menjadi kunci Perancis yang berhasil melaju ke partai Final.
Taktik Lionel Scaloni
Lionel Scaloni, Pelatih Argentina menerapkan gaya permainan penguasaan bola (Possession Ball Game) yang sedikit dicampur dengan Long Ball Counter (Serangan Balik), singkatnya adalah pencampuran gaya permainan ala Spanyol dan Portugal.
Hal ini tidak heran kendati skuad yang dimiliki memang mempunyai ciri khas yang serupa, berbeda dengan gaya permainan Inggris yang mengutamakan Kick-Rush (Tendang-Lari) dan umpan silang dari sisi sayap serta Quick Counter (Serangan Balik Cepat) dengan umpan pendek hingga umpan medium yang dikombinasikan untuk mendobrak pertahanan lawan.
Kita mengetahui bahwa kesuksesan hasil positif Argentina dalam dua tahun terakhir adalah dari kecerdasan pelatih muda Lionel Scaloni yang dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan oleh para pemainnya dan juga memang sesuai dengan kualitas skuadnya. Khususnya pada Piala Dunia 2022 di Qatar, Scaloni telah menerapkan 4 macam fleksibilitas skema formasi dalam gaya permainan Argentina yaitu 442, 4231, 343 dan 352.
Perlu diingat bahwa penulis tidak membahas skema formasi di atas kertas yang ditunjukkan oleh Tv penyiar sebelum kick-off melainkan penulis membahas skema pergerakan pemain yang diterapkan saat laga berjalan.
Formasi 442 versi Diego Simeone 2014-2020. Dua pemain tengah bersama dua pemain bek sayap secara bergantian mengatur tempo dan transisi. Simulasinya adalah dua CMF turun ke belakang dan melebar ke sisi lapangan mengisi kosongnya posisi yang ditinggalkan oleh RFB dan LFB.
Kemudian SMF akan mengisi half-space oleh karena dalam formasi 442 ini tidak ada AMF. Sedangkan dua orang FW tidak banyak turun membantu pertahanan. Beban tim secara keseluruhan bergantung pada performa dua pemain FW di depan. Sebab, tim akan cukup kesulitan dalam mencetak gol apabila pemain FW tidak tampil maksimal.
Skema ini juga mengadaptasi 4411 yang mana salah satu pemain FW diubah rolenya sebagai SS untuk menjadi konektor antara para pemain tengan, sayap dan penyerang.
Pemain kreatif yang memiliki atribut skill yang baik dalam segala aspek (Dribbling, Ball Controlling, Passsing, Shooting) menjadi kunci permainan. Sebut saja Dennis Bergkamp di Belanda 1990-2000 menjadi pemain kunci dalam gaya permainan Belanda, sebagai salah satu momen yang paling diingat adalah Ketika Belanda menumbangkan Argentina di Piala Dunia 1998.
Kesuksesan Arsenal juga tidak lepas dari kualitas seorang Bergkamp yang bermain untuk Arsenal 1995-2006. Sebagai tambahan, Fulham berhasil mencapai partai final UEFA Europe League pada tahun 2010 juga menggunakan skema yang sama.
Perhatikan: laga Polandia 451 vs Argentina 4411 dan laga Argentina 442 vs Kroasia 3511.
Formasi 4231 versi Jose Mourinho 2009-2015. Transisi dalam skema ini cukup banyak, dari 4231 berubah menjadi 4141 saat menyerang dan kemudian 451 saat bertahan, dan 4123 saat lawan menggunakan low-block defending, namun rotasi posisi antar para pemain tidak banyak berubah sehingga tim akan terkesan memiliki dua kepribadian yaitu bertahan kemudian mendadak menyerang maupun sebaliknya.
Pada dasarnya formasi ini digunakan untuk kehati-hatian oleh karena butuh adaptasi terhadap lawan yang akan dihadapi. Gaya permainan secara otomatis akan menyesuaikan terhadap lawan yang dihadapi, jadi tim akan sangat menyerang apabila lawan cenderung mengutamakan pertahanan, sebaliknya tim akan mengutamakan pertahanan apabila lawan cenderung mengontrol jalannya pertandingan.
Terbukti tim yang diasuh oleh Jose Mourinho, yaitu Inter Milan dan Real Madrid menjadi tim paling subur mencetak gol di antara para pesaingnya.
Inter Milan juara Liga Italia 2009 meraih 84 poin dan 70 gol, kemudian Inter Milan juara Liga Italia 2010 meraih 82 poin dan 75 gol serta Inter Milan sebagai klub pertama yang meraih Treble Winners. Selanjutnya Real Madrid di Liga Spanyol menjadi tim pertama yang meraih 100 poin dan mencetak 121 gol dalam semusim.
Hanya saja media terlalu mengedepankan istilah “parkir bus” terhadap taktik 4231 ala Mourinho bahkan media hampir tidak pernah menunjukkan bahwa skuad Mourinho adalah tim yang paling atraktif dalam menyerang. (Perhatikan: laga Argentina vs Arab Saudi dan laga Argentina vs Australia 4411 dan laga Argentina 4231 vs Perancis 4411.
343 versi modern 2004-hingga sekarang. Fomasi ini memiliki banyak resiko namun efektifitasnya dalam bersaing di lini tengah dan sisi lapagan membuat tim akan lebih stabil. Taktik rotasi pemain dalam skema ini digunakan oleh Rafael Benitez saat di Liverpool, Jose Mourinho saat di Chelsea periode pertama, Antonio Conte saat di Chelsea dan Thomas Tuchel saat di Chelsea.
Efektifitas dalam skema ini adalah jika line-up diisi oleh mayoritas para pemain yang mengandalkan kecepatan berlari dan kemampuan giring bola yang cepat pula.
Perbedaan yang paling signifikan dai antara keempat pelatih tersebut adalah jarak antar pemain, hanya Thomas Tuchel yang jarak antar pemainnya lebih dekat dengan mengandalkan umpan pendek sedangkan pelatih lainnya menggunakan umpan medium dan umpan panjang.
Pemain tengah sebagai orkestrator yang mempunyai visi umpan panjang yang akurat ditemani oleh pemain tengah yang bertipikal sebagai fighter yang mempunyai stamina tinggi. Keduanya harus memiliki keseimbangan dalam menyerang maupun bertahan. Itulah sebabnya Chelsea di era Conte lebih sering menduetkan N’Golo Kante dan Nemanja Matic yang keduanya sama-sama bermain 3000+ menit sedangkan Cesc Fabregas bermain 1800+ menit sebagai pelapis di antara kedua duet tersebut.
Untuk bek tengah Conte memainkan David Luiz, Garry Cahill dan Azpilicueta sebanyak 3500+ menit, di gelandang sayap Conte memainkan Marcos Alonso dan Victor Moses masing-masing 3000+ menit.
Scaloni menerapkan formasi 343 attacking oleh karena lawan menggunakan 451, 541 dan 532. Komposisi 3 bek tengah yang digunakan pada babak pertama: Otamendi, Guido Rodriguez, Lisandro Martinez, oleh karena skor masih 0-0 sedangkan lini depan Meksiko mempunyai kecepatan sehingga pada babak kedua pemain Real Betis yang aslinya berposisi sebagai DMF Guido Rodriguez digantikan oleh Cristian Romero.
Komposisi 3 bek tengah pada babak kedua: Cristian Romero, Otamendi, Lisandro Martinez. Sedangkan pemain yang diperintahkan Scaloni untuk menjadi gelandang sayap dalam skema ini adalah Marcos Acuna sebagai LMF yang bermain full sedangkan Montiel dan Molina bergantian di posisi RMF. Perhatikan: laga Argentina 343 vs Meksiko 5311.
Formasi 352 versi Carlos Salvador Bilardo 1982-1992. Pelatih asal Argentina ini menerapkan formasi 352 yang ia racik, meskipun banyak yang memperdebatkan manakah 352 yang paling efektif apakah 352 versi Carlos Bilardo atau 352 versi Franz Beckenbauer, sebab kedua pelatih ini sama-sama memiliki pola skema yang serupa terlebih lagi Argentina dan Jerman juga masuk final beruntun yaitu Argentina juara atas Jerman Barat (Final 1986 di Meksiko, ARG 3-2 WGR) dan Piala Dunia 1990 Jerman Barat juara atas Argentina (Final 1990 di Italia, ARG 0-1 WGR).
Terlepas dari isu kedekatan Jerman dengan Italia yang mana saat itu Italia sebagai tuan rumah Piala Dunia 1990 akan tetapi gaya permainan dengan skema 352 ini menorehkan hasil positif, terbukti kedua negara melakoni partai final beruntun. Namun pastinya 352 yang digunakan oleh Scaloni bukanlah 352 versi Louis Van Gaal dan 352 versi Mauro Pochettino yang mana kedua pelatih ini menggunakan skema 352 sebagai anti-thesis terhadap lawan yang sangat baik dalam penguasaan bola (Belanda di Piala Dunia 2014 dan Tottenham Hotspurs saat meraih posisi 2 di Liga Inggris dan posisi 2 di Liga Champions Eropa). Perhatikan: laga Belanda 4141 vs Argentina 352.
Fleksibiltas skema gaya permainan yang dapat diimplementasikan skuad Lionel Scaloni sukses meraih gelar juara Piala Dunia untuk Argentina yang ke-tiga kalinya. Pertama, 1978 Daniel Passarella, Leopolde Luque dan Mario Alberto Kempes, kedua, 1986 Daniel Passarella, Jorge Valdano dan Diego Armando Maradona 1986, ketiga, 2022 Nicolas Gonzalo Otamendi, Angel Di Maria dan Lionel Andres Messi dan keempat?
Imam El-Muttaqin. Penulis adalah Pengamat Sepakbola