Satukan Langkah, Cegah HIV serta Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Satukan Langkah, Cegah HIV serta Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. (Ilustrasi: pixabay)

Kilatnews.co UPKM/CD Bethesda YAKKUM, Jaringan Advokasi HIV dan AIDS (JAVA) DIY, Yayasan Kebaya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, PKBI Kota Yogyakarta, Pita Merah dan Duta HIV & AIDS DIY akan menggelar diskusi publik dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia (HAS) Tahun 2022.

Kegiatan diskusi serta penggalangan komitmen dari tokoh agama dan stakeholder terkait digelar pada Kamis, 1 Desember 2022, yang mengusung tema “Satukan Langkah, Cegah HIV serta Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”.

Perlu diketahui bahwa kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid dan menghadirkan narasumber dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Komnas Perempuan serta Perwakilan Tokoh Agama. Sedangkan untuk kegiatan luring dilaksanakan di Hotel Tjokro Style Yogyakarta serta daring melalui Zoom dan Streaming Youtube.

Kegiatan ini menjadi salah satu momen penting untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap upaya pencegahan HIV serta Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dengan pelibatan tokoh dan penyuluh agama serta organisasi keagamaan serempak di lima Kabupaten/Kota yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Belu, Sumba Timur, Alor dan Malaka.

Tema Peringatan HAS 2022 ini diambil sebagai bentuk kepedulian para koalisi civil society pada isu HIV & AIDS yang memiliki korelasi kerentanan yang dialami perempuan dan anak untuk terinfeksi HIV.

Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia di tahun 2021 terdapat 2.485.430 ibu hamil yang di lakukan Tes HIV. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan 4.466 ibu hamil yang positif HIV. Selama 2 tahun ini terakhir, 2020 dan 2021 kasus HIV mengalami penurunan, namun kasus itu masih diatas 30.000 kasus. Sehingga masih perlu usaha yang keras dari berbagai pihak untuk turut serta dalam pengendalian.


Kasus HIV dan AIDS dapat menginfeksi siapa saja. Bukan hanya kepada orang-orang yang telah aktif secara seksual, memiliki perilaku seksual yang beresiko saja. Namun bayi, dan anak pun memiliki resiko terinfeksi HIV.

Berdasarkan data Ditjen P2P Kementerian Kesehatan (KEMENKES) Republik Indonesia (RI) tahun 2022 telah ditemukan bayi dan anak terinfeksi HIV. Artinya ada keterlambatan mengetahui seorang perempuan tersebut hamil dengan kondisi telah positif HIV.

Keadaan ini sangat disayangkan, namun bisa terjadi apabila perempuan tersebut tidak memiliki keberdayaan atas dirinya sendiri. Saat perempuan dalam kondisi tidak berdaya, maka ia pun tidak memiliki kesadaran tentang kesehatan nya sendiri. Ada banyak kasus ibu rumah tangga, yang tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain selain suaminya, namun ia tetap terinfeksi HIV.

Hubungan pasangan suami istri yang timpang, akan semakin memperlihatkan betapa kuatnya budaya patriarki di masyarakat Indonesia. Keadaan ini memberikan resiko tinggi pada perempuan untuk terinfeksi HIV.

Ketidakjujuran dari pasangan adalah bukti, bahwa di dalam keluarga itu masih ada ketimpangan gender. Ini memiliki dampak kerentanan pada istri terinfeksi HIV tanpa tahu kondisinya sendiri. Istri yang tidak memiliki nilai tawar untuk melakukan negosiasi kepada suami pada saat melakukan hubungan seksual, dan juga tidak memiliki pengetahuan yang baik terkait HIV & AIDS akan memberikan resiko terinfeksi HIV.

Saat istri hanya nrimo ing pandum, ia hanya mampu menjalani tanpa mengetahui kondisi kesehatan suaminya pada saat melakukan hubungan seksual, sehingga memiliki resiko tinggi terinfeksi HIV. Apabila seorang istri dalam urusan hubungan seksual saja tidak memiliki nilai tawar untuk melakukan negosiasi, apalagi dalam urusan lain.

Tentu dalam hal ini, istri hanya menjadi sebagai objek, dan tidak mampu berbuat apapun untuk menolak permintaan suaminya. Sekalipun saat suami melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan kepadanya, istri hanya akan diam. Karena istri tidak memiliki kemampuan mengetahui konsep kekerasan, dan tidak memiliki kesadaran bahwa apa yang dilakukan suaminya tersebut sebuah perilaku kekerasan, paksaan yang seharusnya tidak dilakukan.

Berdasarkan data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS) Perempuan tahun 2022 Kekerasan Berbasis Gender (KBG) ada 338.449 kasus.

Maksud dari KBG adalah setiap perilaku membahayakan yang dilakukan kepada seseorang berdasarkan aspek sosial seperti gender yang dilekatkan oleh masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Adapun yang termasuk di dalamnya adalah segala perilaku yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang. Hal tersebut bisa disebut sebagai KBG. Artinya tahun 2022 ada perempuan yang mengalami kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga. Entah itu pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perempuan menjadi rentan terinfeksi HIV.

Transmisi HIV kepada ibu rumah tangga terjadi, karena adanya kekerasan terhadap perempuan. Banyaknya perempuan yang dilaporkan terinfeksi HIV dari pasangannya dan bahkan menularkan kepada bayi-bayi yang dikandungnya dalam beberapa tahun terakhir, adalah bukti, fenomena KBG memiliki kaitan dengan HIV.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir mulai bermunculan kasus HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada anak yang terjadi karena kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga atau orang terdekat.

Mengingat kembali, bahwa pada tahun 2019 kasus kekerasan terhadap perempuan ada 431.471 kasus, dan tahun 2020 ada 299.911 kasus. Artinya ada penurunan berdasarkan data.

Namun karena tahun itu adalah tahun ada wabah pandemi COVID-19. Ada kemungkinan selama COVID-19 korban dekat dengan pelaku kekerasan akibat PPKM. Korban cenderung mengadu pada keluarga atau hanya diam. Juga, persoalan literasi teknologi, dan belum ada adaptasi yang memadai untuk model layanan pengaduan. Sehingga banyak korban yang hanya diam, dan kebingungan kemana harus melakukan pengaduan.

Pademi COVID-19 juga memberikan pelajaran tersendiri, bahwa KBG itu menyebar luas. Bisa terjadi pada semua ranah dan usia. Pelakunya pun orang terdekat dari korban, bisa pacar, suami, orang tua, guru, dosen, tokoh agama, TNI, POLRI, Aparatur Sipil Negara, tenaga medis, pejabat publik dan aparat penegak hukum.

Berdasarkan data dari CATAHU disebutkan, bahwa kerentanan tersebut masih terjadi karena ada hubungan yang positif kondisi sosial-ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan. Membincang KBG juga tidak terbatas pada perempuan non disabilitas, namun juga terjadi pada perempuan dengan disabilitas. Tahun 2021 secara data nasional menunjukan ada 42 kasus perempuan mengalami KBG. Data tersebut memang tidak menyebutkan korban terinfeksi HIV, namun korban memiliki resiko kerentanan tinggi terinfeksi HIV.