OPINI  

Pluralisme Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling plural di dunia. Indonesia memiliki ribuan pulau sekaligus merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Serta dengan latar belakang yang paling beraneka ragam, yaitu dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya. Indonesia juga merupakan sebuah negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Pluralisme dalam masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekayaan budaya bangsa yang sangat tinggi nilainya.

Maka dari itu setidaknya kita tau apa itu pluralisme ?

Secara harfiah, pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal atau banyak. Oleh sebab itu, sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis dan berbagai sudut pandang serta latar belakang. Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris “pluralism”.

Pluralitas identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Pluralisme adalah sebuah asumsi yang meletakkan kebenaran agama. Agama sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi setara, apapun jenis agama itu. Pluralisme agama meyakini bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sama.

Di Indonesia terdapat enam agama besar, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan dan Konghucu yang mempunyai mempunyai komposisi penganut terbesar masing-masing agama. Yang mana dengan perbedaan-perbedaan itu berpotensi menimbulkan konflik antar agama. Suatu konflik sosial bernuansa agama, biasanya terjadi karena bertemunya empat elemen utama dalam waktu yang bersamaan.

Keempat elemen itu ialah facilitating contexts (Kontekss pendukung ), core (roots) of conflict (akar konflik), fuse factors (sumbu), dan triggering factors (pemicu). Sehingga di dalam masyarakat yang pluralistik ini apabila empat elemen itu sudah menyatu, maka dapat diibaratkan bagai bom waktu yang siap meledak dan akan terjadi kerawanan-kerawanan sosial yang sewaktu-waktu akan berakhir dengan konflik.

Yang dimaksud akar konflik disini, yakni berupa suatu tingkat penderitaan sosial (social deprivation) yang tidak dapat ditolerir lagi seperti dalam perebutan sumber-sumber daya (resources) maupun kekuasaan (power). Seperti penguasaan sebagian besar lahan tertentu atau penguasaan jabatan-jabatan publik tertentu di suatu daerah oleh kelompok tertentu dan dalam kurun waktu yang berkepanjangan. Maka apabila kelompok yang mendominasi dengan kelompok yang terdeprivasi itu kebetulan berasal dari kelompok agama yang berbeda, maka konflik yang terjadi bergerak menjadi konflik yang bernuansa agama. Ditengah-tengah pendukung konflik dan akar konflik terdapat sumbu konflik (fuse factor). Tetapi tidak dengan sendirinya sumbu konflik ini akan menyala menjadi konflik jika tidak disulut atau tersulut.

Sumbu konflik ini bisa berupa sentimen suku, ras, agama dan lain sebagainya. Terakhir adalah pemicu konflik (triggering factor). Pemicu konflik yang berperan sebagai suatu momentum dimana semua elemen di atas seperti pendukung konflik, pemicu konflik dan sumbu konflik yang diakumulasikan untuk melahirkan konflik sosial maupun konflik bernuansa keagamaan. Momentum ini bisa berasal dari suatu permasalahan antar-individu mengenai suatu hal yang amat remeh seperti pertengkaran mulut yang jauh dari akar konflik, tetapi berfungsi menjadi pembenar bagi dimulainya suatu konflik yang berskala lebih besar.

Konflik yang biasanya terjadi di antara umat beragama bahkan antar-umat seagama lebih dipengaruhi oleh sikap egoisme, clan fanatisme dari manusia itu sendiri. Di samping itu juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sosial, politik dan kepentingan-kepentingan lainnya serta perbedaan strata ekonomi yang terlalu berlebihan (yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya). Karena yang terjadi selama ini biasanya yang kuat akan tetap kuat dan menjadi penguasa, sedangkan yang lemah akan tetap lemah. Dan bahkan semakin menjadi lemah karena ditindas oleh mereka yang kuat dan berkuasa.

Oleh sebab itu, agar tidak terjadi konflik antar umat beragama maka dibutuhkan sikap inklusif oleh masing-masing pihak agar tecipta suasana yang lebih terbuka, pluralistik dan ingin menciptakan bagaimana pluralitas agama ini tidak menjadi pemicu terjadinya konflik sosial, tetapi menjadi alat pemersatu bangsa dengan landasan saling menghormati satu sama lain dan berlomba-lomba dalam kebaikan.

Penulis, Aufifillah Osamah

Mahasiswa Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Referensi

Elmirzanah, S. (2002). Konflik dan Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kebudayaan, D. P. dan. (1989). Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka.

Priyono, P. (2016). Pluralisme Agama Dan Konflik. Analisa, 15(02), 161. https://doi.org/10.18784/analisa.v15i02.339

Subkhan, I. (2007). Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya. Yogyakarta: Kanisinus.