Memburu Oknum Korup di Institusi Penegak Hukum
Oleh : Arif Budiman
“Bagi pengusaha yang mengerti dan kalkulasinya masih cocok. Keamanan diperoleh dengan membayar aparat untuk menjaga supaya dia tidak dijarah, tidak dirampok, tidak ditodong, dan sejenisnya”.-Kwik Kian Gie-
Ungkapan Kwik Kian Gie diatas, rasanya harus direnungkan oleh segenap bangsa Indonesia, terlebih bagi aparat penegak hukum. Mengingat dalam beberapa kasus, oknum aparat penegak hukum nyatanya sudah menjadi aparat keamanan para korptor, dan memberikan keamanan bagi para bandit yang merampok uang negara. Sebut saja, Djoko Tjandra, buronan kasus cassie, Bank Bali. Dimana ia telah berhasil menyuap oknum aparat penegak hukum di institusi Kejaksaan dan institusi Polri (Polisi Republik Indonesia), yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo.
Jika ditelaah lebih mendalam, maka kasus ini seakan mengokonfirmasi, tesis Oslon yang disitir I. Wibowo dalam tulisannya di harian kompas, 6 Agustus 2008. Dalam tesisnya itu Oslon menerangkan keanehan ini dengan model bandit menetap (stationary bandits), dan bandit berkeliaran (roving bandits). Pada masa rezim represif, seorang bandit berkuasa, tetapi dia bandit menetap. Artinya, dia tak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya tersebut, memberi keleluasaan kepada penduduknya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, kemudian muncul bandit berkeliaran.
Baca Juga:
Tak ayal, skandal suap yang melibatkan oknum aparat penegak hukum ini menjadi potret sempurna bahwa oknum dalam istilah oslon ‘bandit’ masih berkeliaran dan bergentayangan di institusi penegak hukum. Oknum-oknum ini, harus segera dibersihkan. Dan yang dapat membersihkan oknum penegak hukum yang berprilaku terkutuk ini hanya dapat dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Meskipun terdengar mustahil, karena oknum yang melakukan perbuatan keji itu, anggota sendiri. Tapi keadilan harus tetap ditegakan.
Kekhawatiran
Berdasarkan hasil penyidikan oleh Tim Penyidik Bareskrim Polri yang digelar pada selasa, 25 Agustus 2020, untuk mendalami dugaan suap yang melibatkan Pengusaha Tommy Sumardi, Brigadir Jendra Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte. Dari hasil penyidikan tersebut ketiganya sudah mengakui telah menerima aliran dana dari Djoko Tjandra.
Kendatipun ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun faktanya penahanan hanya dilakukan terhadap Brigjen Prasetijo Utomo yang berkaitan dengan surat jalan Djoktjan. Sedangkan pengusaha Tommy Sumardi dan Irjen Napoleon Bonaparte, masih belum dapat dilakukan penahanan. Alasan dari polri mengapa belum melakukan penahanan, karena penahanan merupakan Hak Preogratif penyidik. Sudah barang tentu alasan dari Polri ini membuat rasa keadilan publik yang terkoyak semakin menganga.
Sebenarnya, Polri mempunyai dasar yang cukup kuat untuk melakukan penahan terhadap Tommy Sumardi dan Irjen Napoleon Bonaparte. Pasal 21 ayat (1) KUHAP, secara jelas menyebutkan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka, atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
Baca Juga:
Laura Kovesi, Putri Keadilan Romania dan Putri Suap Indonesia
Pasal 21 ayat (1) dapat porli jadikan dasar untuk melakukan penahanan terhadap Tommy Sumardi dan Irjen Napoleon. Pasal ini memberikan kewenangan polri untuk melakukan penahanan dengan berdasarkan syarat penahanan subyektif, yaitu ketika polri menilai dan/atau menduga para tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan alat bukti.
Pertanyaannya, mengapa syarat penahanan subyektif ini tidak dijadikan dasar oleh penyidik untuk melakukan penahanan terhadap Tommy dan Irjen Napoleon?
Menjaga Kepercayaan Publik
Publik sangat khawatir, tidak ditahannya kedua tersangka ini dapat menghambat proses pengungkapan kasus tersebut. Mungkin saja, kedua tersangka seperti disebutkan Pasal 21 ayat (1), melarikan diri, merusak atau menghilangkan alat bukti. Kekhawatiran publik ini bukan tanpa dasar. Sekali lagi Djoko Tjandra adalah kasus konkrit terpidana kasus korupsi yang melarikan diri, sehari sebelum divonis pengadilan. Siapa yang dapat menjamin kalau keduanya tidak akan melakukan hal-hal demikian.
Sikap seperti itu, tentunya akan mencoreng citra baik polri yang sudah dirajutnya dengan susah payah. Seperti kita ketahui, citra polri dimata publik semakin tahun semakin baik. Publik sudah menaruh kepercayaan yang besar terhadap polri. Besarnya kepercayaan publik ini dapat institusi polri lihat dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, pada tahun 2018, dimana kepercayaan publik terhadap institusi polri cukup tinggi, mencapai 87,8 persen. Pada tahun 2019, setelah pilpres usai, kepercayaan publik kembali menurun yakni 72.1 persen. Dan kembali meningkat pada tahun 2020, sebesar 82.6 persen. Karena publik memandang polri sudah mampu menangani pandemi covid-19.
Oleh karena itu, publik meminta kepada Polri untuk menjaga kepercayaan itu dengan baik. Jangan sampai dengan tidak ditahannya Tommy dan Irjen Napoleon, membuat publik menarik kembali kepercayaan yang sudah ia berikan dengan ikhlas dan suka rela tersebut. Sudah saatnya, polri menunjukan kepada publik bahwa institusinya dapat dan mampu menegakan hukum setegak-tegaknya, tidak memandang apakah dia seorang Pengusaha, Jendral atau Masyarakat biasa. Jika melakukan kejahatan harus diperoses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.