Panji Murtaswara : Kisah Romansa Kesatria Dari Jenggala

Panji Murtaswara : Kisah Romansa Kesatria Dari Jenggala
(Foto Tangkapan layar: Gambar 21. Panji Murtaswara G 103, Perpusnas RI)

KILATNEWS.COPanji Murtaswara merupakan kesatria dari Jenggala yang kisahnya banyak diabadikan oleh masyarakat Indonesia melalui tradisi lisan maupun tertulis. Kisah Panji Mustaswara masuk menjadi bagian dari “Cerita Panji” yang menggambarkan laki-laki sebagai tokoh utamanya.

Cerita Panji dinilai sebagai cerita asli Indonesia yang menjadi warisan budaya bangsa Indonesia untuk Dunia. Oleh karena itu, Cerita Panji memiliki berbagai versi yang tersebar ke berbagai wilayah di Asia Tenggara.

Kisah Panji Murtaswara merupakan kisah Romansa yang menampilkan pertempuran dan percintaan seorang kesatria dari Jenggala bernama Panji Wimandra Amurtasmara atau dikenal juga sebagai Raden Inu Kertaparti.

Masyarakat Indonesia mengenal kisah dari Panji Murtaswara sebagai cerita rakyat Indonesia yang dikenal sebagai legenda kisah Candra Kirana dan Raden Inu Kertaparti.

Akar kisah dari Panji Murtaswara ini diabadikan ke dalam kelompok naskah Panji pertama pada naskah-naskah Panji Jawa oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan naskah berkode G 103.

Baca Juga: Serat Jongko Joyoboyo: Potret Tragedi Kehidupan dalam Bait-Bait Serat ‘Jaman Edan’

Naskah Panji Murtaswara memiliki aksara latin dan bahasa Jawa yang merupakan salinan ketikan tembusan dari naskah Lor 1825 yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat jika penyalinan dilakukan pada tahun 1936 di Panti Budaja, Yogyakarta. Naskah tersebut juga telah dibuatkan salinannya dalam bentuk mikrofilm dengan kode Rol 592.02 (Kriswanto et al. 2014:52).

Naskah Panji Murtaswara tercatat dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, Jilid 4, Perpustakaan Nasional RI dengan Judul Serat Panji Murtaswara dan berkode koleksi G310 yang berukuran 22 x 31 cm, terdiri dari 31 baris/halaman, dengan ketebalan 124 halaman dan teks ditulis pada sisi kanan halaman.

Pada informasi tambahan dalam teks lain, sampul tulisan tersebut memiliki keterangan yang menunjukkan tempat percetakan buku yang bernama ‘De Bliksem’ di daerah Darpoyudan, Solo.

Pada halaman.i terdapat tulisan beraksara latin berbahasa Belanda yang memuat informasi bahwa naskah Panji Murtaswara ini merupakan salah satu dari sekian banyak salinan naskah-naskah Jawa yang dikerjakan pada tahun 1935 untuk diserahkan dan disampaikan dari Th. Pigeaud kepada direksi Koninklijk Bataviaasch Genootchap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (Kriswanto et al. 2014:53).

Pada ke 2-3 pupuh pertama, isinya mengindikasikan bahwa naskah ditulis pada hari Kamis Pahing, 11 Dulkangidah 1735 yang menceritakan tentang pertualangan Panji Murtaswara dalam mencari istrinya, Candrakirana, dan peperangan Kerajaan Jenggala dengan Kerajaan Bali (Kriswanto et al. 2014:54).

Teks Panji Murtaswara menceritakan kisah romansa yang memperlihatkan bagaimana tindakan kepahlawanan, kehebatan, dan keromantisan seorang kesatria dari Jenggala bernama Panji Wimandra Amurtasmara. Ia memiliki banyak istri, banyak pasukan dan banyak saudara.

Suatu ketika ia mengutarakan kehendak untuk mengabdikan kepada raja. Di Singasari, terdengar kabar bahwa negara itu akan diserang musuh dari Bali, yaitu Kalana Renggapuspita dengan sejumlah besar pasukannya.

Baca Juga: 3 Ajaran Budi Pekerti Menurut Suluk Sujinah

Ketika mereka telah tiba di Prabalingga, Raja Singasari mengirim utusannya ke kerajaan Daha dan Jenggala untuk meminta bantuan. Raja Jenggala lalu memerintakan putra-putranya yakni Raden Inu Kertapati, Raden Carangwaspa, dan Ni Onengan serta disusul juga oleh kakak tertuanya yaitu Raden Wonogiri untuk memimpin pasukan Jenggala membantu Singasara.

Raden Inu Kertapati atau Panji Murtasmara berhasil memenangkan peperangan sehingga dapat sekaligus memboyong Dewi Sertakaji dan 144 putri lainnya. Panji Mustasmara datang menghadap raja untuk melaporkan kemenangannya menaklukkan peperangan melawan raja Bali.

Kemudian ia kembali ke pesanggrahan Puspalaya diikuti Dewi Sekartaji, Dewi Nawangwulan, Dewi Nawangresmi, dan Dewi Adiningsih. Putri-putri yang mengelilinginya digambarkan sangat cantik bak bidadari. Dewi Andaningsih diibaratkan seperti Dewi Uma, Candrakirana bak Supraba, Dewi Nawangwulan secantik Dewi Ratih, dan Dewi Nawangresmi bagaikan penjelmaan Wilutama (Kriswanto et al. 2014:52).

Demikianlah, kisah dari Panji Murtaswara yang pada akhirnya menyebar secara turun menurun dan banyak di alih wahanakan ke dalam bentuk lain baik seni rupa, seni sastra, ataupun seni pertunjukkan.

Kisah romansa akan cinta dan peperangan dari Panji Murtaswara, sang kesatria dari Jenggala ini menjadi cerita yang menyebarkan nilai keberanian, nilai kepahlawanan, dan juga nilai keromantisan sebagai historis bagi bangsa Indonesia sekaligus warisan untuk dunia.

Ismi Maulidiyah. Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.


Sumber:

Kemdikbud.go.id

Kriswanto, Bambang, Bambang Hermawan, Didik Purwanto, Komari, Mardiono, Nur-Karim, Salfia Rahmawati, Sanwani, Yeri Nurita, and Yuhdi Irawan. 2014. KATALOG NASKAH CERITA PANJI KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Museumnasional.or.id
Perpusnas.go.id