Eggi Sudjana Paksa Hadirkan Jokowi, Agung Wibawanto: Kebaca Agenda Politiknya

Media Kebebasan Ekspresi, Tidak Perlu Regulasi?
Media Kebebasan Ekspresi, Tidak Perlu Regulasi?

Kilatnews.coEggi Sudjana meminta hakim menghadirkan Presiden Jokowi sebagai tergugat kasus dugaan ijazah palsu. Eggi sendiri adalah pengacara penggugat, Bambang Tri. Menurut pengamat, Agung Wibawanto, ada beberapa hal yang bisa dipelajari terutama bagi mahasiswa hukum, calon petugas hukum nantinya (entah pengacara, jaksa ataupun hakim). Juga untuk masyarakat umumnya.

Agung, melalui sambungan telp kepada kilatnews.co, Selasa (18/10), mengatakan kasus ini sesungguhnya bukan kasus besar, tidak rumit dan sangat mudah pembuktian kebenarannya.

“Sebagaimana umumnya sebuah proses hukum kasus “tuduhan”, maka penuduh diwajibkan untuk membuktikan tuduhannya di pengadilan,” tutur Agung yang mengaku sempat mengambil Program Magister Hukum di Universitas Janabadra, meski tidak selesai.

Sebaliknya, masih menurut Agung, lawannya akan menyangkal disertai bukti-bukti sangkalannya. Saksi akan melengkapi argumen dan bukti masing-masing pihak. Setelah itu hakim akan menilai dan memutuskan perkara.

“Sederhana. Kasus ini adalah delik aduan, bukan delik umum, apalagi dengan tergugat tidak ditahan. Jenis kasus begini patut dimengerti dan dipahami oleh pelaku hukum,” jelas Agung.

Agung menambahkan, mengapa tergugat tidak ditahan, karena menurutnya, penyidik mempunyai penilaian subyektif (hak penyidik atau kepolisian). Mengapa perkara dilanjutkan ke pengadilan? Karena jaksa menganggap berkas perkara dari kepolisian sudah layak (P21). “Meski yang digugat adalah Presiden, ya tidak masalah. Semua warga sama statusnya di mata hukum,” ucapnya.

Apakah Presiden otoriter lalu intervensi pengadilan? Tanya Agung. “Faktanya pengadilan tetap digelar. Artinya supremasi hukum tetap terjaga dan pemerintah (presiden) tidak berlaku sewenang-wenang. Itu dulu yang perlu dipahami. Karena era orba dengan era sekarang berbeda. Trias Politika (pembagian kekuasaan) tidak terjadi di era orba, sebaliknya semua kekuasaan tersentral kepada presiden (eksekutif),” terangnya.

Agung mengajak kembali kepada kasus, “Pahami pula hukum acara. Jangan hanya modal kritis lalu tidak mengerti mana yang hak dan mana yang wajib dalam hukum acara. Dalam hukum acara disebutkan bahwa tergugat memiliki hak diwakilkan kuasa hukum untuk hadir dalam persidangan. Pun demikian dengan penggugat. Makanya hakim balik bertanya, Penggugat kemana, kok tidak hadir?”

Seperti diketahui, pertanyaan itu diajukan kepada Eggi setelah dia memaksa menghadirkan Jokowi di persidangan, “Artinya apa? Kehadiran penggugat dan tergugat adalah hak, bukan kewajiban. Lihat saja Alvin Lim (sebagai terdakwa) dibacakan tuntutannya dalam pengadilan, tapi dia malah berada di Singapura. Nah, dari sini justru bisa kebaca agenda politik Eggi yang sesungguhnys,” tambah Agung.

Bagi Agung, Eggi seperti mengalihkan substansi kasus, yakni soal pembuktian tuduhan, dialihkan ke soal tergugat yang dianggap melawan hukum, tidak taat hukum, tidak menjadi teladan, diskriminatif ataupun dispesialkan, dsb.

“Dari situ jelas kali terlihat tujuan utama tim pengacara penggugat hanya ingin menjatuhkan kredibilitas presiden. Bukan lagi mencari keadilan dari tuntutan klien nya,” ujar Agung.

Lanjut Agung, “Bisa juga, karena sesungguhnya sudah menganggap lemah atas tuduhan tersebut dan gampang dipatahkan, maka tidak ada cara lain, Eggi menyerang dan mencari-cari kesalahan tergugat. Memang strategi tim pengacara atau penasehat hukum banyak yang begitu. Dia bisa menyerang pribadi saksi yang memberatkan klien nya, misalnya. Bahkan mengorek track record hakim,” papar Agung lagi.

Dia mencontohkan, pengacara menyerang hakim diintervensi, atau menerima uang dsb. “Itu teknik umum pengacara jika memang klien nya sudah tidak ada harapan ataupun kalah. Mau apa lagi? Sebar dan tebar lah sesuatu yang kontroversi agar klien nya tidak kalah malu, atau tidak kalah begitu saja.” Hanya saja, menurut Agung, seorang Eggi kurang pas menjadi pengacara. “Cocoknya jadi bodyguard ataupun korlap demo,” candanya.

Agung menyampaikan, seorang pengacara meski kritis tapi harus tenang dan elegan. “Kalau di sistem hukum Amerika (common law), maka dia harus bisa menarik keyakinan dan perhatian para juri yang akan memutuskan (jury trial). Jika dengan cara-cara emosional dan berbicara tidak jelas cenderung mirip preman Tanah Abang, bagaimana Eggi bisa meyakinkan hakim? Hakim yang memutuskan justru tidak simpati atau antipati,” sesal Agung.

“Pengacara kok mau ngajari dan mendikte hakim soal hukum acara? Tidak saja dicuekin hakim malah dia bisa diminta keluar persidangan (contemp of court). Ini yang harus dipelajari oleh calon pelaku hukum nantinya. Buat pendidikan ke masyarakat juga penting agar paham aturan, tidak hanya terhasut oleh celoteh Eggi yang tidak benar. Agenda politik Eggi juga sudah pada paham lah,” pungkasnya.