SCBD : Trend Komunitas Remaja
By Agung Wibawanto (Pengamat Masalah Sosial)
Kilatnews.co – Kemunculan remaja-remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) yang sering nongkrong di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat beberapa waktu terakhir, berhasil mencuri perhatian masyarakat. Mereka tampil dengan gaya pakaian yang eksentrik nan kekinian, mengikuti tren karyawan SCBD (Sudirman Central Businesses District) yang terkenal memiliki gaya fesyen trendi juga modis.
Adakah ini fenomena baru atau lama yang terulang lagi? Atau lama tapi memiliki perbedaan? Di setiap eranya, anak muda selalu ingin menunjukan dirinya (eksis). Dulu di era 90 an di Jakarta juga banyak area berkumpul komunitas muda seperti di Melawai, Blok M dll. Di daerah atau kota besar, seperti Bandung, Surabaya dan Medan, juga ada area khusus tempat mereka berkumpul. Dulu ada istilah JJS yang lagunya dipopulerkan oleh Denny Malik.
Jadi ini sebenarnya fenomena biasa saja yang kerap terjadi dari masa ke masa. Fenomena eksistensialis melalui beragam kontennya. Dulu kerap diisi dengan misal olah raga keterampilan seperti skateboard, sepatu roda, joging, break dance hingga balap otomotif (motor mobil). Kaum muda cenderung ingin tampil di komunitas sebayanya bahwa dia keren, cakep, pinter, jago, borju dsb. Dengan modal itu mereka bisa terkenal di kalangan mereka.
Komunitas muda ini di masa lalu kebanyakan berasal dari kalangan mampu (menengah ke atas), dan usia atau status pendidikannya setidaknya SMA (kalau masih SMP biasanya diledekin, masih anak-anak). Selain soal eksistensi, biasanya mereka juga pembosan atau jenuh berada di rumah. Yang dulu umumnya udah gak bisa ngapa-ngapain klo pulang ke rumah. Maklum dulu belum ada perangkat internet. Hiburan satu-satunya hanya tv (yang satu Chanel TVRI saja) dan radio didominasi RRI.
Jadilah kaum muda yang tengah krisis identitas diri tersebut mencari tempat-tempat yang menurutnya bisa mewadahi ekspresi dan kreativitas mereka yakni di area-area publik buat nongkrong, cuci mata dll. Bagaimana dengan sekarang? Hal apa yang berbeda dengan SCBD? Substansi penyebabnya sama, hanya saja memang ada yang berbeda dengan senior mereka dulu. Pertama, dari sisi usia, era sekarang justru dipandang masih terlalu imut sekitar usia SMP paling banter SMA.
Hal ini menarik, karena kalau dulu usia SMP itu dianggap masih dalam pengawasan orangtua dan belum pas diajak atau bergabung dalam komunitas jalanan. Namun sekarang justru bocil-bocil yang muncul, dan anak SMA atau kuliahan merasa bukan pantarannya. Mungkin karena faktor usia pula, maka konten yang mereka usung juga berbeda. Mereka tampil dengan dandanan yang bak model orang dewasa. Meski dianggap alay, tapi mereka cukup tampil pede.
Hal berbeda lainnya dengan era dulu, komunitas remaja (saya sebut remaja, bukan muda) itu juga justru merupakan mereka yang umumnya datang dari keluarga yang bukan serba kecukupan, dan asalnya dari pinggiran kota Jakarta (Jakarta Coret). Dengan memanfaatkan transportasi umum (KRL) mereka bisa dengan mudah mencapai lokasi atau area nongkrong di Dukuh Atas, Sudirman. Nah, bukankah kini sudah ada alternatif hiburan lain melalui online?
Sepertinya mereka juga mulai agak jenuh jika hanya eksis dan komunikasi melalui online. Memang akan banyak bedanya ketika kita berselancar di dunia maya dengan ketika kita bertemu langsung secara fisik. Terlebih sudah dua tahun ini mereka terbelenggu larangan tidak boleh kemana-mana karena pandemi. Jadi ini semacam pelampiasan juga ada shock culture di sana. Budaya yang tadinya online tapi sekarang offline. Hal yang baru biasanya cenderung dinikmati di awalnya.
Budaya ini kemudian menjadi perpaduan antara dunia nyata dengan dunia maya. Setelah mereka bertemu di lokasi kemudian mereka membuat konten untuk diposting di media sosial. Dengar-dengar saja, katanya mereka meniru (dalam hal kostum) kepada masyarakat pekerja di lingkungan Sudirman yang mengenakan pakaian bermacam-macam mode. Entah komunitas remaja ini ingin mengkritik atau ingin menjadi orang dewasa?
Perkembangan psikologi anak-anak sekarang demikian cepat pertumbuhannya. Mereka bisa lebih dewasa ketimbang usia dan status mereka sebagai pelajar. Hal ini tidak lepas dari pengaruh media sosial yang kadang memang sulit dikontrol. Mereka bisa mengakses apa saja yang mereka mau dan ingin tahu. Mungkin soal itu saja yang perlu diperhatikan. Kita tidak ingin misalnya, komunitas seperti itu menjadi ajang “mencari jodoh”, meski sekadar cinta monyet.
Bagaimanapun dunia mereka masihlah dunia belajar menimba ilmu. Jangan sampai ada ekses-ekses yang menyebabkan mereka keluar dan tidak melanjutkan sekolah. Mungkin baik lagi jika mereka tidak hanya menampilkan isu fashion (yang itupun lebih merujuk ke gaya Jepang dan Korea). Andai ada atraksi budaya lokal yang mereka lakonkan tentu bisa lebih viral. Misal ada live music dengan lagu bahasa daerah. Ataupun mengenakan kostum dengan aktribut kebangsaan dll.