Kilatnews.co Azyumardi Azra mengatakan presiden lama (petahana), dalam hal ini Jokowi, karena dia sudah 2 periode dan tidak boleh menjabat lagi, akan menjadi “bebek lumpuh” setelah Presiden baru terpilih dalam pilpres 2024.

Istilah “bebek lumpuh” menjadi trend kembali setelah pertama kali dimunculkan oleh Amien Rais yang meramal Presiden Jokowi akan menjadi “bebek lumpuh” karena sudah tidak memiliki legitimasi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
"Bebek Lumpuh"?

Namun faktanya hingga kini Jokowi masih tetap menjabat dan posisinya sangat kuat. Azyumardi kembali menggunakan istilah tersebut karena menurutnya seolah ada dua presiden setelah proses pilpres. Untuk itu menurutnya, di saat itulah Presiden Jokowi tidak bisa dan tidak boleh mengeluarkan atau menetapkan keputusan strategis.

“Yang dimaksud di sini sebagai ‘bebek lumpuh’, adalah presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun belum dilantik,” kata Azyumardi seperti dikutip dari Antara, Sabtu (25/6). Pendapat yang sama dilontarkan Direktur Eksekutif SMRC Sirajuddin Abbas.

Baca Juga:

Anggota parlemen pun tidak akan patuh lagi kepada presiden lama dan cenderung mendekati presiden baru nantinya. Pandangan ini menurut saya adalah keliru. Yang disebut dengan Presiden RI adalah orang yang terpilih sah dalam pemilihan yang menjabat selama 5 tahun terhitung sejak ia dilantik. Adapun presiden terpilih dalam pilpres hanya merupakan sebuah hasil dari proses pemilu.

Presiden terpilih belum memiliki kekuasaan apapun yang melekat dalam dirinya. Mengapa? Karena pertama, masih ada presiden petahana yang sah yang masih menjabat hingga berakhir masa jabatannya nanti; Kedua, Presiden terpilih belum disumpah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Ketiga, belum dilantik oleh MPR, dan;

Keempat, belum dicatat dalam lembar negara sebagai Presiden RI. Dengan begitu, tidak ada dua presiden sepanjang rentang dari penetapan KPU hasil Pemilu hingga dilantiknya presiden baru (sekitar 7 bulan). Soal anggota parlemen lebih merujuk kepada presiden baru, ya sangat mungkin saja (logis). Karena parlemen baru akan bermitra dengan presiden beserta kabinet barunya.

Baca Juga:

Namun begitu, menurut saya akan dilihat pula dua skenario yang mungkin bisa terjadi. Skenario itu yakni: presiden terpilih adalah “penerus” presiden sekarang (calon yang “direstui” Jokowi); Atau justru kelompok oposisi? Jika presiden baru adalah “penerus” Jokowi dan pemenang pileg masih dipegang PDIP (logikanya demikian, meski mungkin saja tidak), maka sepertinya tongkat estafet akan berjalan mulus.

Hal ini pun tidak merubah komposisi dan konstelasi politik di parlemen. Namun jika yang terpilih menjadi presiden adalah oposisi, maka dugaan Azyumardi dan pengamat bisa ada benarnya. Meski di parlemen bisa dimenangkan PDIP sekalipun, maka kecenderungan anggota parlemen lainnya akan berkoalisi untuk menjadi mayoritas sangat mungkin sekali (pro presiden baru dari oposisi di era Jokowi).

Sementara itu bisa dipastikan PDIP akan berposisi sebagai oposisi kembali seperti di era SBY. Banyak legasi yang ditinggalkan Jokowi dan sepertinya memang butuh “kawalan” dari presiden baru nantinya. Sebut saja soal IKN, pembangunan infrastruktur (pemerataan pembangunan di daerah), hingga lembaga-lembaga baru bikinan Jokowi seperti (BRIN, BPIP dll).

Yang menjadi soal jika presiden baru terpilih nanti adalah orang yang anti-Jokowi. Semua kebijakan Jokowi bisa tinggal sejarah, meski harus melalui perubahan legislasi yang tidak mudah. Skenario mana yang kemungkinan besar terjadi? Dan sebelum itu, siapa saja kandidatnya yang berkompetisi? Sulit ditebak tapi tunggu saja ulasan saya di kesempatan lain. Bicara legitimasi, Azyumardi lupa dengan rakyat (relawan) pendukung Jokowi yang bertekad mengawal hingga akhir.

Reporter: KilatNews

Tag