Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah diberlakukan sejak Oktober 2014, menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berbagai sifat pengaturannya yang berbeda-beda. Perbedaan sifat pengaturan pemerintahan daerah sangat tergantung dengan arah politik pemerintahan daerah.

Tulisan ini mencoba untuk menganilisi dan memberi koreksi arah politik peneyelenggararan pemerintahan daerah dalam perspektif UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Kritik Terhadap Arah Politik Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

UU No. 23 Tahun 2014

Sejak disahkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan asa otonomi daerah nyaris belum mendapat koreksi dan kritik oleh kalangan civitas akademika.  Bahkan dianggap kurang penting untuk didiskusikan.

Permasalahan yang paling substantive di era UU No. 32 Tahun 2004 yang muncul dipermukaan adalah fator-faktor ketidaksesuaian UU No. 32 Tahun 2004 dengan perkembangan perubahan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggararaan pemerintahan daerah.

Perubahan inipun cenderung berakibat pada dinamika politik di Pemerintah pusat. UU No. 5 Tahun 1974 bertahan selama kurang lebih 25 tahun, UU No. 22 Tahun 1999 bertahan selama 3 tahun, dan UU No. 32 Tahun 2004 berlangsung selama 10 Tahun, kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 2014. Dengan demikian, negara Indonesia sesungguhnya belum memiliki model yang ideal dalam mengatur proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Secara umum Pemerintah daerah tentu menginginkan wewenang dan sumber daya yang cukup untuk dapat melaksanakan fungsinya. Akan tetapi Pemerintah Pusat, tanpa disadari memiliki kecenderungan untuk memiliki kewenangan yang kuat agar lebih leluasa dalam melaksanakan keinginan strategis demi kepentingan bangsa.

Perlu ditegaskan kembali bahwa visi yang dibangun dalam UU No. 23 Tahun 2014, yaitu bertujuan untuk mempercepat terwujudnya masyarakat yang sejahterah, melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Dengan tetap berlandaskan pada  prinsip demokratis, pemerataan, keadilan, dan kekhasan daerah. Sebagaimana yang tersirat dalam konsidran UU No. 23 Tahun 2014.

Betapapun demikian, ada beberapa hal yang patut untuk di pertanyakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang beasaska otnomi daerah, yaitu:

Pertama, apakah memang visi tersebut  dapat diwujudkan?

Kedua, Apakah sistem otnomi daerah sudah menjawab dan memberikan solusi terhadap problem implementasi penyelenggaraan pemerintahan daerah?

Lunturnya semangat otonomi daerah

Munculnya UU No. 23 Tahun 2014, yang menjadi dasar pertimbangan filosofis bahwa prinsip ototnomi daerah nayata dan bertanggung jawab menurut UU No. 5 Tahun 1974 maupun ototnomi luas menurut UU No. 22 Tahun 1999 tidak disebutkan atau hilang dalam pertimbangan.

Oleh karena itu jelas terlihat penyebutan daerah otonomi menjadi tidak memiliki dasar filosofis karena bukan prinsip yang mejadi dasar pengaturan pemerintahan daerah.

Lunturnya semangat otonomi daerah dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah sangat disayangkan. Setelah sistem pemerintahan sentralistik orde baru dinilai gagal menjawab persoalan ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara Jawa dan luar Jawa. Maka otonomi luas ditingkat kabupaten/kota dinilai relevan dengan tuntutan keadilan pembangunan.

Pernyataan bahwa urusan konkuren yang menjadi dasar hak otonomi daerah bukan menjadi dasar untuk menentukan otonomi, namun jenis ototnomi daerah inilah yang menjadi dasar apakah daerah memiliki otonomi atau tidak. Alhasil bahwa urusan konkuren sendiri sudah ditentukan dengan terperinci dalam UU. Hal demikian akan memberi indikasi kuat terkait arah dihilangkannya semangat otonomi daerah tersebut.

Semangat otonomi dalam UU No. 23 Tahun 2014 sangat membingungkan, karena bukan desentralisasi yang diterapkan. Melainkan sistem sentralistik gaya baru. Ada berbagai pandangan yang hampir sama dari segi praktek pemerintahan yang berjalan dan seting kebijakan desentralisasi dan otonomi yang diterapkan.

Beragam tanggapan karena berbagai pertimbangan, maka kebijakan sentralisasi kerap menjadi pilihan utama dalam mengatasi masalah hubungan pusat dan daerah. Dalam dasar pertimbngannya adalah UU No. 32 Tahun 2004 dinilai tidak sesuai dengan perkembangan perubahan ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggraan pemerintahan daerah.

Satu-satunya hal yang menjadi perdebatan publik adalah perlu dipertegas terkait dengan pemisahan pengaturan pemerintahan daerah, pemerintahan desa dan pilkada.

Pabila dilihat dengan cermat UU 23/2014, nampaknya menguatkan keinginan politik kelompok tertentu diparlemen yang ingin menguasai proses pilkada agar hasilnya dapat seragam. Nampak ada kehendak kelompok tertentu diparlemen untuk mengatur agar sistim pemerintahan mengarah ke sentralisasi dengan melemahkan azas otonomi yang luas menjadi terbatas.

Dinamika tersebut bagaikan pisau bermata dua. Bila elite politik berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik rakyat akan hidup adil, makmur dan sejahtera. Jika sebaliknya, bila elite lebih mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, maka tujuan desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan layanan publik dan kesejahteraan rakyat ‘jauh panggang dari api’.  Sampai sekarang kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera menjadi barang langkah.

Sebenarnya mewujudkan cita-cita UUD 1945 dalam sistem otonomi daerah dapat dengan mudah diwujudkan apabila pemerintah daerah melaksankan otonomi daerah sesuai dengan Pasal 1 ayat (12) dimana pemerinta daerah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Masalahnya, Pemerintah Pusat masih kerap melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Sebagaimana diketahui UU ini telah mengatur secara rigit urusan pemerintahan konkuren yang dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pernyataan 5 (lima) urusan strategis nasional (agama, hukum, luar negeri, pertahanan keamanan dan keuangan) sebagai urusan mutlak justru cenderung menjadi dasar bagi kecurigaan public dan kemudian istilah strategis digunakan sebagai argument bagi penguasaan sumber daya yang selama ini telah diserahkan kepada daerah untuk pembiayaan pelaksanaan urusan otonomi.

Akan tetapi, hal yang menjadi ambigu dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam UU a quo adalah, dalam melaksanakan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Kebijakan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kebijakan adalah pedoman penyelenggaraan urusan konkuren baik untuk kewenangan Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Terlihat jelas impilkasinya tidak sesuai apa yang dimaksudkan dengan pedoman dasar tersebut, apakah berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri ataukah yang lainnya.

Dalam UU a quo disebutkan juga tiga jenis urusan, yaitu absolut, konkuren dan pemerintahan umum. Ketentuan tentang apa yang menjadi urusan pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jelas konsekuensi dari kondisi ini menunjukan bahwa tidak ada urusan yang sama sekali tidak menyangkut Kabupaten/Kota atau Provinsi karena daerah yang menjadi lokasi dari setiap urusan dan masalah.

Pengaturan tentang konsep UU ini menunjukan ada kepincangan cara berpikir para pembentuk UU, karena cenderung sentralistik pada pengaturan mengenai urusan bidang kehutanan, kelautan, energi dan sumber daya mineral. Ketiga bidang ini dibagi menjadi urusan Pusat dan Provinsi (pasal 14 UU No. 23/2014) yang bertentangan dengan prinsip pengaturan urusan sebelumnya menyatakan sumber daya dan masalah yang diurus Pusat dan Provinsi adalah urusan yang bersifat lintas Provinsi atau lintas Kabupaten.

Penyeragaman urusan pemerintahan daerah seperti yang sudah digariskan dalam UU juga tidak sesuai dengan kemampuan daerah yang secara nyata, berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk itu dibutuhkan pengaturan yang lebih mengakomodir perbedaan kemampuan antar Daerah, bukan pengaturan yang seragam.

Kesimpulan

Efektif tidaknya penyelenggaraan pemerintahan pada prinsipnya ditentukan oleh sistem dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah. UU No 23 Tahun 2014 merupakan sistem untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam praktiknya implementasi UU tersebut masih terdapat permaslahan, yaitu substansi regulasi hanya sebatas simbolik. Dan tidak bisa diimplementasikan, karena faktor tarik ulur kepentingan dikalangan elite politik dan pemerintahan yang tidak bisa dikontrol serta terbatasnya sumber anggaran.

Pada nafas ini, UU No. 23 Tahun 2014, bertujuan untuk membangun pemerintahan yang demokratis, kendatipun sulit untuk di wujudkan. Kesulitan ini dikarenakan pengelolaan kekuasaan tidak diatur secara tepat dan efektif. Akibatnya pemerintahan tidak bisa dikontrol dengan baik.

Sementara itu, bererkaitan dengan distribusi alokasi sumber daya sebagai isu pokok penyelenggaraan peleyanan publik dan pembangunan berkeadilan di daerah masih belum juga diatur untuk menjamin pemerataan dan pembangunan berkeadilan daerah.

Menghilangkan semangat otonomi daerah dan pembangunan berkeadilan di daerah merupakan langkah mundur dari semangat reformasi. Oleh karena itu perlunya perbaikan secara kompherensif terkait konsep yang termuat dalam ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

Penulis, Syahfuad Nur Rahmat

Mahasiswa Hukum Univ. Janabadra, Wakil Directur LKBHMI Cab. Yogyakarta.

 

 

 

Reporter: KilatNews