Yogyakarta- Pada masa sekarang ini semakin banyak isu-isu konflik yang berbau agama, terutama di Indonesia. Dalam hal ini terlihatlah bahwa di dalam masyarakat agama masih menjadi jurang pemisah untuk menjalin rasa persatuan dan persaudaraan. Rancang bangun agama sendiri di harapkan dapat membawa kedamaian, Agama Kristen dengan “etika kasih”, Agama Islam dengan semangat “rahmatan Lil’Alamin”, Budha yang berusaha “terbebas dari Dukha” seharusnya menuntun manusia kepada kemakmuran menjadi sebuah alasan sebuah perbedaan.
Agama yang mencita-citakan kesejahteraan malah menjadi penyebab kekacauan karena ketidakpahaman antara satu dengan yang lain. Oleh sebeb itu, maka pentinglah untuk duduk bersama di dalam dialog yang moderat sehingga Toleransi dapat di bangun. Tak akan ada Toleransi tanpa adanya saling mengenal, tak akan ada pengenalan tanpa pendekatan, tak akan ada pendekatan tanpa dialog.
Definisi
Di dalam KBBI, pengertian dialog merupakan suatu percakapan, karya tulis disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih.[1] Dialog memiliki arti tersendiri, arti pertama, dalam tingkat manusiawi sehari-hari, sebagai komunikasi timbal-balik. Sedangkan arti kedua, lebih berkaitan dengan tugas evangelisasi (menyampaikan kabar gembira) yang lurus dijalankan dalam semangat dialogis.
Dialog dalam arti ini dipahami secara sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka dan suka mendengarkan orang lain. Arti ketiga, merupakan arti khusus, dialog merupakan hubungan antara agama yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan dengan pribadi-pribadi dan jemaah-jemaah dari agama-agama lain. Yang diarahkan untuk saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan, kesaksian dan keyakinan pendalaman keyakinan masing masing.[2]
Secara Etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti tidak kacau. Hal ini berarti bahwa agama itu terdapat keteraturan dan tatanan yang membuat agama itu tidak Kacau. Dalam KBBI, agama berarti segenap kepercayaan kepada Tuhan, serta ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.[3]Sehingga hakikat dari sebuah agama sendiri adalah membangun sebuah kerukunan, ketertipan untuk kehidupan manusia sebagai bentuk penyembahan kepada Tuhan dalam ritual-ritual dan kewajiban-kewajiban keagamaan.
Dilaog antar umat beragama merupakan sebuah model solusi yang di anggap merupakan titik inti dalam perubahan dari kehidupan egoisentrismenuju kepada kehidupan yang dialogis. Karena dalam sebuah dialog akan menuntun seseorang mentransformasi dirinya untuk terbuka dengan orang lain atau kepada dunia yang berbeda.[4]
Dialog Agama dalam Perspektif Kristen
Dalam Konsili Vatikan II boleh di katakan sebagai titik tolak hidup Gereja yang dialogis. Dengan titik tolak, bukan berarti hidup Gereja yang dialogis tidak pernah ada sebelumnya. Dialog dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada tradisi hidup gereja. Dialog Sikap Gereja sebelum Vatikan II tampak dari kesaksian-kesaksian Bapa Gereja, juga para misionaris dan ajaran para Paus masa lampau yang menunjukkan sikap positif terhadap agama-agama lain yang bersifat sporadis, tersebar dan kurang menjadi sikap dasar yang menonjol. Sikap yang menonjol kebalikannya, yaitu eksklusivisme. Akibatnya Gereja sebelum Vatikan II tampak tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain.
Jean L. Jadot (1983) menelusuri perkembangan sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, ia menyebutkan bahwa pendekatan misi Paulus dan para Rasul lain yang mengutamkan dan menghargai pribadi-pribadi manusia merupakan contoh sikap positif terhadap umat kepercayaan lain. Sikap bersahabat dan tidak menampilkan agresivitas kekerasan menjadi bukti kongkret sikap dialogis.
Sikap dialogis para Rasul itu diwariskan kepada para Bapa Gereja dan mereka dapat menjadi teladan masa lampau, bagaimana sikap positif terhadap agama lain mesti dipupuk. Pada abad XVI dan XVII, sikap Gereja terhadap agama-agama lain, mendapat warna lain dari perjumpaan dengan agama lain membuat para misionaris mengambil sikap menyapa serta merangkul.
Sikap positif mereka bahwa orang Kristen tidak eksklusif. Iman Kristen tidak mengucilkan apa yang baik dan suci dari agama lain atau kebudayaan lain.[5]Barangkali sumber energi utama bagi perjalanan Paulus untuk berdialog adalah pemahaman dan pengalamannya akan Roh Kudus.[6]
Dasar Dialog dalam Pandangan Kristen
Orang Kristen seharusnya menyadari kegembiraan dari tangggung jawab yang lebih besar, kesetiakawanan dengan sesamanya, (tanpa memandang warna kulit, kebudayaan,bahkan kepercayaanya). Terdapat suatu identitas hakiki bagi manusia bahwa Allah telah menciptakan manusia itu dari satu orang kepada semua bangsa umat manusia. Bagi orang Kristen pada dirinya tertanam suatu rasa yang mendalam tentang hakikat bahwa semua orang diciptakan dalam bentuk citra Allah, dan sadar bahwa Kristus wafat untuk setiap manusia dan berpengharapan akan kedatangan Karajaan-Nya.
Sifat dasar dialog adalah kesiap-sediaan untuk mendengarkan orang yang kita ajak bergaul. Kepentingan kita bukanlah terlelak dalam memenangkan perbantahan. Dialog berarti suatu usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam mengenai kebenaran melalui saling pengertian akan keyakinan dan kesaksian mereka masing-masing. Hasil dialog itu adalah pekerjaan Roh Kudus.[7]
Adapun alasan mendasar mengapa Dialog-Agama menjadi keharusan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, yaitu; Pertama, Dialog merupakan suatu proses yang didalamnya pribadi-pribadi belajar untuk menghilangkan rasa saling takut dan saling curiga terhadap kelompok lain dan mulai membangkitkan rasa saling mempercayai yang baru. Ini merupakan kontak hidup dengan kchidupan yang dinamis, yang memperhatikan persoalan hidup bersama dan bertindak bersama.
Kedua, Dialog memberikan harapan munculnya dimensi-dimensi baru dalam rangka memahami agama-agama. Dialog juga memberi kesempatan untuk membangun hubungan-hubungan baru antara orang-orang Kristen dan orang-orang yang beragama lain yang sebelumnya tidak dilibatkan.[8]
Sudah barang tentu tujuan dari dialog agama adalah sebagai kesadaran akan kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang pluralistic[9]untuk penyataan kasih dan kebenaran. Dengan menyatakan kusih, maka akan terjadi saling mentranformasi.[10] Disamping itu juga tujuan dari dialog agama ialah untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung mensukseskan pembangunan nasional, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan permasalahan dunia saat ini.
Dialog mendukung terwujudnya kesejahteraan semua penduduk, menghilangkan kesenjangan dan nenegakkan kemanusiaan dan keadilan.[11]Dengan adanya dialog maka agama dapat bekerjasama untuk menata kehidupan dunia ini ke arah yang lebih baik. Dengan adanya rasa persaudaraan beragama maka energy yang semula terkuras untuk membenci agama lain dapat dipergunakan untuk membangun kesejahtraan bersama.
Hubungan dialog agama-agama sangatlah penting, agama-agama dunia diharapkan memberikan kontribusinya guna mencapai solusi. Motif-motif dan harapan-harapan yang mendukung dan mempengaruhi minat terhadap hubungan antar agama masa kini beraneka ragam. Sikap fanatisme dan tidak toleran akan merusak hubungan anatar agama. toleransi merupakan suatu gejala perilaku agama yang benar dan penting dalam menghandapi kesulitan kerjasama antar umat manusia. Penting didalamnya toleransi yang merupakan pemahaman akan pentingnya persatuan umat manusia dan saling pengertian.
Etika Dialog
- Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semun piliak secara proporsional, adil dan setara.
- Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang sesuatu yang realitas yang tidak dapat dihindari.
- Ketiga, sikap kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.
- Keempat, adanya persamaan. Suatu diaog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan yang lain menjadi “tamu yang diundang”.
- Kelima adalah kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus. simbol, agama dalam rangka memahami orang lain secara benar. Dan pentingnya moralitas dan etika dalam mencari jalan keluar untuk mengembangkan dialog dimana depan.[12]
Hambatan dalam dialog agama
Gerakan misi dan dakwah yang masih menempatkan kuantitas umat sebagai tujuan utama. kecenderungan selektip dan prasangka terhadap agama lain. Munculnya rasa takut yang dilanda sebagian besar umat beragama.[13
Oleh karena itu, Dialog dapat menjadi wahana untuk mencari sebuah jalan yang damai bagi umat beragama bukan untuk saling menyalahkan, tetapi bagaimana setiap agama mampu memberikan solusi bagi masalah kemanusiaan. Dialog itu sendiri hanya dapat dilakukan apabila peserta dialog saling memahami antara perbedaan dan persamaan dalam setiap agama dengan tetap menghormati dan mengukuhkan komitmen bersama untuk menciptakan keadilan sosial dan berusaha memperkaya kehidupan spiritual dalam agamanya masing-masing agar tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama.
Dialog menciptakan rasa persaudaraan, debat menciptakan perpecahan. Dengan adanya dialog antar umat beragama dapat menolong kesatuan dan persatuan antar umat beragama memabangun cita-cita agama yakni kemakmuran manusia walaupun di dalam perbedaan.
Daftar Pustaka
- W.J.S. Poerdaminata, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2008), 324.
- Ibid, 204
- Ibid, 15
- Zakiyudin Bhaidaway, Dialog Global dan Masa Depan Agama (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001)
- Armada Ryanto, CM, Dialog Agama-Agama pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 102-103
- Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Ilmu Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 96.
- Olaf Schuman, Dialog antar Umat Beragama: Dari Manakah Kita Bertolak?, (Jakarta: LPS-PGI, 1980), 56-57.
- Olaf Schuman, Dialog antar umat beragama, 452.
- Jurnal Harmoni, Dialog Merajut Kerjasama antar Umat Beragama, (Jakarta: Depertemen RI)
- Olaf Herbeert, Dialog Antar Umat beragama, 436.
- Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika dan Realita Hubungan Antar Umat Beragama, (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas budaya, 2004), 39.
- Victor Tinambunan, Merawat kemajemukan dan melestarikan Kerukunan, (Pematang Siantar: LSM, 2005), 77-78.
- Nicholas j. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, (Jakarta: BPK-GM,2008), 301-302.