Melawan “Perang Tanpa Keramian” Budaya Asing
Oleh : Agung Wibawanto
KilatNews.Co – Indonesia seperti juga bangsa-bangsa lain yang berdaulat, dibangun berdasarkan nilai-nilai yang terkandung, hidup, tumbuh dan berkembang di bumi nusantara. Mengapa tiap-tiap bangsa harus memiliki nilai-nilai tersebut? Karena itulah satu-satunya yang bisa dijadikan sebagai identitas dan kebanggaan bangsa. Itu pula yang akan membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya, yakni identitas atau jati diri.
Namun kini, nilai-nilai yang merupakan jati diri bangsa tersebut nampak tengah diuji dan diserang oleh nilai-nilai asing melalui berbagai media dan caranya. Bahkan di sebagian bangsa berkembang dan bangsa miskin lain, nilai-nilai asing sudah menjadi penyakit kanker yang menggerogoti nilai-nilai luhurnya, dan sebagian bangsa lain sudah ada yang mati dan merubah jati dirinya dengan yang baru yakni jati diri bangsa asing.
Bagaimana dengan Indonesia?
Seperti perang tanpa keramaian atau menaklukkan tanpa peperangan?
Pergerakan infiltrasi dan ekspansi nilai-nilai asing terhadap jati diri bangsa masuk demikian mulus, bahkan terkadang secara sengaja justru diundang, Tinggal lah kita merasakan hasil dari “penyusupan” tersebut. Bangsa ini terasa semakin lemah baik di mata rakyatnya sendiri apalagi di mata orang luar.
Hal ini tentu saja menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga, mengamalkan, dan meneruskan jati diri bangsa kepada generasi-generasi berikut. Apa jati diri bangsa Indonesia? Yang disebut sebagai jati diri bangsa bukan berarti menafikan entitas suku bangsa yang terdapat di dalamnya, melainkan justru menjadi semacam pengikat kesatuan bangsa.
Bung Karno mengatakan bahwa Indonesia berdiri di atas taman sari bunga-bunga, dalam artian Indonesia adalah taman sari itu. Jati diri juga bukan sesuatu yang genetik dalam sebuah bangsa. Dia hadir dalam sejarah. Dan sejarah pun bukan sesuatu yang singular. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kesejarahannya masing-masing.
Persoalan mengenai jati diri bangsa menyentuh sebuah perkara yang sangat fundamental: bagaimana keragaman sejarah dan tradisi tersebut dapat membentuk kebangsaan yang utuh (Prof Dr Der Soz Gumilar Rusliwa Somantri)? Nusantara ini pernah memasuki masa keemasan di jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejayaannya terkenal juga disegani hingga dunia luar.
Namun kata “pernah” tersebut tidak ingin kita ulangi lagi untuk bangsa Indonesia. Kita tidak ingin di masa yang akan datang ada kalimat “Dulu pernah berdiri bangsa Indonesia…” Satu-satunya jalan melawan “perang tanpa keramaiannya” budaya asing memang melalui pembumian pancasila yang selama ini kesannya hanya menjadi simbolisasi ketatanegaraan saja. Tanpa adanya pembumian Pancasila maka bangsa ini akan semakin kehilangan jati dirinya.
Dan indikasi tersebut sudah sangat terasa seperti yang kita saksikan dalam pemberitaan media. Meski bangsa ini mengaku memiliki ideologi Pancasila sebagai way of life, namun lihat saja kehidupan sosial sangat jauh dari semangat persatuan dan kesatuan; budaya politik yang semakin liberal meninggalkan asas musyawarah mufakat; praktik hukum tidak berlandas kepada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dunia ekonomi dan pembangunan belum mencapai keadilan sosial, dan; kehidupan beragama seperti tidak menjamin adanya rasa aman, nyaman dan bebas dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Hal ini merupakan beberapa masalah yang harusnya juga menjadi bagian pembahasan dalam setiap forum-forum dialog kebangsaan. Dan kampus memiliki peran strategis dan penting.
Terutama dalam mencetak intelektual muda yang berkarakter untuk turut serta membumikan Pancasila di tengah-tengah kehidupan rakyat. Pada akhirnya, semoga kita tidak terjebak dan hanya pandai berdebat menganalisa masalah saja melainkan harus ada langkah konkrit, sekecil apapun. Yang menjadi soal, kini banyak orang yang mengatakan bisa namun tidak mau melakukannya. Hanya sedikit orang yang mau melakukan tanpa perlu berkata bisa.