Dalam kesempatan yang masih memprihatinkan di negara kita akibat pandemi covid19, ijinkan kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat karena “kami gagal membendung Bank Pembiayaan Rakyat Syariah masuk dalam Program Pembentukan Legislasi Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2021”.
Dalam rapat paripurna tanggal 27 November 2020 komposisi yang berkaitan dengan materi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah :
- FRAKSI PKS : SETUJU
- FRAKSI GERINDRA : SETUJU DENGAN CATATAN
- FRAKSI PAN : SETUJU
- FRAKSI PARTAI GOLKAR : SETUJU
- FRAKSI NASDEM : SETUJU
- FRAKSI PDI PERJUANGAN : MENOLAK
Alasan saya menolak dan itu menjadi sikap resmi Fraksi PDI Perjuangan adalah :
Pertama, Bahwa persoalan ekonomi keuangan syariah tentang perbankan syariah telah diatur dalam UU RI No 21 Tahun 2008 (Jaman Presiden SBY) dan UU RI No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Tenaga Kerja (Jaman Presiden Jokowi).
Dalam proses perjalanan UU No 21/2008 yang telah berjalan sampai saat ini, maka : master plan dan peta jalan ke arah ekonomi syariah secara nasional belum jelas meski sudah ada KNEKS KOMITE NASIONAL EKONOMI KEUANGAN SYARIAH dengan Ketuanya adalah Presiden Jokowi dan Ketua Harian Wakil Presiden KH Maaruf Amin, artinya secara lebih besar perencanaan terintegrasi dan komprehensif dari sisi fiskal, moneter dan sektor riil untuk mengoptimalkan potensi ekonomi syariah masih sangat minim.
“Dari sisi ini maka masuknya BPRS SYARIAH KOTA YOGYAKARTA ke dalam propemperda 2021 adalah sangat tidak rasional”.
Kedua, disamping itu belum selesainya persoalan di sistem konvensional yang mendistorsi keuangan syariah, suku bunga bank konvensional yang besar membuat keuangan syariah harus putar otak menawarkan imbal hasil yang jauh lebih menarik bagi masyarakat ini saja sudah melanggar konsep syariah. Keuangan syariah kita masih berpikir bagaimana memikat dengan imbal hasil tinggi.
“Dari konstruksi ini saja dapat dibaca bahwa pembentukan BPR Syariah yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam bentuk perseroda kehilangan konteksnya karena konteksnya adalah pembentukan BPR Syariah adalah memberi kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah PAD”.
Ketiga, belum berjalannya secara tuntas rencana pemerintah yang akan membuat holding bank BUMN Syariah dan UUS Unit Usaha Syariah yang dimiliki BPD.
Seperti diketahui bersama bahwa di DIY sudah ada BPD DIY Syariah dimana Pemerintah Kota Yogyakarta juga sebagai pemilik saham karena ada ketentuan penyertaan modal dari APBD Kota Yogyakarta dan Kota Yogyakarta dengan luas wilayah hanya 32 km2 dan jumlah penduduk sekitar 400-500 ribu jiwa seharusnya dalam persoalan negara memfasilitasi mayoritas warga negara sudah terselesaikan dengan adanya BPD DIY Syariah maka logika bahwa pembentukan BPR Syariah milik Pemkot Yogyakarta untuk “membuat ceruk baru” dapat ditengarai ada “maksud politik” di dalamnya.
Keempat, Struktur APBD Kota Yogyakarta tahun 2021 dengan tematik pemulihan sosial dan ekonomi dalam kehidupan baru masih defisit 5,6% dimana pendapatan dipatok di angka 1,6 triliun sekian dan belanja dipatok 1,7 triliun sekian. Dari konstruksi keuangan daerah inipun sebenarnya tidak masuk akal bila pemerintah kota malah akan membentuk perusahaan baru bernama BPR Syariah karena pasti akan berkorelasi kepada penyertaan modal dari APBD Kota Yogyakarta.
Singkatnya APBD “masih tombok kok mau membuat bank”. Ditambah lagi situasi tahun 2021 masih dalam taraf pemulihan perekonomian artinya bahwa sangat tidak masuk akal bila pemerintah Kota Yogyakarta akan menggenjot dari pajak dan retribusi yang dipungut dari rakyat, maka pembentukan BPR Syariah pasti akan membebani APBD Kota Yogyakarta di kemudian waktu.
Kelima, bicara APBD adalah bicara politik anggaran, maka dihapuskannya dana stimulan RW dan dana Block Grant LPMK dimana dana itu sangat bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan pembangunan wilayah “dihilangkan/dihapus” dengan alasan “karena keuangan daerah tidak mampu menyediakan dana 5% sebagai syarat mutlak cairnya Dana Alokasi Umum DAU Dana Kalurahan sebesar 350 juta sekian/kalurahan, dan supaya cair maka dana stimulan RW dan block grant LPMK dihapus untuk masuk dalam struktur 5% “. Yang harus dicermati jelas keuangan daerah tidak mampu, pertanyaannya membiayai kegiatan pembangunan wilayah yang hasilnya dinikmati seluruh rakyat pemkot menyatakan tidak mampu tapi akan membentuk dan membiayai BPR Syariah mampu, pertanyaannya : apakah masuk di akal logika itu ?
Keenam, bahwa pemerintah Kota Yogyakarta di tahun 2021-2022 masih punya kewajiban untuk penyertaan modal di BUMD milik pemkot yaitu : Bank Jogya, BPD DIY, PDAM Tirtamarta dan Perseroda Jogyatama visesha milyaran rupiah, maka “pembentukan BPR Syariah dengan bentuk perseroda pasti akan membebani APBD karena syarat mutlak Perseroda adalah minimal 51% sahamnya dimiliki pemerintah daerah dan pasti akan mengurangi belanja pembangunan di wilayah yang dapat dinikmati langsung oleh rakyat.”
Ketujuh, Salah satu founding father Bung Karno menyampaikan “bahwa negara ini didirikan semua untuk semua, bukan untuk orang jawa atau sumatra saja, bukan untuk orang Islam, Kristen atau Hindu saja tetapi negara ini didirikan untuk semua orang Indonesia.”
Artinya, apapun peraturan yang akan dibuat di negara kita harus setara tidak dalam konsep mayoritas minoritas tapi dalam semangat entitas kebangsaan dalam bingkai ideologi dasar negara Pancasila.
Demikian alasan saya dan dalam perkembangannya ini menjadi sikap resmi Fraksi PDI Perjuangan, dan tujuh alasan saya menolak dimasukkannya BPR Syariah dalam struktur program pembentukan peraturan daerah propemperda 2021 saya beri nama “Sapta Nota Keberatan Kebangsaan”
N.B. Ada sedikit perbaikan penulisan naskah dengan aslinya yang saya sampaikan dalam forum rapat paripurna DPRD Kota Yogyakarta tgl 27 Nopember 2020 dengan tidak merubah esensi dari materi yang saya sampaikan.
Terima Kasih
Merdeka!!!
Marhaen Menang!!!
Penulis, Antonius Fokki Ardiyanto S.IP
(Anggota DPRD Kota Yogyakarta Fraksi PDI Perjuangan)