Memaknai Puisi “Hatiku Selembar Daun” Karya Sapardi Djoko Damono

Oleh : Qomaria Hasanah

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Memaknai Puisi “Hatiku Selembar Daun” Karya Sapardi Djoko Damono

KilatNews.Co Tentu saja kata puisi sudah tidak asing lagi bagi kita. Puisi disebut sebagai karya sastra, berupa ungkapan perasaan pengarangnya, menggunakan kata atau frasa sebagai alat penghubung. Yang dituangkan ke dalam tulisan, dan membangkitkan imajinasi yang indah bagi pembaca dan pendengarnya.

Dengan demikian, baik dalam bentuk pesan-pesan atau sekedar pembentukan emosi, dapat dihasilkan secara multitafsir dalam benak pembaca.

Pradopo (2012: 315) mengemukakan bahwa puisi itu merupakan karangan terikat oleh banyaknya baris dalam tiap bait, banyaknya kata dalam tiap baris dan banyak suku kata dalam tiap baris, serta memiliki rima dan irama. Setelah itu, beliau mengungkapkan puisi sebagai sesuatu yang puitis, berarti mengandung banyak keindahan dalam puisi tersebut.

Baca Juga: Memaknai Puisi “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono

Puisi sendiri memiliki banyak makna yang mendalam, mulai dari diskusi tentang kehidupan, cinta, hubungan, dan lainnya. Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang paling populer di semua kalangan, karena bahasa dan maknanya yang indah. Tak ayal, puisi selalu menjadi sesuatu yang
menarik perhatian banyak orang.

Hatiku Selembar Daun” adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ini memiliki makna yang sangat mendalam,  menggunakan kata-kata yang begitu
rapi dan indah sedemikian rupa sehingga pembaca sulit untuk menerka apa isi puisi itu.

Namun, hal itu berbeda dengan puisi “Hatiku Selembar Daun” yang tidak memperhatikan aturan yang berlaku.
Puisi ini memiliki ciri khas tersendiri. Selain itu, dari bait pertama sampai
bait ketiga menggunakan titik koma, bait
keempat diakhiri dengan titik. Meskipun
di awal hingga akhir tidak menggunakan huruf kapital sama sekali.

Puisi “Hatiku Selembar Daun”

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

“Hatiku Selembar Daun” memiliki makna, sebagaimana dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “hati” adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia, yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpannya sebuah pengertian (perasaan atau sebagainya).

“Hati” di awal puisi ini seolah-olah
merupakan sebuah “selembar daun yang jatuh di rumput”. Daun yang terapung
ketika jatuh di rerumputan, terlepas dari pohon atau dahannya, berarti sehelai
daun sudah habis dan terlepas dari tempatnya. Hatiku selembar daun menjadi sebuah penanda bagi orang yang hendak pergi (mati).

Selanjutnya “nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini” memiliki makna, ia masih ingin terbaring di tanah, jangan dulu mati, ia masih ingin berbaring dulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ebta, 2015), yaitu terletak membujur, tergeletak, tergelimpang.

Baca Juga: Sastra Adalah Sepotong Kehidupan yang Diberi Arah dan Makna Penafsiran

Ibarat daun yang gugur akan disapu, dibersihkan, lalu dibakar. Sama seperti manusia yang akan mati, dan meminta agar dia tidak mati terlebih dahulu.

Selembar daun ini bukan semata-mata hanya ingin berdiam diatas rumput, melainkan ia meminta kepada Tuhan agar menunda dulu kematiannya. Aku yang akan mati, menginginkan Tuhan untuk menundah kematiannya.

Baris selanjutnya “ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput” memiliki arti makna , sesuatu
yang masih ingin dia lihat. Ada yang masih hilang. Sebentar lagi dia
akan mati, tetapi ada hal-hal dalam hidupnya yang masih dipandang sebelah mata. Mereka yang memiliki firasat akan kematian, sebagian besar ingin menyelesaikan pekerjaannya sebelum kematian menghampiri mereka.

Pada baris terakhir “sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi” memiliki makna. Masih ada hal yang harus dilakukan, dilihat dan dilakukan.

Ketika kematian telah datang, daun tidak bisa lagi tinggal di rumput. Dia akan dibawa pergi setiap pagi, seperti dia ingin dilihat sebelum dia meninggal dan tidak bisa benar-benar terlihat setelah
kematian.

Dari puisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa puisi ini memiliki hubungan yang erat dengan makna ke-Tuhan-an. Dalam hal ini, penyair merasa sakit atas tindakannya sendiri. Ia melupakan kewajibannya untuk menyembah Tuhan. Jadi dia menderita sakaratul maut yang sulit.

Dalam puisi ini, ia pun menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang yang diibaratkan sehelai daun, menggambarkan seseorang yang akan
menemui ajalnya.

Orang di ambang kematian seringkali sadar akan hal-hal yang harus mereka jalani dalam hidup mereka, Sapardi menulis puisi ini sebagai tanda permohonan kepada Tuhan.

Dia meminta Tuhan untuk memberinya kesempatan melakukan hal-hal yang dia lewatkan sebelum dia meninggal. Karena itu, jangan pernah membuang waktu untuk berbuat dosa.

Gunakan waktumu sebaik mungkin di dunia ini, bersyukurlah saat kamu menerima anugerah Tuhan. Dan tidak lupa kewajiban beribadah kepada
Allah, dan untuk selalu berbuat baik sebelum mati menjemput. Sebuah sindiran dan nasihat yang ingin disampaikan, membawa makna yang dalam meski bahasanya sederhana. Faktanya, yang fana adalah
waktu, bukan orang.


Qomaria Hasanah. Penulis adalah Mahasiswa llmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakrta.

Reporter: KilatNews