Bibit Bobot Bebet, Filosofi Jawa yang Tidak Dipahami dan Mulai Pudar
Oleh : Agung Wibawanto
KilatNews.Co – Aslan bilang, “Kemuliaan tidak dilihat dari apa yang kita kenakan, melainkan apa yang dibawa dalam hati kita”. ( The Cronical of Narnia).
—————————————
Masih ingat kan sebuah komedi terjadi ketika Riza Patria (GERINDRA, kini wagub DKI Jakarta) mengatakan soal bibit, bebet dan bobot Prabowo dan Sandi (2019), kemudian dia bandingkan dengan Jokowi.
Riza mengatakan coba lihat siapa kakek dan bapaknya Prabowo dan Sandi, orang hebat. Sementara Jokowi? Rakyat kecil biasa.
Pertama, Riza ini orang yang gak paham filosofi Jawa. Apa dan untuk tradisi apa menggunakan pertimbangan bibit, bobot dan bebet? Dan itu bukan hanya soal seberapa hebat leluhur atau orangtuanya. Orangtua hebat itu bukan berarti meninggalkan nama besar ataupun warisan tanah berhektar-hektar.
Orangtua hebat itu meninggalkan legacy (warisan) berupa jalan kebaikan buat keturunannya, yakni nilai jujur dan hidup sederhana, meski orangtua hanya berprofesi seorang petani, angon bebek ataupun tukang becak. Karena kelak anak akan menjalani hidup dan nasibnya sendiri.
Orangtua tidak selalu mendampingi atau berada di samping anak. Sebesar-besarnya status dan kekuasaan orangtua, sehormat-hormatnya orang kepada orangtua, namun kelak “kekuasaan” dan rasa hormat orang kepada orangtua tidak akan ada gunanya jika anak tidak mampu apa-apa.
Kakek dan bapaknya Prabowo-Sandi memang tidak sebanding dengan simbah dan bapaknya Jokowi dari sisi kepopuleran, kekayaan, dan kekuasaan. Prabowo-Sandi berasal dari keluarga berada dan punya pengaruh, sementara Jokowi hanya berasal dari keluarga tukang kayu miskin.
Itu yang disebut bibit. Meski juga benar yang dikatakan Mahfud MD bahwa Prabowo yang diajukan kelompok Islam untuk memperjuangkan Islam, namun justru tidak berasal dari lingkungan Islam bahkan tidak mengerti tentang Islam (Prabowo seorang mualaf karena nikah dengan Titik Suharto, yang keluarganya penganut Kristiani).
Track record bapaknya Prabowo pun tercatat sebagai bagian PRRI yang ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno. Itu ditilik dari bibitnya.
Jokowi sendiri terlahir dari orangtua Noto Mihardjo dan Sudjiatmi. Sedangkan simbahnya Jokowi bernama Lamidi Wiryo Mihardjo dan Painem (Sumber: Wikipedia).
Siapa mereka? Rakyat jelata yang tidak punya pangkat jabatan apalagi kekayaan melimpah. Satu-satunya “harta” yang diwariskan kepada anak dan cucu mereka adalah “jalan kebaikan”, bahwa hidup itu adalah kerja dan cinta, jalani dengan sederhana.
Pantang bagi rakyat jelata “ngentit” uang rakyat, pantang mengemis, pantang berfoya-foya, pantang tidak berbagi, pantang untuk intoleran, selalu guyup dan mau mendengar, serta menjunjung tinggi kejujuran dan integritas di atas segala-galanya. Itu bibit.
Ditilik dari “bobot” jika secara harfiah, tentu Prabowo jauh lebih “berbobot” ketimbang Jokowi yang langsing. Bahkan Prabowo sudah dapat dikatakan over weight (pengakuan Prabowo sendiri yang diminta diet oleh dokter pribadinya). Siapa yang lebih sehat dan lincah?
Bobot dalam artian filosofi Jawa adalah kualitas diri. Pertimbangan bobot ini meliputi: Jangkeping Warni (Lengkapnya Warna). Merupakan istilah yang merujuk pada sempurnanya fisik seorang, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh atau impoten (lebih kepada fungsi dan makna, bukan fisikiah).
Kedua, Rahayu ing Manah (Baik Hati). Bisa diartikan sebagai ‘inner beauty’ dalam bahasa sekarang. Termasuk di dalamnya adalah kecakapan agama seseorang.
Ketiga, Ngertos Unggah-Ungguh (Mengerti Tata Krama). Keempat, Wasis (Ulet). Orang itu harus baik, rajin dan pekerja keras demi tanggung-jawabnya.
Bagaimana kualitas diri Prabowo dan Jokowi?
Silahkan cek prestasi dan kegagalan dari masing-masing. Fakta ringkasnya, Prabowo gagal membina rumah tangga dengan Titik Suharto (cerai). Ia juga gagal dalam karir kemiliterannya (dipecat presiden BJ Habibie).
Sementara Jokowi tampak selalu harmonis dengan keluarga, serta berhasil mendidik anak-anaknya hidup mandiri. Dalam karir politik terus meningkat, mulai dari Walikota Solo 2 periode, Gubernur DKI Jakarta dan kini menjadi Presiden RI. Jokowi dikenal pekerja keras serta pelayan rakyat yang mau mendengar. Tidak ada catatan buruk. Itu bicara bobot.
Bagaimana dengan bebet? Bebet dalam tradisi Jawa diletakkan di akhir karena tidak lebih penting dari dua yang awal.
Bebet berasal dari “bebedan” atau pakaian atau sandangan. Bagaimana orang bisa menahan diri dari hasrat akan kebendaan. Budaya Jawa senang akan keindahan dan sandangan yang dikenakan atau dimiliki, namun juga jangan berlebih. Hidup sederhana lebih diutamakan.
Untuk itu sering diistilahkan dengan “Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman”. Artinya, Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi. Di antara Prabowo dan Jokowi, siapakah yang patut diberi pesan di atas?
Silahkan dicek apa saja yang dimiliki (kebendaan) dari masing-masing. Siapa yang dianggap orang lebih “wah” atau elite? Siapa yang terlihat lebih berambisi mengejar dan mendapat kekuasaan
Jokowi justru berpenampilan dengan sandangan yang biasa saja. Ia tidak suka berlebihan. Bahkan ia dan keluarganya masih sering menggunakan pesawat komersial kelas ekonomi. “Biasa aja”.
Itu bicara bebet. Riza Patria paham tidak akan itu? Jika memang orang Jawa dan mengerti filosofi bibit bobot dan bebet, bukankah ia justru mengangkat Jokowi dan memendamkan Prabowo sedalam-dalamnya? Terima kasih Riza, tapi juga Jokowi bukan tipe orang yang suka disanjung-sanjung. Sudah pasti akan dijawab oleh mereka (keluarga Jokowi) dengan, “Biasa aja”.
Tidak perlu diajari, Jokowi lebih njawani. Kini ditunggu saja di antara kontestan pengganti Jokowi kelak, siapakah mereka yang paling njawani maka dia lah yang kemungkinan besar bisa meneruskan tingkat estafet kepemimpinan dari Jokowi. Ada, Prabowo, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, atau mungkin saja muncul “Satrio Piningit”?