Sebagai ormas dengan jumlah anggota yang besar, sangat naif menempatkan NU sebagai organisasi yang tidak menjadi target dari kontrol dan penundukan berbagai kepentingan ekonomi dan politik, baik nasional maupun global. Secara etis, kontaminasi politik uang selama dua puluh tahun terakhir terjadi di tengah organisasi NU, terutama pada setiap momentum muktamar adalah sesuatu yang tidak harus diamini. Artinya, setiap warga NU memiliki kewajiban untuk menjadikan muktamar sebagai forum untuk mengembalikan organisasi NU sesuai dengan cita-cita para pendirinya.
Salah satu fakta yang paling kasatmata yang harus menjadi pertimbangan politik ke-Jam’iyyah-an NU, bahwa sebagian besar warga NU adalah kelompok prekariat, kelompok paling rentan secara ekonomi dan politik. Ketika para pengurus NU menjalankan organisasi dengan cara-cara partai politik kekuasaan akan langsung berdampak kepada warga NU sendiri. Dan pola arogansi politik kekuasaan ini akan menjadi mesin perusak yang terus menggerus NU, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Oleh karena itu, muktamar merupakan forum musyawarah untuk menyerap, menyimpulkan, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjawab tantangan dan sederet masalah yang dihadapi oleh jam’iyyah (organisasi) maupun jamaah (warga) NU hari ini. Muktamar bukanlah musyawarah nasional (munas atau muktamar) partai politik. Muktamar adalah momen muhasabah para pengurus tanfidziyah dengan bimbingan dari para masayikh Nahdlatul Ulama dalam merespon masalah-masalah jam’iyyah (organisasi) dan jama’ah (warga) NU. Warga NU di seluruh Indonesia merindukan tegaknya eksemplar moral, para teladan dan berharap organisasi NU menjadi benteng moral dalam menghadapi pahit-getirnya kehidupan duniawiyah yang fana ini.
Salah satu persoalan penting yang dihadapi Jam’iyyah dan jamaah NU dalam dua puluh tahun terakhir adalah kesenjangan perkembangan NU di Jawa dan di luar Jawa. Sangat penting mengambil langkah-langkah strategis keorganisasian dan memberikan perhatian khusus kepada warga NU di luar Jawa, terutama secara teratur mengakomodir kader-kader NU di luar Jawa ke dalam struktur keorganisasian secara teratur dan terukur.
Berdasarkan latarbelakang di atas, kami Forum Muda Nahdliyyin Indonesia (FMNI) memandang, bahwa perhelatan muktamar NU yang akan diadakan di Lampung pada Desember mendatang penting memperhatikan pengembangan NU di luar Jawa dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut :
Pertama, perlu diingat, dalam sejarah pendirian NU, NU di luar Jawa adalah bagian tak terpisahkan dari NU. Dalam sejarah NU di luar Jawa, seperti di NTB, Kalimantan, pulau Sumatra dan pulau-pulau yang lain, umat Islam yang bersiteguh dengan ajaran Ahlussunnah Waljamaah bergabung secara sukarela dengan Jam’iyyah NU dengan jaminan berupa kharisma, integritas, ketawadu’an, kemurahatian, dan etika para ulama pendiri NU yang rajin datang bersilaturahim ke segenap pelosok di luar Jawa seperti yang dilakukan para masayikh pendiri NU di Jawa sendiri. KH. Hasyim Asyari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Hasan Gipo, dan masayikh lainnya tidak membedakan antara NU di Jawa dan di luar Jawa. Harus diingat sebagai perbaikan dan ‘ibroh sejarah, bahwa para pendiri NU tidak membedakan diri mereka dengan para ulama NU di luar Jawa, dan justru secara terang-terangan menghormati otonomi para ulama di luar Jawa, di daerahnya masing-masing.
Kedua, perlu menimbang dinamika politik dan ekonomi mutakhir, bahwa NU luar Jawa merupakan basis komunitas NU di tengah berbagai mayoritas organisasi lain, baik yang berhaluan ASWAJA atau tidak. Dalam sejarahnya, orang-orang NU di luar Jawa menghadapi banyak kesulitan, misalnya tekanan Orde Baru yang mendefisitkan NU luar Jawa, baik jumlah, kualitas dan secara keorganisasian.