Ketika terjadi prahara politik pada dekade 1960-an, terutama saat peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, NU mengalami masa kritis kedua, ada upaya-upaya sistematis imperialisme dan para kolaboratnya yang menyudutkan posisi NU dalam kancah nasional.

Para masayikh NU, terutama kader mudanya berjuang keras memulihkan jaringan NU, terutama di luar Jawa dengan pendekatan yang telah diteladankan para pendiri NU. Mereka aktif mendatangi para ulama di luar Jawa, mengedepankan asas ukhuwwah, saling menghormati, dan menyatukan pandangan soal kemandirian dan kedaulatan gagasan, dan imperatif ahlussunnah wal-jamaah dan memiliki posisi yang jelas dalam menghadapi tantangan politik negara yang semakin dikendalikan rezim yang menjadi kaki tangan neoliberalisme.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Tidak itu saja, para kader muda NU saat itu melakukan percakapan aktif dengan berbagai kelompok di luar NU untuk membangun perlawanan sipil terhadap rezim otoriter. Mereka juga memberikan teladan bahwa kehidupan bersama dalam NKRI sangat ditentukan oleh sikap saling menghargai dan mengakui berdasarkan persaudaraan kebangsaan, dan meninggalkan cara-cara main kayu dan menjadi kaki tangan dari segala bentuk hubungan transnasional, yang memiskinkan masyarakat.

Pada tataran intelektual, para kader muda NU saat itu dengan mengandalkan kekayaan tradisi intelektual dan etika keulamaan pesantren serta upaya serius mencari bentuk artikulasi intelektual baru dalam persinggungannya dengan tradisi intelektual modern, telah melampui eliminasi dan jebakan diksursus dari rezim pengetahuan masa itu. Para kiai dan kader muda NU pada saat itu dengan bebas menentukan teman-bercakap, isi percakapan, dan arah dari percakapan intelektual mereka, tidak harus mengekor dan dibayangi oleh peta-metafisik gagasan rezim pengetahuan yang diproduksi oleh kekuatan neoliberal.

Pada titik inilah penting mengingatkan kepada generasi muda NU hari ini yang terdiri dari para sarjana dengan segala capaian akademiknya, yang dari ke hari semakin besar jumlahnya—perlu ditegaskan, bahwa capaian ini wajib tetap disyukuri sebagai bagian dari perjuangan NU– bahwa pemikir NU adalah mereka yang memiliki kapasitas intelektual yang menguasai dengan baik tradisi klasik di pesantren dan memiliki kapasitas intelektual modern.

Hanya dengan dua kapasitas inilah generasi muda NU saat ini tidak akan sibuk membicarakan isu-isu yang merupakan ekor panjang dari isu orang lain; juga agar tidak sibuk bersengketa dan maladeni segala bentuk Islamisme yang sebenarnya sudah bangkrut secara intelektual dan gerakan dengan melupakan politik pemikiran dan etika sebagai sesama muslim; dan memiliki kepekaan dan mengambil peran dalam membangun ruang utopia pemikiran bersama sesama generasi muda NU, dan kelompok ASWAJA lainnya di Indonesia.

Dalam hitungan minggu, tepatnya pada bulan Desember mendatang, seluruh warga NU akan melaksanakan muktamar ke-34 yang dilaksankan di Provinsi Lampung.

Muktamar kali ini dilaksanakan dalam suasana kritikal karena situasi nasional dan global yang belum lagi normal disebabkan oleh pandemi Covid-19. Muktamar ke-34 mendatang akan menjadi pertaruhan sejarah NU untuk menentukan langkahnya menyambut usia satu abad NU, maka besar harapan warga NU agar Muktamar ke-34 mendatang ini memperkuat marwah NU sebagai organisasi keulamaan dengan lebih mengedepankan sikap dan etika keulamaan. Inilah momentum paling efektif untuk memperbaiki segala bentuk penyelewengan keorganisasian, dan berbagai bentuk intervensi luar terhadap NU.

Muktamar merupakan forum tertinggi para ulama dan warga NU yang sudah sepantasnya tidak dijadikan sebagai forum kompetisi politik. Muktamar bukan forum memamerkan sekaligus mengumbar kekuasaan dan egoisme, terutama perebutan posisi ketua umum tanfidziyah yang selama dua puluh tahun terakhir diwarnai dengan politik uang.

Halaman:
1 2 3 4 5