Labsos sebagai Kritik Terhadap Sistem dan Budaya Pendidikan Tinggi

Labsos sebagai Kritik Terhadap Sistem dan Budaya Pendidikan Tinggi

Labsos sebagai Kritik Terhadap Sistem dan Budaya Pendidikan Tinggi

Oleh: Agung Wibawanto

KilatNews.Co Berikut adalah hasil diskusi saya dengan Prof. Purwo Santoso. Jika ada ide gila yang membolehkan penulisan skripsi hanya lima belas halaman, bagaimana perasaan mahasiswa? Senang? Tunggu dulu. Tidak semudah itu. Ada beberapa persyaratan yang harus ditempuh sebelum mahasiswa membuat skripsi lima belas halaman. Diantara hanya bersiap diri “dibenamkan” di tengah masyarakat (istilahnya Labsos atau laboratorium sosial) selama setahun (semester 7 dan 8).

Konsep ini kok sekilas mirip bagaimana Gatotkaca ditempa di dalam sebuah kawah candradimuka ya? Kira-kira demikian. Namun lebih jauh, Prof. Purwo Santoso menjelaskan bahwa ia tidak ingin mahasiswanya (UNU) sekadar menulis skripsi yang sesungguhnya tidak memahami substansi masalah di lapangan (masyarakat). Dia melihat mahasiswa terpaku kepada metodelogi hingga gaya-gayaan membuat skripsi setebal mungkin.

Sementara terjun ke masyarakatnya hanya sehari dua hari, sebagai formalitas saja. “Bagi saya tidak masalah 15 halaman sepanjang memahami landasan teorinya dan substansi pada pol masalahnya. Selebihnya merupakan lampiran. Dan lampiran bisa juga dalam wujud rekaman video berupa vlog ataupun podcast, misalnya”. Penekanan terjun dan belajar di komunitas masyarakat yang diistilahkan Prof. Purwo sebagai Laboratorium Sosial ini adalah sesuatu yang penting.

Di kampus, sejak semester 1-6 mahasiswa sudah cukup kuliah teori. Setelah itu saatnya mereka juga harus banyak belajar akan kenyataan di lapangan seperti apa? Apa permasalah utamanya, bagaimana strategi mengatasinya, apa potensi yang dimiliki dan sebagainya. “Jika mahasiswa ingin kritis, maka di sanalah tempatnya mereka untuk kritis.” Kritis yang dimaksud bukan hanya berteriak tanpa solusi, melainkan melakukan upaya-upaya strategis dari hal-hal yang dikritisinya di masyarakat.

“Itulah esensi ilmu dan amal,” tambah Prof Purwo. Ada sekitar 200 mahasiswa UNU semester 7-8 yang kini diterjunkan ke masyarakat. Lantas komunitas masyarakat seperti apa yang dijadikan sebagai Labsos oleh kampus UNU ini? Menurut Prof Purwo ada tiga wilayah komunitas saat ini yakni: industri (Sritex, Solo), desa (Panggungharjo, Bantul) dan ponpes (beberapa ponpes NU di Sleman). Tugas utama mereka adalah benar-benar belajar mengenal komunitas lingkungannya.

Secara periodik membuat semacam resume akan apa yang sudah dilakukan serta pula membuat pendokumentasian yang bisa melalui tulisan (dikirim ke media online/portal), membuat vlog atau pun podcast. Arah besarnya, mahasiswa diminta untuk menggali hingga mewujudkan social enterprenuer yang ada di komunitas setempat. Apabila mereka bisa hidup dari situ, tanpa tergantung kepada orangtua lagi, maka hasil penilaian akan semakin baik. Artinya program berhasil mencapai tujuannya.

Program Labsos semacam ini sesungguhnya wujud dari kritik terhadap sistem dan budaya pendidikan tinggi yang ada di kampus-kampus selama ini. Prof Purwo banyak mengkritisi sistem dan budaya pendidikan tinggi yang terjebak pada istilah “disiplin ilmu”. “Mahasiswa maupun dosen hanya terpaku kepada prodinya masing-masing. Padahal antar satu prodi dengan prodi lain sesungguhnya bisa saling berkaitan dalam satu fakultas.

Bahkan antar fakultas pun bisa. Karena pada dasarnya universitas itu adalah ekosistem akademik. Saling berkait satu sama lain menjadi sebuah rantai kehidupan,” terangnya. Sepertinya Prof Purwo memang ingin membongkar praktik-praktik (yang disebutnya) “kepicikan” yang terjadi di dunia pendidikan tinggi kita. “Katanya mau kuliah merdeka, ya mari kita memerdekakan kampus dari sekat-sekat disiplin ilmu yang terdiri dari prodi-prodi itu,” tuturnya.

Dan Labsos akan menjadi media pembelajaran yang komprehensif bagi mahasiswa juga dosen. Jadi teringat, Presiden Jokowi sendiri sudah menantang kampus untuk lebih kreatif menjawab tantangan zaman. Kelak mahasiswa mampu menjawab persoalan lapangan kerja yang tidak harus terikat kepada apa yang mereka pelajari di kampus. Jokowi berkata, “Mengapa kampus tidak membuka jurusan game, misalnya?”

Mulailah untuk kreatif dan inovatif membuat trobosan baru dan jangan terjebak kepada rutinitas administrasi kampus. Dalam hal ini, Dikti akan bertanggung-jawab penuh bagaimana mengubah sistem dan budaya pendidikan tinggi, tidak lagi sekadar menjadikan kampus sebagai “menara gading”, tapi memang mampu untuk menjawab segala masalah dan kebutuhan masyarakat. Terlebih menjadikan pendidikan sebagai barang komoditi untuk mencari keuntungan pribadi.