Wacana: Asosiasi Pengemis Seluruh Indonesia (APSI)
Oleh : Mahadir Mohammed
KilatNews.Co – “Paaak, mintak, Pak. Paaak, mintak, Pak. Untuk makan, saya lapar.” Ujar seorang laki-laki paruh baya dengan raut wajah tidak berdaya yang tiba-tiba menghampiri saya dan seorang kawan, ketika kami sedang belanja di sebuah toko perlengkapan. Saya pun agak bingung untuk menjelaskanya itu toko apa, terbatas kosakata saya untuk mendeskripsikan toko tersebut.
Sesuai dengan unsur-unsur sebuah berita yang benar, tidak sah rasanya, kalau saya tidak menjelaskan nama sebuah tempat atas sebuah peristiwa. Intinya, toko itu bukan hanya menjual pakaian, tapi juga menjual tas, dompet, masker, sajadah, peci, pancing dan berbagai aksesoris lainnya. Mungkin juga bisa disebut toko gado-gado. Sepakat? Kalau nggak sepakat kasi sajalah penamaan sesuai dengan alam pikiran sampean masing-masing. Okeeey!
Kembali ke Bapak tua tadi. Ya lebih kurang tiga menit ia mengucapkan kalimat-kalimat sakti belas kasihan. Persis seperti pengemis pada umumnya, akhirnya sang pemilik toko memberinya uang, seingat saya nominalnya dua ribuan.
Jujur saya benar-benar merasa kasihan, kebetulan waktu itu saya tidak mempunyai uang kecil (recehan), hanya ada uang seratusan. Niat baik saya berburu surga pun jadi tertunda, hanya gara-gara tidak punya uang recehan. Dalam hati saya bergumam; “Haiii, surga. Semurah itu hargamu, itupun aku tak mampu.” Hadeeeh!
***
Setelah menerima uang, Bapak tua itupun lenyap dari mata memandang. Saya sendiri juga tidak terlalu menghiraukannya. Eh, tiba-tiba dari belakang kami ada yang melesap bertanya, “Uda, berapa harga tas ini?” Saya menoleh ke arah suara, ternyata itu? Jreeeng! Jreeeeeng! (Soundtrack kayak di FTV gitu). Ternyata itu Bapak tua yang meminta-minta tadi.
Baca Juga:
Seni Teater Tradisional di Era Modern: Tayang secara Virtual
Saya dan kawan saya lalu saling pandang, mau menghujat takut dosa, tapi jujur hati saya rasanya ingin protes melihat Bapak itu. Lha, kenapa? Ya jelas! Belum sempat lima menit ia pergi dari toko itu. Eh, malah datang lagi untuk bertanya harga tas. Padahal tadi meminta-minta dengan dalih belum makan, dengan gaya badan sedikit gemetaran. Kan kasihan.
Sekarang rasa kasihan kami berbalik menjadi kemarahan. Niat baik berburu syurga menjelma menjadi panasnya api neraka di dalam dada. Siapa yang nggak marah coba? Yang semula tampak rapuh dan ripuh, seketika berubah menjadi gagah. Dengan entengnya bertanya harga tas. Tentu sikap beliau bukan hanya merusak citra dirinya sendiri, yang jelas Bapak tua itu telah merusak citra atau marwah pengemis di seluruh Indonesia.
Ya, saya tahu, pengemis juga manusia, yang secara konstitusi tidak ada satupun undang-undang yang melarang pengemis untuk mengajukan pertanyaan. Tapi, ya beretikalah sedikit. Lihatlah situasi dan kondisi. Kalaupun mau membeli tas, ya, belilah di toko yang lain. Jangan di toko yang sama dengan orang yang sama, termasuk masih ada kami di sana. Entah itu, sembunyi dulu kek, atau apa kek?
***
Setelah bertanya-tanya soal harga, Bapak tua itu akhirnya enggak jadi membeli tas tersebut, ia pun pergi. Saya pun sontak mengajukan pertanyaan kepada pemilik toko, “Uda, itu Bapak yang meminta-minta di sini tadikan?” akhirnya Uda pemilik toko panjang lebar menjelaskan, ternyata Bapak tua itu dulu ada usaha jualan es tebu, tapi karena kondisi, usahanya bangkrut. Jadilah sekarang kerjanya meminta-minta.
Saya secara pribadi sebenarnya tidak ada urusan dengan kebebasan setiap orang untuk mendapatkan uang, selama itu tidak dari yang haram. Tapi sikap Bapak tua itu telah mencoreng nama baik para pengemis yang memang benar-benar bergantung hidupnya dari hasil uluran tangan para orang-orang yang berkecukupan secara finansial.
Baca Juga:
Saya kira, peristiwa yang sama bisa terjadi bukan hanya pada kami, bisa saja terjadi pada orang lain. Tentu dengan peristiwa yang sama. Sehingga membuat orang-orang akan berpikir, semua pengemis itu sebenarnya kaya, atau semua pengemis itu hanya penipu yang berkedok belas-kasihan saja, atau pengemis itu tidak layak kita kasihani, dan atau-atau yang lain.
Sehingga, rasa kasihan dan kepercayaan orang-orang terhadap mereka (pengemis) yang memang benar-benar butuh makan dan belum mendapatkan pekerjaan, terpaksalah meminta-minta. Dengan adanya kejadian seperti ini, anggapan itu hilang dan lenyap begitu saja. Malah semakin menambah rasa tidak percaya.
Jika kita perluas pertanyaan, bagaimana nanti nasib orang-orang yang meminta sumbangan yang katanya untuk anak yatim dan anak-anak terlantar? Bagaimana nasib orang-orang yang meminta donasi yang katanya untuk panti asuhan ataupun bencana? Tentu, sedikit banyaknya akan terkena apes. Walaupun sebenarnya hal itu memang benar adanya. Tapi karena sikap para pengemis yang tidak beretika, bisa menambah kebrok-brokkan dunia para orang-orang yang mengharapkan bantuan dan uluran tangan antar sesama manusia. Sebab masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan dalih-dalih belas-kasihan.
***
Dalam perjalanan pulang, saya sempat diskusi dengan kawan saya. Kami memutuskan untuk mendirikan Asosiasi Pengemis Seluruh Indonesia (APSI), tujuannya bukan karena kami ingin meraup keuntungan. Bukan. Hehe. Lebih tepatnya ingin menyelamatkan orang-orang yang memang terjebak dengan kerjaan meminta-minta, atau mengamen. Agar indeks kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Sehingga tercipta iklim saling membantu dan berbagai.
Baca Juga:
Perjuangan Bung Karno untuk Bangsa Indonesia yang Patut Menjadi Contoh di Masa Depan
Di situ saya telah merencanakan untuk menjadi ketua umum APSI dan kawan saya ini sebagai sekertaris jenderal. APSI sebagai wadah yang akan menjaring dan menampung seluruh pengamen di Indonesia, di situlah kami akan menegakkan dan melatih etika-etika yang baik dalam meminta, atau mempertajam ilmu bernegosiasi dalam memperoleh sedikit rezeki.
Dalam obrolan kawan saya sempat memikirkan. Bagaimana nanti urusan kita dengan pemerintah? Apa itu dilegalkan? Sepontan saya menjelaskan pada dia, jika pemerintah saja telah melegalkan lokalisasi? Kenapa tidak dengan APSI? Semua itu tergantung pada pajak.
Negara kita ini sedang banyak hutang, semua hal kalau bisa dipajak. Apalagi APSI yang akan berkomitmen membayar pajak 50% dari hasil yang didapatkan. Pasti itu beres! Kami pun tertawa. Merayakan keunikan dan keanehan manusia-manusia di negeri ini.
–Uda : adalah kata sapaan hormat atau sopan untuk kakak lelaki, baik yang belum maupun yang sudah menikah dalam keluarga di Minangkabau, Sumatra Barat.