Spirit Marhaenisme dalam Gerakan Mahasiswa
Oleh: Alvana Jujun
KilatNews.Co- Mahasiswa memiliki peranan penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanpa mahasiswa mustahil Indonesia merdeka.
Hal tersebut bisa dilihat ketika munculnya organisasi Budi Utomo pada 1908 yang didirikan oleh oleh para pemuda STOVIA atau sekolah dokter di Jawa. Budi Utomo merupakan cikal bakal hadirnya sejumlah organisasi pergerakan mahasiswa di Indonesia.
Setelah Budi Utomo, ada Perhimpunan Indonesia dan beberapa organisasi kehamahsiswaan lainnya hingga tercapailah puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu Sumpah Pemuda. Bahkan jatuhnya rezim otoriter di bawah kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 pun tak bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa. Krisis ekonomi dan politik kala itu membuat mahasiswa tergerak untuk menggelar demonstrasi di berbagai daerah.
Setelah rezim Soeharto jatuh, beralihlah ke era reformasi. Reformasi pun juga tak berjalan mulus. Banyak sekali tantangan-tantangan yang mesti dihadapi oleh mahasiswa, baik dari internal maupun eksternal. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi mahasiswa dan generasi muda saat ini.
Lantas muncul pertanyaan, mampukah mahasiswa membangkitkan kembali semangat memperjuangkan bangsa ini agar tatanan masyarakat yang benar-benar adil dan sejahtera dapat terwujud? Tentu ini merupakan pertanyaan reflektif.
Marhaenisme
Penulis sendiri ingin mencoba untuk mengejawantahkan spirit marhaenisme dalam gerakan mahasiswa saat ini. Pasalnya, meski banyak yang tahu, namun dalam gerakan justru jauh dari semangat perjuangan marhaenisme.
Marhaenisme sendiri merupakan sebuah ideologi perjuangan yang digagaskan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno atau yang dikenal Bung Karno. Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927.
Singkat cerita, marhaenisme merupakan sebuah ideologi atau paham yang menentang segala bentuk ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, maka tugas dari seorang Marhaenis adalah bagaimana membela hak-hak dari kaum marhaen, atau kaum-kaum yang termarjinalkan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Mahasiswa Harus Bersatu
Sebagai seorang Marhaenis, maka sudah sepatutnya mahasiswa meleburkan diri bersama perjuangan rakyat. Perjuangan mahasiswa saat ini memang dihadapkan berbagai tantangan, terkhususnya di internal.
Gerakan mahasiswa saat ini terlihat pragmatis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pragmatisme adalah tindakan yang bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan), mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis.
Mengacu pada pengertian di atas, maka pragmatis merupakan sebuah sikap yang instant. Tak berpikir banyak soal bagaimana kegunaan hal tersebut, namun memilih cara-cara instant.
Seorang pragmatis cenderung bersifat ‘profit hunter‘ dan mengabaikan proses untuk mendapatkan profit tersebut. Misalnya, dalam merespons sebuah isu, mahasiswa saat ini cenderung reaksioner. Tanpa melalui diskusi yang matang.
Akibatnya, gerakan-gerakan yang dibangun hanya sebagai momentuman hingga tak ada yang berhasil. Hal tersebut lantaran tak melalui kajian-kajian dan analisis yang mendalam dalam membaca berbagai situasi saat ini, terkhususnya persoalan akar rumput.
Sebagai pisau analisis, marhaenisme punya peranan penting dalam membaca dan memahami situasi masyarakat secara ekonomi maupun politik saat ini. Apalagi persoalan saat ini sangat kompleks, maka butuh kejelian dalam menganalisis.
Melalui marhaenisme, setidaknya mahasiswa bisa memahami model penjajahan, baik dari segi ekonomi maupun politik. Hal tersebut terbukti dilakukan Soekarno dalam melihat penjajahan oleh kolonialisme kala itu.
Dalam pleidoinya yang ditulis dalam buku Indonesia Menggugat, ia secara gamblang dan utuh menjelaskan soal model penjajahan dari kolonialisme dan dibenturkan dengan marhaenisme. Dengan begitu, dia mampu mengungkap kejahatan-kejahatan para penjajah kala itu.
Persoalan lain adalah mahasiswa saat ini secara gerakannya belum menyatu secara nasional. Ego sektoral masih sangat kental dalam setiap komunitas-komunitas. Belum lagi, berbeda secara kepentingan.
Menyatukan gerakan mahasiswa secara nasional, memang membutuhkan proses yang panjang untuk melakukan konsolidasi. Konsolidasi secara nasional, serta melibatkan buruh, petani dan kaum miskin kota maupun rakyat yang termarjinalkan sangat dibutuhkan.
Sepanjang hal tersebut belum dilakukan, maka cita-cita untuk mensejahterakan rakyat Indonesia hanya sebatas jargon yang selalu disampaikan saat aksi maupun diskursus-diskursus.
Soekarno pun dalam bukunya di bawah bendera revolusi jilid I, ia menegaskan soal pentingnya persatuan nasional. Kala itu ia memandang bahwa, hanya dengan persatuanlah kemerdekaan bisa diraih.
Sekian tulisan ini, semoga semakin menggugah hati para mahasiswa agar lebih serius, dan jeli lagi dalam menghadapi persoalan-persoalan sat ini. Bukan untuk mendiskreditkan, namun agar terus berefleksi hingga kemerdekaan sebetulnya jadi milik rakyat.
Merdeka! Panjang umur perjuangan.
Alvana Jujun. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Bung Karno.