Marhaenisme Merupakan Cara Perjuangan dan Azas yang Menghendaki Hilangnya Kapitalisme dan Imperialisme
KilatNews.Co – Secara khusus, Soekarno tidak pernah menguraikan apa yang dinamakan Marhaenisme dalam satu tulisan atau satu buku yang memang benar-benar membahas tentang Marhaenisme. Pada 4 juli 1927, Soekarno, dengan dukungan enam kawan dari Aglemeene Studie Club, mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari berbagai tulisan mengenai Marhaenisme, salah satu yang menjadi rujukan adalah tulisan Soekarno dalam Fikiran Ra’jat pada tahun 1933 dengan judul Marhaen dan Proletar yang pada akhirnya dimuat dalam kitab Dibawah Bendera Revolusi (DBR) Jilid I.
Berbicara tentang kapitalisme, banyak anak muda zaman sekarang semakin tidak menyukai cara pemimpin mereka. Pandangan mereka bertentangan dengan pandangan generasi orang tua, yang secara konsisten mengatakan bahwa mereka memilih kapitalisme di survei-survei dengan suara marjin yang cukup besar – dan semakin bertambah jumlahnya ketika umur mereka bertambah. Namun, jumlah yang mempertanyakan prinsip kapitalisme tetap saja jumlahnya paling tinggi setidaknya dalam 80 tahun semenjak survei untuk topik semacam ini dilakukan. Untuk memastikan, pertanyaan dalam survei tersebut berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, dan ukuran sampel tidak selalu cukup besar untuk membuat kesimpulan. Namun hasilnya tetap sama yaitu generasi anak muda adalah bagian dari barisan depan rakyat Amerika yang mulai kehilangan keyakinannya terhadap kapitalisme dan bersiap untuk menyambut sesuatu yang baru. Kapitalisme dan Imperialisme sendiri memiliki keterkaitan, imperialisme juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Imperialisme-modern, yang kini merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu, imperilisme-modern itu adalah anak kapitalisme-modern.
Mr. Pieter Jalles Troelstra, pemimpin Belanda yang baru wafat, yang menulis:¹
“Yang saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu negeri yang sebagian besar dikuasai bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari negeri itu untuk kepentingannya sendiri.”
Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan seorang sosialis lain, yakni H. N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.
“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah
pertama-tama kesempatan menanamkan modal dengan untung luar biasa. Penaklukan dalam pengertian yang lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari negara-negara yang lemah dan kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu peristiwa nasional. Dalam fase ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal keluar negeri dari mengekspor barang-barang.
Imperialisme adalah semata-mata penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya, untuk diperusahakan ke negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag” apada umumnya, adalah salah sama sekali? Tapi marilah kita mendengarkan satu kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto Bauer yang termashur itu, yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan daerah, suatu expansiepolitiek yang “Senantiasa mengusahakan tercapainya maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan menanaman dan pasar-pasar penjualan. Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu sebagian dari modal uang perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik… Jadinya, setiap waktu sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap waktu menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah kosong yang tidak dimanfaatkan).
Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad kesembilanbelas itu, menimbulkan suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan industri.
Salah satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik proteksi (melindungi negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri besar yang modern, tenaga produksi industri besar itu sangat diperbesar, tapi kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan timbullah kemustian mencari pasar di luar batas negeri sendiri.
Caranya industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah: meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik dumping di luar negeri (yakni menjual barang barang dengan harga yang leibh murah dari harga biasa di situ).
Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah membikin tambah panasnya perhubungan internasional. DI samping itu dengan cepat bertambah subur bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan perdagangan dalam negeri tidak cukup lagi untuk menanamkan kapital itu. Akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal. (Misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur).
Mengenai hilangnya kapitalisme dan imperialisme, Soekarno menyebutkan bahwa sistem dan tatanan sosial kenegaraan yang terbebas dari kapitalisme – imperialisme – nekolim adalah ketika adanya suatu sistem ekonomi yang tidak ada penguasaan sumber daya ekonomi dan masyarakat hidup bahagia sebagai bagian dari dunia yang memenuhi tuntutan budi nurani kemanusiaan.
Siti Aisyah. Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bung Karno
DAFTAR PUSTAKA
Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat edisi revisi, Cetakan Ketiga, 2014, hlm, 95
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, 2005
Silahkan baca di https://theconversation.com/anak-muda-zaman-sekarang-menolak-kapitalisme-lalu-apa-penggantinya-94644
Sukarno, Indonesia Menggugat, 2014
¹ Gedenkschriften III, hal. 258.
² De Oorlog van Staal en Goud, salinan van Revestein, hal. 22, 51, 68.
³ Nationalitätenfrage, hal. 461. dst.
⁴ Expansie, meluaskan daerah.