Bung Karno Dimata Cindy Adams
Oleh : Tias Tiara Andrini
KilatNews.Co – Seoran jurnalis asal Amerika Cindy Adams berhasil mewawancarai serta menulis biografi Bung Karno. Buku Sukarno An Autobiography As Told To Cindy Adams (versi Bahasa Indonesia, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat) menjadi satu-satunya buku yang menceritakan sisi hitam dan gelap Bung Karno. Selain itu, ada banyak fakta-fakta menarik tentang kehidupan pribadi Bung Karno. Salah satunya, yaitu tentang kebiasaan Bung Karno memakai “PECI” yang saat ini sering digunakan oleh para pemimpin ditanah air sebagai lambang kebangsaan.
Cindy Adams juga banyak menceritakan tentang perjalanan Bung Karno melawan Kolonialisme dan Imprealisme. Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) menjadi semboyan perlawanan. Perlawanan tidak hanya lahir dari semoboyan-semboyan tersebut, akan tetapi di dalam buku Penyambung Lidah Rakyat juga mejelaskan tentang biografi dan rentetan peristiwa peting, yakni sejarah berdirinya bangsa Indonesia.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak boleh melupakan sejarah”. Kutipan pidato tersebut menggambarkan betapa pentingnya masyarakat Indonesia memahami sejarah perjalanan Bung Karno melalui buku karangan Cindy Adams.
Cindy Adams ketika itu pernah mengajukan sebuah pertanyaan penting kepada Bung Karno, “Apa pesan anda kepada rakyat Indonesia? Sukarno pun menjawab dengan jawaban yang patriotik dan menggugah semangat kebangsaan, yaitu Menjadi Negara Indonesia, ini adalah negeri yang begitu hebat, 17 ribu pulau, dikelilingi lautan, membentang begitu luas. Tanpa semangat untuk membangun negara, mustahil Indonesia bisa berdiri hingga sekarang.”
Bung Karno menjadi sosok pemersatu bangsa Inonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda-beda dirajut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara yang lahir dari dari pemikiran Bung Karno sewaktu pengasingannya di pulau Ende mejadi roh perjuangan. Cindy Adams juga menulis bahwa Sukarno mulai merefleksi dan berkerja sama dengan orang kecil sejak di jawa hingga ke pulau Ende. Dan Marhaenisme menjadi idiologi yang merepresentasikan bentuk perjuangan rakyat kecil.
Marhaenisme sebagai idiologi yang tidak membeda-bedakan agama. Di dalam buku tersebut Bung Karno pernah mengatakan “Aku menaruh perhatian pada Khotbah Yesus di Atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang sahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untuk-Nya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut” mengngat kutipan tersebut Cindy Adam menilai bahwa Bung Karno menggambarkan pancasila sebagai konsep akan perbedaan dan kesederajatan.
Kesamaan nasib dan sepenanggungan menjadi agitasi perlawanan untuk membakar semangat perjuangan melawan penjajah. Cindy Adams menilai Bung Karno bukanlah seorang yang beragama islam seperti orang Arab, Menurutnya paham-paham kejawen kuno masih dipakai oleh Bung Karno. Misalnya Bung Karno masih mempercayai hal-hal mistis dengan mengunjungi makam-makam kuno. Selain itu semasa hidup bung karno orang tua bung karno adalah penganut agama kejawen. Nama karno pun diambil bukan berdasarkan nama-nama islam seperti Muhamamad. Abdulah dll. Karno adalah nama yang diambil dari tokoh-tokoh agama hindu.
Bung Karno pernah mengatakan “jadilah islam tidak seperti orang arab, jadilah kristen tidak seperti orang israel. Jadilah hindu tidak seperti orang india. Jadiah islam seperti islamnya Indonesia.” Hal inilah yang melandasi bahwa perjuangan bungkarno bukanlah membawa nama identitas agama, akan tetapi perjuangannya adalah persamaan nasib bangsa Indonesia untuk melawan imprealisme dan kolonialisme.
Perjuangan Bung Karno begitu menarik diceritakan kembali melalui karya tulis Cindy Adams, jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) mejadi pengingat untuk kaum muda agar tetap melanjutkan perjuangan yang telah dilakukan oleh bung karno didalam melawan Nekolim (New Kolonialisme dan Imprrealisme). Buku Penyambung Lidah Rakyat merupakan buku yang wajib dibaca sebagai proses untuk tidak melupakan sejarah dan tidak melupakan Sukarno.
Tias Tiara Andrini. Penulis adalah Mahasiswi Universitas Bung Karno, Jakarta.