OPINI  

Pancasila dan Emansipasi Wanita

Pancasila dan Emansipasi Wanita

Pancasila dan Emansipasi Wanita

 Oleh : Ali Royhan Firdaus

Kilatnews.co – Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara sudah final dan mengikat. Meskipun eksistensi pancasila itu sendiri patut untuk dipertanyakan dalam amaliah kehidupan bernegara.

Pancasila seyogyanya menjadi pedoman bagi setiap warga negara di dalam semua lini kehidupan. Pancasila pun sebenarnya merupakan satu dari sekian pilihan untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Mulai dari terorisme, pertikaian, perpecahan, dan kesetaraan gender. Nah, permasalahan yang disebut terakhir, sampai saat ini penyelesaian persoalan tersebut masih berjalan ditempat.

Akhir-akhir ini sering kali terjadi kekerasan berbasis gender dengan motif yang bermacam-macam di Indonesia. Dilansir dari Voaindonesia.com, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan, Rohika Kurniadi Sari menjelaskan bahwa, kesetaraan antara perempuan dan lelaki masih menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Sedangkan dalam catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dijelaskan bahwa sepanjang tahun 2020, terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 299.911.

Dari data di atas, kesetaraan gender di Indonesia haruslah dijadikan isu nasional dan penyelesaiannya pun haruslah berskala nasional. Lantas pertanyaannya sekarang, di manakah titik temu antara Pancasila dan perempuan? Tulisan ini sebisa mungkin memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Membuka Lembaran Sejarah

Bukan lagi rahasia, bahwa Pancasila lahir dalam tidak dalam sekejap mata. Ada proses panjang dalam menggali nilai-nilai dan kebijaksanaan lokal (Local Wisdom) bumi Nusantara dengan segenap kompleksitas didalamnya. Yang kemudian barulah dirumuskan yang namanya Pancasila. Pada saat perumusan tersebut, ada tim khusus yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan dasar Negara, yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Dalam susunan personalia tim ini, juga terdiri dari beberapa perempuan terbaik bangsa. Raden Ayu Maria Ulfah Santoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo adalah dua tokoh perempuan yang juga memiliki peran penting di dalam BPUPKI.

Kemudian dari BPUPKI inilah kelak diputuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Singkatnya, perempuan dan pancasila masih memiliki hubungan historis yang sangat kuat. Sedangkan dalam proses pengamalan nilai-nilai Pancasila, perempuan seharusnya juga mendapatkan keuntungan.

Menelisik Nilai-Nilai Pancasila 

Sejak 2003, berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003, 36 butir pedoman pengamalan Pancasilah telah berubah menjadi 45 butir. Dari hal itu, haruslah diakui bahwa indoktrinasi Pancasila berbeda dengan pada masa Orde Baru. Pada masa itu, seluruh pelajar harus menghafal 36 butir Pancasila. Sedangkan dewasa ini, para pelajar hanya mempelajari Pancasila melalui materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn sesuai amanat kurikulum pendidikan terkini.

Meskipun akses untuk mendalami nilai-nilai agung Pancasila tebilang sempit, tetapi pengamalan nilai-nilainya di dalam setiap gerak kehidupan dalam berbangsa dan bernegara haruslah semaksimal mungkin. Sebab dari setiap sila yang ada, Pancasila menyiratkan berbagai manfaat dan kebaikan kepada seluruh manusia. Termasuk dalam hal kesetaraan gender.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini selalu menekankan agar seluruh bangsa Indonesia selalu berada dalam garis keyakinan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Artinya, setiap warga negara juga harus patuh terhadap aturan agamanya masing-masing. Sedangkan ajaran dari berbagai agama yang ada atau dianut oleh warga Indonesia, tak satupun yang memperbolehkan adanya marginalisasi terhadap perempuan.

Agama Islam, sebagai agama dengan penganut terbanyak di Indonesia, pun melarang kekerasan terhadap sesama. Termasuk terhadap wanita. Bahkan dalam Islam, perempuan diberikan perhatian khusus dengan dijadikan salah satu nama surah dalam Al-Quran.

Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Kalimat dalam sila kedua ini, sangatlah jelas bahwa keadilan harus selalu ditegakkan terhadap setiap manusia Indonesia, baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun yang berjenis kelamin perempuan. Jangan sampai penegakan keadilan terhalang dan ternilai gagal gara-gara ada perbedaan gender.

Beberapa waktu yang lalu, sekolah pascasarjana Universitas Airlangga (UNAIR) menginisiasi pembentukan Center of Women Empowerment in Law Enforcement . Inisiasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai fasilitas untuk mendukung dan melindungi hak asasi perempuan Indonesia. Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Bintang Darmawati, S. E., M. Si., juga turut mengapresiasi inisasi UNAIR tersebut.

Di luar hal itu, Bintang juga mengatakan, “Segela bentuk upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan tidak boleh ditunda lagi. Apalagi, mayoritas kasus kekerasan terhadap perempuan berada pada ranah domestik, tekanan psikologis yang lebih dalam pun semakin menyertai penyitas, terutama dengan berbagai batasan untuk keluar rumah akibat COVID-19,” (Antara News, 30 April 2021). Oleh sebab itu, keadilan berbasis gender haruslah terus digalakkan, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Terlebih pada amanah sila yang kedua.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Bukan suatu rahasia, bahwa Indonesia adalah Negara yang memiliki berbagai perbedaan, dan perbedaan inilah yang sering kali menjadi pemantik perpecahan. Berbagai kasus pelecehan terhadap perempuan sebenarnya juga akan bermuara kepada disintegrasi bangsa Indonesia. Akan tetapi kita sering tidak menyadarinya. Padahal, para pendiri bangsa telah mendeteksi problem ini jauh sebelum negeri ini merdeka. Mereka lalu menghasilkan ideologi yang preventif dalam menanggulangi perpecahan yang disebabkan perbedaan gender, yakni dengan lahirnya ideologi Pancasila.

Saat ini, Pancasila masih relevan untuk dijadikan pegangan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Jika nilai-nilai yang terkandung di dalamnya—terlebih nilai-nilai dalam sila ketiga— bisa kita amalkan dalam kesaharian, maka tidak menutup kemungkinan akan adanya kesetaraan gender yang kemudian akan bermuara kepada persatuan Indonesia.

Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Salah satu dari sepuluh butir yang terkandung di dalamnya adalah “sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama” (Kemenhan.co.id). Patut disyukuri, bahwa saat ini Indonesia memiliki aturan Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-Undang No. 2/2011 tentang Perubahan Undang-Undang No. 2/2008 tentang Partai Politik yang telah mengamanatkan untuk memastikan setidaknya 30% perempuan dicalonkan dalam daftar anggota parlemen.

Akan tetapi, jika kita bandingkan realitas politik ini dengan negara-negara di belahan dunia, Indonesia masih berada pada peringkat ke-89 dari 168 negara, atau tepat berada di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan (Sumber: Inter Parliamentary Union). Data tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia belum seratus persen berhasil dalam mengatasi masalah kesetaraan gender.

Seandainya kita benar-benar mengamalkan butir sila keempat dalam Pancasila, maka tidak aka nada lagi isu-isu ketimpangan dalam perspektif gender. Termasuk dalam ranah politik. Apalagi lagi, secara pelaksanaan Indonesia masih belum bisa berada dalam satu garis lurus dengan peraturan yang berlaku. Artinya, 30% ruang politik yang dimiliki oleh perempuan Indonesia hanya ada dalam aturan, bukan juga dalam pelaksanaan.

Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jelas sudah bahwa keadilan sosial itu tidak hanya difokuskan kepada satu pihak, tetapi harus merata. Pancasil mengamanatkan agar perempuan pun juga harus mendapatkan dan merasakan keadilaan sosial.

Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa salah satu butir dari sila keempat ini juga mengamanatkan bahwa kita harus saling menghormati hak orang lain, yang kemudiaan akan menjadi manifestasi dari keadilan sosial. Jika perempuan Indonesia masih sering merasa dirampas haknya, maka sila keempat ini hambar rasanya. Sudah seharusnya hak perempuan sepenuhnya terpenuhi. Pancasila sudah mengamanatkan sejak jauh-jauh hari agar perempuanpun bisa mendapatkan dan merasakan keadilan.

Akhirnya, Pancasila adalah ideologi warisan dan hasil perjuangan para luhur yang sangat luar biasa. Pancasila bukan hanya sekadar teoritis dan normatif saja, tetapi juga harus diimplementasikan ke dalam kehidupan manusia Indonesia. Mengamalkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memang tidak semudah membolak-balikkan telapak tangan, tetapi juga tidak sesulit membolak-balikkan telapak kaki. Oleh karena itu, mari kita amalkan seluruh amanat para pembangun bangsa yang tertuang dalam Pancasila dengan perlahan.

Jikalau segala amanat tersebut tidak terlaksana, dan masih ada kasus diskriminasi terhadap wanita Indonesia, maka Pancasila hanyalah sebatas nama ideologi saja. Baru ketika kesetaraan sudah benar-benar terpenuhi dengan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila, sah-sah saja jika kita melantangkan kalimat “Pancasila adalah final….” {Wallahua’lam}


Ali Royhan Firdaus. Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.