Jokowi Pakai Pakaian Adat di HUT RI, Fatia Maulidiyanti Sebut Gimik dan Pencitraan
Kilatnews.co – Sejak tahun 2017, Presiden Joko Widodo sering memakai baju adat saat tampil dipanggung resmi seperti rapat tahunan dengan DPR, MPR dan DPD RI serta saat upacara peringatan HUT RI. hal ini dianggap sebagai pencitraan oleh beberapa aktivis seperti Kontras(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
“Saya rasa ini hanya menjadi gimik semata dan pencitraan bahwa Indonesia kaya akan budaya,” kata Fatia Maulidiyanti selaku koordinator Kontras.
Baca Juga:
76 Tahun Indonesia Merdeka, Amnesty Internasional Soroti Kebebasan Berpendapat yang Terancam
Karena selama ini hak masyarakat adat tidak pernah menjadi perhatian serius pemerintah. Ia mencontohkan banyaknya proyek pembangunan pemerintah yang tidak melibatkan publik.
“Baju adat hanya pembungkus badan, tapi Indonesia dibuat sangat jauh dari paradigma pembangunan ala masyarakat adat. Very very superficial (sangat-sangat permukaan),” kata Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, Senin, 16 Agustus 2021. dikutip dari tempo.co
Hingga saat ini Presiden Jokowi belum memenuhi satu pun janji Nawacitanya untuk masyarakat adat. Rancangan Undang-Undang atau RUU Masyarakat Adat, hingga kini belum disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
“Pakai baju adat tapi wilayah adat tetap dirampas dan UU Masyarakat Adat karatan di DPR,” lanjutnya.
Selanjutnya, apa pencitraan itu?
Bagi sebagian orang, istilah citra, terutama sebagai strategi politik masih menjadi kontroversi. Alasannya karena dianggap mengada – ada dan tidak natural serta bisa berbanding terbalik dengan realitas pribadinya.
Pencitraan merupakan proses yang instan dan tidak terlalu berat dilakukan, hanya butuh kekonsistenan belaka. strategi ini dapat mengubah kepribadian asli orang yang disolek untuk mencapai misi yang sedang dituju. istilah kasar dari proyek pencitraan yakni untuk mengelabui persepsi masyarakat tentang kepribadian seseorang dan biasanya alat yang digunakan untuk mendistribusiakan proyek pencitraan adalah media massa seperti koran, televisi dan media sosial lainnya seperti youtube, instagram dsb.
Baca Juga:
Amandemen Terbatas UUD 1945: Pakar, Khawatir Akan Melebar ke Masa Jabatan Presiden
Di Indonesia, proyek pencitraan seringkali berjalan monoton dengan hanya menampilkan satu persepsi yang disukai publik. blusukan, merakyat dan sederhana kerap menjadi tema utamanya karena hal itu dianggap sebagai kebutuhan Psikososial masyarakat. jarang ada proyek pencitraan dengan menampilkan gaya kepemimpinan yang tegas, menawarkan visi – visi yang spesifik dan segar yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Saat ini, pencitraan telah memenuhi ruang interaksi kehidupan masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya, bahkan sudah menjadi tontonan sehari – hari yang sudah berdampingan dengan kita.
Tidak diragukan lagi bahwa politik pencitraan telah menjadi alat terpenting dalam perebutan pengaruh dan kekuasaan. Saat ini, gaya sosialisme yang sebenarnya menjadi semakin ambigu dan tidak jelas dalam perjuangan para (elit penguasa) pemimpin karena perkembangan kuasa uang. sebagaimana istilah bahwa uang adalah raja (uang adalah raja) dan kepopuleran adalah segalanya.
Uang sering dianggap segalanya dan tanpa uang aktivitas tidak jalan. oleh karena itu, tidak diragukan lagi jika kekuasaan adalah ruang penampung kepentingan yang paling relevan dan saat ini paling diperebutkan.
Tulisan sudah tayang di portal argopuroonline.com pada 18/08/21, dengan judul Sejak 2017, Jokowi di Cap Sering Bermain Dengan Bungkus