Esai  

Joko Junaedi, Seniman yang Datang Paling Awal

Joko Junaedi Seniman Paling Awal
Ilustrasi:( Clker-Free-Vector-Images/Pixabay)

Joko Junaedi, Seniman yang Datang Paling Awal

Oleh: FX Endro Tri Guntoro

Suatu waktu, Mei 2002, saya memproduksi teater di Gunungkidul setelah melalui proses latihan bersama dengan kelompok kecil selama tiga bulan. Tahun-tahun itu, istilah teater (Titer- kalau diucapkan lidahnya orang wonosari) membuat banyak dahi berkerut. Tampaknya lebih akrab dengan nama drama. Oke deh, saya menyepakati.

Menggunakan istilah yang lebih merakyat untuk pasar penonton, nggak membuat kami keberatan. Setelah Gladi latihan terakhir, seorang laki-laki memanggil dan menghampiri saya. “Ndro, bajinguk kowe rep pentas ora ngabari. Aku iso ngewangi apa ben pentasmu sesuk sukses. Iki wis mepet,” kata laki-laki memberiku semangat.

Entah dari mana laki-laki yang duduk disudut gedung kesenian, dan mengamati latihan terakhir kami itu mendapat informasi agenda gladi kami. Tapi, saya merasa beruntung kenal dan didatangi laki-laki ini di dua hari sebelum pementasan kami tampilkan.

Karena namanya akrab saya dengar di dunia per-titer-an di Gunungkidul, saya persilakan laki-laki itu memberi evaluasi gladi untuk hal-hal yang masih bisa kami selamatkan, masih memungkinkan untuk kami kejar. Barangkali saja ada peran teman-teman saya masih amat “menganggunya”, atau ngak masuk standar dramaturgi teater realis.
Saya minta dikritik dan dievaluasi, demi penampilan terbaik kami untuk warga Gunungkidul.

Mengejutkan isi evaluasi yang laki-laki itu sampaikan. Khas dengan omongan singkat padat, ceplas-ceplos, dan keras, begini ; “Wis pentas kari sesuk. Maksimalke kabeh daya lan kemampuanmu. Suk eneng wektune awake dewe kudu latihan bareng meneh. Wektune saiki wis mepet, pokoke opo sing dijaluk cangkeme sutradara ini (saya), gatekno tenan, gugunen tenan. Deweke mesti wis nonton seko okeh sudut, timbang kowe (pemain),” pesannya kepada saya dkk junior. Kami tahu, laki-laki ini pemain watak, pandai berkomunikasi, bahasa kasar pintar, krama inggil pun terampil.

Pemantasan malam tiba. Laki-laki itu datang lagi untuk menonton. Koboi itu tidak sendiri. Membawa beberapa anak muda yang tak lagi seusianya. Saya yakin, koboi itu mengerahkan “anak buahnya” agar nonton pentas kami. Agar mau belajar dari pentas perdana kami. Saya sempatkan melihat buku tamu yang hadir. Istimewa. Ada belasan/puluhan penonton beralamat dari Ponjong mengisi buku hadir. Rupanya benar sangkaan saya, koboi itu sangat menghargai kerja keras seniman walau level kami masih Junior. Tak hanya meyaksikan pentas kami sampai bubar. Masuk gedung kesenian menyaksikan pentas kami pun gak mau gratisan. Ia tetap membayar seperti penonton lain. Rombongan Ponjong yang dibawanya tetap membayar tiket yang kami ecer seharga 2.500 per orang. Harga tiket yang mahal tahun itu untuk kelas Gunungkidul.

Jejal Laki-laki koboi itu sudah saya kenal di dunia Per-Titer-An di Gunungkidul ; Joko Junaedi. Kalau soal senior-junior, saya hanyalah cucunya angkatan beliau. Jadi ya harus hormat. “siap mas”, “oke mas”, “iyohh mas”. Begitulah yang bisa kami junior menghadapi senior Joko Junanedi. (Timbang diasok-asokke sansoyo luwih parah – di dunia titer pisuhan sudah nggak bikin tersinggung, apalagi mutung). Pisuhan itu simbol perhatian dan keakraban di dunia kami.

Ia lahir di dunia pertunjukan seangkatan sastrawan, Edi Liris Cakra. Kami sebagai pendatang baru di dunia per-titer-an di Gunungkidul berhasil menemui kedua tokoh itu untuk ngangsu kawruh. Bisa saya gauli. Bisa saja gojeki. Juga bisa saya pisuhi tanpa ada emosi. Saya menggali dongeng sedalam-dalamnya soal titer dan sastra, pada zaman mudanya. Saya membaca alur pengalaman keduanya, zaman produktivitasnya, sampai mengkonfirmasi emosi dan “kenakalannya” mereka para berkesenian. Kedua seniman itu pernah membikin kuping penguasa panas hanya dengan pementasan baca puisi yang dikemas sederhana, diatas tong tepatnya di komplek argosostro pemda pada era Pak Harto berkuasa. Ditengah puisi mereka diturunkan paksa oleh aparat Kodim setempat. Bikin saya ngakak mendengar cerita yang juga dibenarkan PNS Deppen, CB Supriyanto, yang kini Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul.

Itulah Joko Juneadi, seniman yang saya kenal datang paling awal. Ya berproses paling awal dari kami yang tak tuntas-tuntas dalam belajar menyetubui panggung. Mas Joko Junaedi kini pulang lebih awal. Terima kasih selalu menyaksikan pemetasan demi pementasan kami.

Selamat jalan Mas Joko Junaedi. Selamat berjumpa dengan Edi Liris Cakra, juga Bang Amin. Doa teman-teman semua, sampeyan memperoleh Damai dan Bahagia. Kami sengaja tidak mau sedih yang hanya akan membebani langkahmu pulang menghadap Tuhan. Bermainlah “Kereta Kencana” di pintu Surga. Hiburlah orang-orang di sekelilingmu agar mendapat kesempatan yg sama ; Bahagia dan Tertawa.

RIP, Joko Junaedi, seniman teater Gunungkidul