Kilatnews.co – Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sedikitnya ada 544.452 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2004 sampai dengan 2021.
Data diatas selain memperlihatkan tingginya jumlah kasus KDRT selama rentan waktu 2004 s.d. 2021, juga sekaligus menunjukkan bahwa fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia bukan lagi hal baru melainkan sudah berlangsung sejak dulu. Yang mana jika di lihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), jelas KDRT merupakan bentuk tindak kejahatan terhadap harkat dan martabat kemanusian, sehingga tindakan KDRT dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan dan pelakunya dapat dijerat pidana.
Secara konseptual, kekerasan dalam lingkup rumah tangga hampir sama dengan tindak kekerasan pada umumnya di lingkup personal/komunitas. Perbedaannya adalah kekerasan dalam rumah tangga ruang lingkupnya lebih luas, tidak hanya terbatas pada tindakan yang menyerang dan menimbulkan kerugian dari aspek fisik saja, tetapi juga non-fisik.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT didefenisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka 1).
Dari defenisi di atas, jelaslah bahwa pengertian KDRT memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup sebagai berikut:
- kekerasan fisik berupa pemukulan baik dengan tangan maupun benda, penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, pemberian ancaman kekerasan, dan/atau setiap perbuatan yang dapat menyebabkan kematian.
- kekerasan seksual yang didalamnya meliputi pelecehan seksual hingga tindakan memaksa seseorang melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan atau tanpa dikehendaki oleh korban, atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan/atau menjauhkannya dari kebutuhan seksualnya.
- kekerasan psikologis yang meliputi setiap perbuatan dan ucapan yang menimbulkan rasa takut atau cemas, hilangnya kepercayaan diri atau kemampuan untuk bertindak, serta perasaan tidak berdaya.
- kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi seseorang terutama perempuan untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga.
Pada dasarnya KDRT bisa terjadi kepada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Namun umumnya yang banyak menjadi korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga adalah perempuan dan anak-anak.
Menurut catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan yang dirilis pada bulan maret 2021, bahwa sepanjang tahun 2020 ada 299.911 jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), yang mana dari jumlah tersebut sebanyak 8.234 kasus ditangani oleh Lembaga layanan Mitra Komnas Perempuan dan berdasarkan data Lembaga layanan Mitra Komnas Perempuan dari sejumlah 8.234, kasus yang paling menonjol adalah Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal (KDRT/RP) sebanyak 79% (6.480 kasus), diantaranya Kekerasan Terhadap Isteri (KTI) sebanyak 50% (3.221 kasus) dan kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 15% (954 kasus).
Adapun menurut data dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari s.d. Desember 2021, terdapat 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan yang menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), yaitu Ratna Susianawati, sebanyak 73,7 % merupakan kasus KDRT. Khusus kekerasan terhadap anak ada 10.832 kasus yang tercatat dan sebanyak 59,7% didominasi oleh kekerasan seksual.
Dari data-data yang telah diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa korban kekerasan di lingkup rumah tangga masih didominasi oleh perempuan dan anak. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa kaum perempuan dan anak masih menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan, khususnya dalam rumah tangga.
Ada banyak alasan mengapa kaum perempuan dan anak-anak sangat mudah menjadi korban KDRT, diantaranya yang paling umum adalah karena adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban, dimana pelaku lebih dominan dibanding korban sehingga tercipta hubungan subordinasi. Pada titik ini, KDRT tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korban.
Lebih jauh lagi, jika di lihat dari perspektif sosiologi, terdapat sumbangsih sistem nilai yang ikut memicu terjadinya tindak KDRT terhadap perempuan dan anak. Sistem nilai yang dimaksud adalah mengacu pada nilai-nilai sosial-budaya yang hidup dan telah mengakar di masyarakat yang mempengaruhi watak dan perilaku baik pelaku maupun korban di dalam maupun di luar rumah tangga.
Oleh karenanya, rumah tangga dengan suami-istri dan anggota lain yang berasal dari latar belakang sosial-budaya yang berbeda akan sangat rentan terhadap tindak KDRT, apalagi jika mereka tidak mempunyai dan/atau tidak berpegang pada nilai-nilai kearifan budaya local (local wisdom) serta norma-norma sosial yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Di antara sistem nilai yang sangat berkontribusi dalam lahirnya KDRT terutama terhadap perempuan adalah yang berasal dari sistem kekerabatan berdasar garis keturunan, yaitu sistem kekerabatan patrilineal, dimana yang memiliki kekuasaan dan menjadi penentu adalah pihak laki-laki atau ayah.
Selain itu, KDRT bisa terjadi, juga karena konstruksi sosial di masyarakat mengenai perempuan, yaitu perempuan telah dikontruksikan sebagai makhluk nomor dua yang memiliki posisi inferior dibanding laki-laki. Akibatnya, ketika terjadi relasi antara laki-laki dan perempuan, hubungan yang terbentuk adalah tidak setara, sehingga munculah ketimpangan, ketidakadilan, dan diskriminasi terhadap perempuan.
Mengingat bahwa perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan menjadi korban KDRT, maka sudah semestinya mereka diberikan perlindungan melalui instrument hukum dan yang bertanggung jawab untuk hal tersebut adalah pemerintah.
Pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT karena itu adalah hak mereka selaku warga negara, sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dari ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di atas, sangat jelas dan tegas bahwa setiap orang, termasuk perempuan dan anak-anak berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Adapun yang dimaknai sebagai perlindungan hukum adalah suatu upaya melindungi yang dilakukan pemerintah melalui sejumlah regulasi yang tersedia. Sedangkan menurut Philipus M Hadjon, perlindungan hukum adalah perlindungan dari kesewenang-wenangan terhadap harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum.
Merujuk defenisi di atas, maka perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap harkat, martabat, kebebasan, dan berbagai kepentingan yang berkenaan dengan kesejahteraan perempuan dan anak, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi yang dimiliki oleh perempuan dan anak berdasarkan ketentuan hukum.
Apabila mengacu pada pendapat Hadjon, ada dua macam sarana perlindungan hukum bagi perempuan dan anak, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif. Sarana perlindungan hukum preventif berkaitan erat dengan asas diskresi (freies ermessen) sebagai bentuk perlindungan hukum secara umum. Sedangkan perlindungan hukum represif untuk konteks Indonesia ditangani oleh badan-badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus (Philipus 1987 : 10).
Di Indonesia, regulasi yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban KDRT adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Sedangkan khusus mengenai perlindungan terhadap anak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 23/2002) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014) kemudian diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1/2016) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (UU 17/2016).
Adapun salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT adalah dengan menjatuhnya sanksi pidana kepada para pelaku. Namun, tentu tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Perlindungan hukum juga harus diberikan dalam bentuk pelayanan dan penanganan terhadap dampak-dampak negatif yang dialami oleh korban, serta menyediakan fasilitas kesehatan dan layanan konseling psikologi untuk memulihkan kondisi korban yang mengalami penderitaan fisik dan psikis.
Dalam perspektif UU PKDRT, perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT diberikan melalui pengaturan terhadap hak-hak korban, sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UU PKDRT, yaitu korban KDRT berhak mendapatkan (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) pelayanan bimbingan rohani.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa perspektif perlindungan terhadap korban KDRT yang terkandung di dalam UU PKDRT tidak hanya terbatas pada aspek pemidanaan terhadap pelaku, tetapi lebih dari pada itu, termasuk pemberiaan layanan kesehatan dan pendampingan, serta upaya pemulihan korban KDRT sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 UU PKDRT.
Penulis adalah Abd. Rasid G. Ripamole, S.H (Pegiat isu Perempuan dan Anak) sekaligus Alumni Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta