Kritik Kebiasaan, Cara Penilaian Kualitas Bukan Kualitas

Oleh : Agung Wibawanto

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Kritik Kebiasaan, Cara Penilaian Kualitas Bukan Kualitas

KilatNews.Co Apakah yang dinilai oleh lembaga akreditasi hanya urusan administrasi semata? Ini bagian dari fenomena lembaga standarisasi (penilai), bahwa yang dinilai hanya soal kelengkapan berkas-berkas, dan bukan soal bagaimana praktiknya.

Saya jadi teringat di saat melakukan monitoring dan evaluasi (monev) untuk program agro forest yang disupport oleh UNDP di wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumsel dan Lampung) beberapa tahun lalu.

Sebagai lembaga donor, UNDP telah menyiapkan tool termasuk standarisasi penilaian, yang pada kebanyakannya mensyaratkan soal kelengkapan administrasi. Mulai dari pencatatan keuangan, penyusunan laporan (progress report), daftar kehadiran, foto dan dokumen lainnya.

Komunitas masyarakat pengguna dan penerima bantuan pun dengan antusias mempresentasikan “hasil” program dengan menyiapkan dan menunjukkan bukti berupa berkas hingga bertumpuk-tumpuk. Apa yanng bisa dibuktikan oleh berkas-berkas tersebut?

Kertas dan laporan yang bagus sesungguhnya tidak bernilai apa-apa untuk mengetahui apakah program berhasil atau tidak? Dokumen hanya sebagai kelengkapan dari hasil yang sesungguhnya yakni di lapangan. Laporan dan dokumen dapat saja dibuat, namun “lapangan” sulit untuk dibuat-buat.

Cobalah dilihat dan dinilai bagaimana komunitas masyarakat tersebut menyelenggarakan pertemuan warga; bagaimana masyarakat berpartisipasi; bagaimana cara pengurus mengatasi masalah; bagaimana membangun akses dan jaringan; bagaimana dampak langsung yang dirasakan masyarakat dari hasil program, dan sebagainya.

Kemampuan seseorang dari praktik langsung ini yang tidak bisa direkayasa melalui pelaporan ataupun persyaratan administrasi lainnya. Sebaliknya, tipikal lembaga standarisasi hanya menilai dari kelengkapan administrasi. Mereka seperti tidak ingin dilelahkan oleh blusukan ke lapangan (melihat praktiknya).

Waktu yang seharusnya dimanfaatkan untuk “blusukan” justru digunakan untuk “jalan-jalan”. Permintaan jalan-jalan ini dengan senang hati difasilitasi oleh lembaga yang akan dinilai. Semacam saling mencari keutungan, Tim Penilai ingin difasilitasi, sementara lembaga yang dinilai ingin mendapat nilai yang baik.

Petugas penilai menjadi semacam orang yang sangat berkuasa sehingga bisa memanfaatkan kekuasaannya tersebut. Sementara lembaga yang dinilai menganggap hidup matinya mereka berada di tangan si petugas penilai. Terjadilah apa yang disitilahkan “kong-kalikong”.

Tradisi, metode dan tool evaluasi semacam ini sudah harus dirubah. Praktik di lapangan harusnya menjadi fokus utama dibanding dengan bentuk dan isi laporan (report). Kelompok sasaran program harus menjadi subyek utama dalam penilaian hasil program (bukan hanya pengurus).

Terakhir, Tim Penilai tidak seharusnya difasilitasi secara berlebihan. Terkadang sebuah lembaga akan tampak sibuk dan kemudian mengada-adakan segala “kebutuhan” yang kiranya diinginkan oleh Tim Penilai. Di akhir, tercatat lembaga “nombok” akibat memfasiltasi yang berlebihan.

Catatan ini dimaksudkan agar setiap lembaga benar-benar mendapat penilaian yang seobyektif mungkin. Tidak instan dan tidak hanya di atas kertas. Keberlangsungan sebuah lembaga yang dinilai baik secara instan dan hanya di atas kertas tadi, hanya akan berlangsung sesaat.

Sama juga ketika kita menilai seorang anak hanya dari sisi administrasinya saja (nilai raport, hasil ujian, dsb), maka sifat penilaian belumlah komprehensif (menyeluruh). Sering kita mengklaim seorang anak itu baik, karena dia juara di sekolahnya, namun perilakunya sangat buruk, intoleransi, angkuh dan sombong.

Mungkin ini memang pilihan, ingin dinilai baik di atas kertas saja atau baik yang senyatanya?

Reporter: KilatNews

Tag