Kilatnews.co Tengah viral beberapa hari ini video Gibran mengajak makan wartawan peliput di Solo. Dalam video terlihat Gibran yang tengah keluar gedung (infonya mengantar dubes UEA), sempat melihat ke arah depan di mana wartawan tengah berkumpul di luar pagar. Gibran pun melambai kepada wartawan.

 

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Mengapa Gibran Selalu Menjawab "Biasa Aja"?

Selang beberapa menit, Gibran ditemani Kapolda Jateng tampak menghampiri wartawan dan menyapa. “Kita makan dulu ya. Wawancaranya nanti. Tapi tidak pakai kamera lho, ya. Tenan ya. Punya ID semua to?” Ucap Gibran dan disetujui para kuli tinta. Mereka pun diajak ke dalam untuk menikmati hidangan makan siang.

Di saat menyantap dan sebagian sudah selesai, Jokowi pun muncul tidak ketinggalan turut menyapa para jurnalis dan mempersilahkan makan. Jokowi tampak tersenyum lalu kembali ke dalam ruangan. Sampai di situ, ada yang aneh? Dibilang ada, ya ada. Tapi dibilang biasa juga bisa. Tergantung bagaimana persepsi kita melihatnya.

Namun memang dapat dipastikan, kejadian itu adalah sebuah peristiwa langka. Jarang terjadi dan hampir tidak mungkin. Pertama, Gibran yang putera presiden dan juga seorang walikota, mendatangi wartawan di luar pagar lalu mengajak mereka makan. Dalam sejarah peliputan yang saya alami, memang beberapa kali kita diajak makan.

Namun yang menyuruh atau mengajak bukan tuan rumah (pejabat), melainkan ajudan ataupun petugas catering nya. Apalagi harus menghampiri berjalan kaki panas-panas ke luar pagar. Apa yang dilakukan Gibran langka. Bisa saja dia menyuruh ajudannya, ataupun aparat yang ada di situ untuk menyuruh wartawan makan. Mengapa dia harus capek-capek?

Peristiwa ini bukan setingan. Melainkan ada seorang wartawan yang sudah stay on cam videonya lalu merekam. Apa yang dilakukan Gibran ini sesungguhnya sudah sering dilakukan. Sesuatu yang tadi, kita anggap langka dan aneh. Bahkan tidak sedikit yang memuji luar biasa. Mengapa? Tapi coba tanyakan bagaimana tanggapan Gibran sendiri?

Dia pasti akan menjawab, “Biasa aja,” dan akan selalu menjawab begitu. Karena baginya itu hal yang biasa dan sering dilakukan. Jadi dia akan menganggap bahwa semua orang juga akan melakukan itu atau, bisa melakukan itu. Bukan sesuatu yang istimewa ataupun luar biasa. Inilah yang perlu dicatat bahwa jika sudah terbiasa, maka apapun itu ya biasa saja. Berbuat baik itu biasa saja.

Bahkan mungkin (tapi saya yakin), bahwa Gibran sempat lupa dia anak presiden dan seorang walikota, makanya dia berbuat itu. Mungkin dia masih terbiasa sebagai orang atau rakyat biasa. Atau, ya baginya anak presiden dan jabatan walikota itu bukan apa-apa. Bukan kemudian dia berubah menjadi sombong. Perhatikan saja dia tetap beri hormat kepada yang lebih tua.

Berbahasa Jawa tidak ketinggalan, karena dia biasa basa Jawa. Santun dalam berbicara. Pokoknya ya plek dengan bapaknya, Jokowi. Hanya saja kalau Jokowi versi jadul, maka Gibran adalah versi milenial. Jadi sekali lagi, bagi Gibran adalah hal yang biasa saja, dan semua orang pun bisa melakukannya. Dan sudah seharusnya melakukan yang sama.

Hanya saja bagi halayak awam, memang sudah jarang kita temui praktik-praktik penuh kesantunan, bersahaja, dan ramah dari orang di sekitar. Kadang kita punya tetangga baru kaya dikit saja sudah songong minta ampun. Atau kita sendiri malas menghormati orang yang lebih tua, kecuali dishooting. Apalagi untuk tingkat pejabat dan keluarga pejabat. Kadang banyak yang lebih jutek lagi.

Jadi karena kelangkaan ini maka ketika melihat Gibran melakukan itu, kita pun menjadi salut padanya. Janganlah pejabat, kita sendiri saja belum tentu bisa dan mau melakukannya. Coba saja kita terbiasa melakukan hal yang sama, tentu perilaku Gibran ya memang biasa aja, persis seperti yang dikatakan Gibran sendiri. Nah, apakah kita mau bersikap seperti itu juga, atau tetep aja semau gue?

Reporter: KilatNews