Analisis Ade Armando: Dinasti Politik Tak Patut Didewakan

Oleh : Yuniar Riza Hakiki

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Analisis Ade Armando: Dinasti Politik Tak Patut Didewakan

SAYA mencermati telaah Ade Armando terhadap isu “Jokowi membangun dinasti” dengan fakta pencalonan Gibran dalam Pilkada Solo memperoleh gambaran bahwa fakta-fakta yang mengemuka mengenai pencalonan Gibran sebagai calon walikota solo, belum tentu karena niat dan tindakan Jokowi untuk membangun dinasti dalam pemerintahan. Ade mencoba untuk membuktikan justifikasi publik bahwa Jokowi membangun dinasti, melalui bangunan elemen-elemen fakta yang ada.

Untuk membuktikan justifikasi publik tersebut, Ade pun memaparkan fakta-fakta lain bahwa yang sebenarnya mencalonkan Gibran itu bukan Jokowi. Melainkan DPP PDIP (partai politik yang juga pengusung Jokowi). Ade memaparkan juga alasan politik DPP PDIP mencalonkan Gibran.

Baca Juga:

Hak Politik dan Nasib Demokrasi

Salah satu pertimbangannya adalah lantaran dalam kontestasi elektoral, faktor utama yang dibutuhkan untuk memenangkannya adalah popularitas, sehingga Gibran dinilai sebagai sosok yang sangat tepat. Karena logikanya sederhana, kalau mau memenangkan Pilkada maka calonnya harus yang populer di mata publik, sehingga ia akan terpilih. Logika dan kalkulasi politik itulah yang memungkinkan seorang Gibran sebagai putra sulung Jokowi maju dan dicalonkan dalam Pilkada Kota Solo di tahun 2020 ini.

Dalam analisisnya soal dinasti politik, Ade mengaitkan isu dinasti dengan praktik-praktik elit politik lainnya. Sebagaimana terjadi pada keluarga Megawati Soekarno Putri dengan ananda Puan Maharani, keluarga SBY dengan ananda AHY, serta praktik dinasti di AS pada keluarga Kennedy.

Dalam logika politik-kultural, mengader dan mengusung keluarga dalam perpolitikan dan pemerintahan merupakan hal yang paling mudah. Hal itupun sangat memungkinkan prospeknya dibanding mengader atau mengusung orang lain, karena belum tentu dikenal dan belum menjamin prospeknya. Coba kita lihat pola masyarakat tradisional di Indonesia, kecenderungan untuk membangun kekerabatan (yang bernama keluarga besar) senantiasa terjadi, bahkan hingga saat ini.

Ekspansi kekerabatan (keluarga besar) itupun, biasanya tidak sebatas untuk kepentingan kultural semata. Melainkan hingga pada bisnis-bisnis, bahkan masuk pada berbagai sektor lembaga pekerjaan.

Biasa pula kita mencermati model “rekomendasi” untuk mendaftar pada suatu pekerjaan, perguruan tinggi, atau suatu jabatan yang relatif diberikan kepada orang yang sudah dikenal dan dekat (termasuk keluarga). Hal demikian merupakan fakta yang sudah lumrah, karena logikanya adalah “tidak mungkin memberikan rekomendasi kepada orang yang tidak dikenal, pun daripada memberikan rekomendasi kepada orang lain, mengapa tidak untuk keluarga?”

Fenomena dinasti politik Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari berbagai elemen dan konteks yang memengaruhinya. Yaitu budaya (kultur) masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kekerabatan, serta kalkulasi dan logika politik yang paling memungkinkan untuk memenangkan suatu kompetisi elektoral, karena misi partai politik dalam elektoral memang adalah meraih kemenangan untuk kemudian mengendalikan kekuasaan/memerintah.

Baca Juga:

Tunduk-Menanduk di Tubuh Demokrat

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa dinasti politik dengan logika dan analisis demikian tentu tidak patut untuk dipersalahkan dan tentunya juga tidak patut untuk “didewakan”. Karena yang paling penting dalam konteks implementasi sistem politik (demokrasi) kita adalah bagaimana memilih dan menempatkan pejabat (pemimpin) yang akan duduk mengendalikan pemerintahan adalah pejabat yang sesuai dengan harapan (apakah itu pejabat yang cerdas, kompeten, berintegritas, berakhlaq) sehingga dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Keinsyafan politik masyarakat sekarang tengah di uji, sejauhmana masyarakat mampu mencermati fenomena politik dalam pemilihan kepala daerah. Jika masyarakat menilai pencalonan keluarga Presiden (termasuk Gibran) layak untuk diterima dan dipilih, tentunya itu pilihan politik. Dengan tidak semestinya juga mendewakannya, dan menutup peluang terhadap calon lain untuk maju dan terpilih. Namun, apabila masyarakat berpendapat bahwa pencalonan Gibran sebagai upaya petahana Presiden dan Partai Politik untuk membangun dinasti politik, tentunya juga jangan pula dipersalahkan.

Yuniar Riza Hakiki. Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII)

Reporter: KilatNews