Bancakan Keistimewaan : Peringatan 9 Tahun Keistimewaan Yogyakarta
Kilatnews.co- Tanggal 31 Agustus 2012 merupakan hari lahir keistimewaan Yogyakarta, ditandai disahkannya UU Keistimewaan Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2012, yang ditandatangani oleh Presiden waktu itu Susilo Bambang Yudhono.
Bagi masyarakat, Keistimewaan yang dianugerahkan kepada Yogyakarta merupakan suatu hal yang sudah seharusnya dimiliki oleh Yogyakarta. Hal ini dilandaskan pada kekhasan nilai–nilai serta perjalanan sejarah Yogyakarta dari masa lampau. Masyarakat Yogyakarta memiliki perasaan bahwa dengan pemerintahan turun temurun yang sudah ada sejak lama di Yogyakarta ini, dapat menciptakan kedamaian dan ketentraman.
Tak salah kalau masyarakat memberikan dukungan besar terhadap disahkannya UU Keistimewaan tersebut. Selain itu, masyarakat juga berharap akan semakin sejahtera. Sebab adanya UU Keistimewaan Pemerintah Daerah DI. Yogyakarta (DIY) dapat mengoptimalkan peran serta potensi sumber daya yang ada seluas–luasnya bagi kemakmuran rakyatnya.
Pemerintah DIY memiliki kewenangan khusus untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahannya. Kewenangan khusus selain terkait penetapan kepala daerah yang dimaksud adalah kelembagaan pemerintahan daerah secara khusus, pengaturan pertanahan secara otonom, dan kewenangan khusus dalam urusan kebudayaan daerah.
Menyangkut urusan pertanahan, Keistimewaan DIY diharapkan dapat menjadi instrument perwujudan Takhta untuk Kesejahteraan Rakyat. Dimana perombakan pengaturan tanah di Yogyakarta diharapkan dapat menata ulang penguasaan dan kepemilikan tanah yang selama ini menjadi problem utama tersendatnya Reforma Agraria.
Dalam perjalanannya, praktek penerapan UU Keistimewaan DIY malah jauh dari yang diharapkan. Kewenangan pengaturan pertanahan yang dimiliki oleh pemerintah DIY malah bukan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Tanah–tanah yang mulanya ditempati oleh rakyat Yogyakarta, justru diambil alih oleh pemerintah DIY dan diperuntukkan untuk kepentingan lainnya. Dengan dalih menjaga dan mengembangkan kebudayaan, UU Keistimewaan secara tidak langsung melegitimasi kembali lahan eks-swapraja yang membentang luas di seluruh wilayah DIY.
Pada kasus lain, tanah kas desa yang menjadi sumber pendapatan desa, bahkan juga tidak luput diklaim sebagai bagian dari tanah eks-swapraja karena dianggap bersumber dari Kesultanan dan Kadipaten. Bahkan melansir dari tirto.id hingga tahun 2016 saja, sudah 20 konflik lahan yang diakibatkan karena penerapan Perdais Pertanahan sebagai turunan UU Keistimewaan.
Dalam situasi pandemi COVID–19 ini, peran Keistimewaan DIY sangat diharapkan oleh Masyarakat DIY khususnya warga masyarakat pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja sektor informal. Pandemi berikut kebijakan penanganan yang diterapkan oleh pemerintah, terkesan mengabaikan hajat hidup mereka.
Pada masa Pandemi, mereka harus kehilangan sumber penghasilannya karena kebijakan pembatasan mobilitas sosial dalam rangka pengentasan penyebaran COVID–19. Lebih buruknya lagi, mereka tidak diberikan jaminan hidup oleh pemerintah sedangkan kebutuhan sehari-hari mereka mau tidak mau harus dipenuhi.
Alhasil, banyak di antara masyarakat pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja informal harus terjerat pinjaman bahkan diantaranya mengambil jalan nekad meski ancamannya penjara. Pada kondisi seperti ini, Pemda DIY seharusnya dapat memaksimalkan peran dan kewenangannya dalam mengatasi krisis yang dialami masyarakatnya. Keberadaan Dana Keistimewaan seharusnya dapat dialokasikan untuk bantuan sosial tunai bagi masyarakat terdampak pandemi COVID– 19.
Sedari awal Pandemi, masyarakat berharap Dana Keistimewaan dapat direfocusing oleh Pemda DIY sebagai instrument anggaran meringankan dampak Pandemi. Pada tahun 2021, Dana Keistimewaan sebesar Rp1,3 triliun diharapkan dapat meringankan penderitaan masyarakat DIY di tengah pandemi ini, ternyata jauh api dari panggang.
Menurut Jogja Corruption Watch (JCW) pada keterangannya kepada media (8/7), “Sejauh ini danais justru digunakan untuk membangun sesuatu yang monumental seperti pemasangan pagar di Alun-Alun Utara dan tembok benteng Keraton. Pembangunan dilakukan di tengah pandemi COVID–19.”
Pembangunan pagar Alun-Alun Utara Rp 2,3 miliar, dan tembok benteng Keraton senilai Rp4,8 miliar. Belum lagi pembelian Hotel Mutiara Rp170 miliar, pengadaan tanah bekas kampus STIE Kerjasama Rp150 miliar. Kemudian pembangunan jembatan Lemah Abang Rp60 miliar dan kamar mandi bawah tanah di depan Bank Indonesia Jalan Senopati Jogja Rp 5,7 miliar. Belum proyek revitalisasi Masjid Gede Kraton, pengecatan Panggung Krapyak dan lain sebagainya. Kesannya Pemda DIY tidak memiliki rasa empati terhadap rakyatnya sendiri yang tengah mengalami masa–masa sulit.
Adapun program bantuan hibah koperasi, aksesibilitas dan efektifitasnya patut dipertanyakan. Bantuan hibah koperasi dengan syarat dan ketentuan yang diberlakukan, jelas sangat menghambat masyarakat pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja informal. Sebab hampir sebagian besar dari mereka tidak ikut sebagai anggota koperasi. Tidak hanya itu, dalam pelaksanaannya, hibah koperasi tersebut nantinya akan diberikan kepada anggota dalam bentuk pinjaman bukan bantuan sosial tunai. Padahal masyarakat membutuhkan bantuan sosial tunai sebagai alat pemenuhan hidup sehari-hari.
Atas dasar kondisi tersebut, kami dari Forum Warga Yogyakarta yang terdiri dari berbagai paguyuban/komunitas pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja informal mengadakan Bancakan Keistimewaan sekaligus merefleksikan kembali manfaat keberadaan UU Keistimewaan yang sudah 9 tahun berjalan ini bagi masyarakat Yogyakarta. Apakah benar- benar keberadaannya memberikan kemanfaatan bagi masyarakat serta rakyat, atau justru sekedar dijadikan Bancakan oleh Para Pejabat dan Koleganya. Melalui Aksi Bancakan Keistimewaan ini pula, kami menuntut Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk :
- Menangani Pandemi COVID – 19 dengan berdasar pada UU Karantina Kesehatan;
- Memberikan Bantuan Sosial Tunai yang mudah diakses oleh seluruh kalangan masyarakat terdampak Pandemi COVID – 19;
- Mengalokasikan Dana Keistimewaan DIY untuk Bantuan Sosial Tunai bagi masyarakat pelaku usaha kecil, PKL dan pekerja informal di
FORUM WARGA YOGYAKARTA
Paguyuban Pedagang Pakuncen | Perkumpulan Pedagang Sunday Morning UGM | Paguyuban Pedagang Pasar Malam Yogyakarta | Komunitas PKL Depan Panti Rapih | Paguyuban Pedagang Foodcourt UGM | Paguyuban Pedagang Selokan Mataram Klebengan | Paguyuban Ngudi Mulyo GOR Klebengan | Paguyuban Pedagang Kuliner Klebengan | Kelompok Pengusaha Kecil Selokan Mataram | Asosiasi Pengusaha Warung Kopi Yogyakarta | Aliansi PKL UGM | Paguyuban Pedagang TKP Abu Bakar Ali | Paguyuban Pedagang Kuliner Handayani Malioboro | PPKLY Unit 10 Trikora | Paguyuban Pedagang Alun Alun Utara | Paguyuban Pramuwisata Taman Sari Yogyakarta | Front Perjuangan Pemuda Indonesia