Aku adalah anak yang lahir tepat mendekati kejatuhan pemimpin diktator Indonesia, Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Hari ini 16 Mei 2021, usiaku sama usianya dengan gerakan Reformasi 1998.

Merefleksi diri sendiri diumur 23 tahun ini, wajib untuk dilakukan sebagai anak reformasi. Melalui perenungan panjang bahwa perjalanan kehidupan yang telah ku lalui ternyata banyak mengalami kegagalan selama beberapa tahun ini. Melalui kesadaran yang sama, kegagalan diri penulis tidak jauh berbeda atau bahkan nyaris sama dengan kegagalan gerakan reformasi 1998, manakala kegagalan itu dilihat dari berbagai kaca mata dan pilar kehidupan bernegara.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Hadiah 23 Tahun Reformasi; Telaah Kelembagaan Negara

Secara hukum, politik, sosio-kultur Indonesia belum mampu mewujudkan tatanan yang domokratis. Dalam pilar hukum dan politik, gerakan reformasi tidak secara jelas memberikan satu formasi utuh terkait dengan proses dan jalannya pemerintahan di Indonesia. Dengan kata lain, amendemen konstitusi atau UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih perlu ditinjau kembali.

Demikian pula dengan pilar ekonomi dan sosio-kultur Indonesia. Pakem yang terbangun dari eko-sosial-kultur belum secara mandiri mampu dirumuskan berdasarkan pada konsidi dan realitas yang ada di Indonesia atau belum berani untuk menjadi bagian dari pasar yang menjadi tempat strategis untuk membangun kehidupan yang lebih sejaterah. (baca:pitutur dan kekuatan gaib, jurnal Yayasan KLIK, 2000-2001).

Berbicara gerakan reformasi yang paling mengambang dipermukaan, ialah klaim keberhasilan akan penataan kembali kedudukan dan kewenangan lembaga-lembaga Negara secara sejajar dan mandiri satu sama lain. Namun, jika ditinjau secara serius masih terdapat adanya berbagai persoalan, baik terkait penafsiran kewenangan yang diatur dalam UUD 1945, Hak prerogratif  presiden, Penerapan  multi-partai diatas sistem presidensial, serta kewenangan yang saling mempengaruhi berimplikasi pada ketidakjelasan kewenangan antara lembaga Negara. Bahkan membuahi format pemisahan kekuasaan Negara menjadi semakin kabur.

Pada nafas ini, untuk mengulas lebih terarah penulis akan focus pada kelembagaan negara  dan gerakan reformasi yang semestinya sudah membawa bangsa ini menuju cita-cita Indonesia meredeka.

Kewenangan Lembaga Negara Dalam Sistem Presidensial

Secara teoritik pembatasan kekuasaan merupakan salah satu ciri pokok nagara hukum. Hal tersebut sejalan dengan adanya konstitusi sebagai hukum dasar atau doktrin bernegara. Menukil pendapat Ni’Matul Huda bahwa salah satu unsur terpenting dari negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan dalam negara. Selanjutnya ia memaknai pemisahan kekuasaan adalah sebagai dokrtin konstitusional atau konsep pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (baca: Ni’Matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, 2016)

Berbicara pembatasan kekuasaan sampai dengan hari ini selalu dinisbatkan pada  doktrin pemisahan kekuasaan (Trias Politika) yang digagas oleh Montesquieu, yaitu untuk menghindari pemusatan kekuasaan atau kesewenangan-wenanggan kekuasaan, maka perlunya pemisahan kekuasaan dalam tiga organ atau lembaga negara, diantaranya lembaga Legislaif, Eksekutif, dan Yudikatif. Konsekuensi logisnya adalah adanya kewenagan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga negara terpisah satu dengan yang lain. (Baron de montesquieu, the spririt  of laws terjemahan M. Khoiril Anam, 2007).

Dengan demikian sudah menjadi sebuah keharusan dari negara-negara yang menganut sistem presidensil bahwa kewenangan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif berbeda dan terpisah, yakni kewenagan legislatif adalah membentuk undang-undang; eksekutif melaksanakan undang-undang; dan yudikatif berwenang untuk mengadili pelanggaran terhadap undang-undang. Dalam hal ini adalah sebagai bentuk dari hubungan terpisah lembaga-lembaga negara didalam sistem presidensial.

Jadi dalam negara-negara yang pemerintahannya menganut sistem presidensial maka hubungan lembaga-lembaga negara semestinya terpisah satu sama lain, yang berakibat melahirkan kewenagan yang terpisah pula.  Dan, dalam doktrin Trias Politika monstesquieu ini banyak memengaruhi negara Amerika Serikat yang pemerintahannya adalah presidensil. Menurut ismail suni, Amerika serikatlah satu-satunya negara yang secara konsekwen melaksanakan teori Monstequieu itu. ( Ismail Suni, 1978).

Indonesian sendiri yang menjadi salah satu dari negara yang juga menganut sistem pemerintahan presidensial semestinya melaksanakan teori pemisahan kekuasaan, sebagaimana negara-negara yang secara konsekuen menerima dan melaksanakan doktrin triaspolitika dengan mekanisme yang telah menjadi ciri dari ajaran tersebut. Artinya bahwa lembaga-lembaga negara yang ada dalam sistem pemerintahan di Indonesia seharusnya mempunyai format yang jelas terkait dengan hubungan antara lembaga-lembaga negara..

Terutama ialah hubungan lembaga-lembaga negara yang nantinya berdampak pada kewenangan masing-masing yang dalam hal ini ialah bagaimana kewenangan pembentuk undang-undang dari legislatif yang seharusnya secara mandiri mempunyai kewenangan yang tidak dapat diikutsertakan oleh lembaga negara yang lain, atau dengan kata lain tidak dapat diintervensi oleh lembaga eksekutif maupun lembaga yudikatif.

Pada masa Orde Baru (Orba) format pemerintahan yang demikian tidak terlihat, bahkan tidak pernah mendapat tempat pada  waktu itu. Oleh karena itu, sikap politik publik mengkristal dalam gerakan reformasi. Dan gerakan reformasi sering dialamatkan memberikan perubahan yang paling fundamental dalam kehidupan bernegara dengan dalil menata kembali kedudukan dan kewenangan lembaga-lembaga negara sehingga secara kontiniue berimplikasi pada aktivitas politik lembaga negara itu sendiri.

Dalil-dalil itu dapat dilihat dalam gagasan-gagasan efioria dari para akedemisi dan ahli hukum. Misalkan yang disampaikan oleh Jimly Assidiqqie bahwa “Seteleh perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terjadi pergeseran kekuasaan substansif dalam kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentuk Undang-Undang itu dari tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)” (Jimly Asshidiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, , 2016,  h.134). juga oleh Sutta Damasaputra dalam harian kompas berjudul reformasi legislasi setegah matang, 18 Mei 2006 yang mengatakan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni pasal 20 ayat (1) telah menggeser bandul kekuasaan  pembuatan undang-undang dari eksekutif ke legislatif.

Akan tetapi, praktek ketatanegaraan dan politik di indonesia mala terbalik dari narasi eforia tadi, dimana format kekuasaan lembaga negara yang semestinya terpisah satu sama lain dan berdiri secara otonom atau mandiri, namun, kenyaatannya berbeda. Tatkala para ‘cukong’ dan elite oligarki masih hidup dan berkuasa dalam birokrasi negara.

 

Melebarnya Kewenangan Presiden dan Sengketa Lembaga Negara Sebagai Kegagalan Reformasi

Sekali lagi, dalam pembahasan tentang kewenangan lembaga negara, maka dapat dilihat dalam UUD 1945. Kewenangan lembaga negara dalam negara demokrasi tentunya diperoleh melalui suatu sistim pemililihan umum, sebagaimana diketahui bahwa pemilihan umum merupakan suatu agenda politik ketatanegaraan untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan lembaga negara.

Dalam pelaksanaan pemilu partai politik menjadi peserta pemilihan umum dengan sistem majemuk (multi-partai). Dimana pemilihan umum merupakan sumber perolehan mandat, pergantian kekuasaan, penegakan hukum, dan adanya perlindungan hak asasi manusia sebagaiman dapat dipraktekan dalam agenda pemerintahan pasca pemilihan umum.

Agar dapat mempraktekan sumber legitimasi yang diperoleh dalam pemilihan umum, pada negara demokrasi. maka akan diberlakukanlah pembagian dan pemisahan kekuasaan lembaga negara yang nantinya menentukan bagaimana hubungan diantara lembaga-lembaga negara itu dalam pelaksanaannya. Termasuk didalamnya tentang bagaimana kekuasaan presiden terkait dengan pembentukan undang-undang.

Dalam hal kekuasaan pembuat undang-undang presiden juga dapat melaksanakan kekuasaannya yang juga begitu luas. Seperti yang dipahami oleh Bagir Manan, Presiden turut berbagi kekuasaan dengan badan legislatif dalam membuat undang-undang. ( Bagir Manan,  Lembaga Kepresidenan ). Disamping itu presiden berwenang membuat perarturan pengganti perundang-undangan sendiri baik atas dasar kewenangan mandiri maupun yang didasarkan pada pelimpahan dari undang-undang, dalam sistim ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan hararki perundang-undangan didalamnya juga mengatur tentang peraturan presiden merupakan sumber hukum formil.

Dalam perkembangannya, Indonesia merupakan suatu sistim pemerintahan dimana eksekutif yang kuat dapat berimplikasi pada bagaimana pelaksanaan sistem presidensial yang jika tidak sejalan dengan ciri-ciri dari sitem tersebut dapat dikatakan inheren.

Jika menilik pada konstitusinya atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif, masing-masing mempunyai hak inisiatif dalam hal untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Meskipun kewenangan pembentukan undang-undang diketahui hanya dimiliki oleh lembaga Legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi kedudukan presiden sebagai lembaga eksekutif juga memiliki kewenangan untuk mengajukan RUU. Maka dari itu RUU harus mendapatkan persetujuan bersama antara legislative dan eksekutif. Kendati peran dominan dalam praktik ketatanegaraan Indinesia memberikan peran sangat dominan terhadap lembaga eksekutif.

Dalam praktek ketatanegaraan dan politik Indonesia kita melihat dimana kedudukan eksekutif begitu dominan (eksekutif heavy). Kendati demikian, dibeberapa waktu yang lalu hal tersebut baru saja terlihat pada saat pengusulan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibuslaw), meski ditentang oleh berbagai kalangan dan cacat secara prosedural berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tetapi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan dengan dalil merupakan inisiatif pemerintah.

Dominasi eksekutif juga terlihat dalam hal mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), meski dalam prakteknya PERPU hanya akan diterbitkan menjadi undang-undang manakala dalam rapat parpurna DPR mendapat persetujuan bersama, namun dalam perkembangan politik hukum di Indonesia pada umunya PERPU selalu diterima dalam sidang DPR.

Sepanjang perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia,  PERPU mendapat respon positif atau berjalan mulus tanpa hambatan dalam sidang DPR dan disahkan sebagai undang-undang, meski mendapat keamanan dari berbagai pihak misalnya; Peratruan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang keungan negara dan stabilitas sistem keungan negara, yang selanjutnya disahkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang peraturan pemerintah pengganti undang-undang  penetapan pengganti peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang kebijakan keungan negara dan stabilitas sistim keungan negara. Penengan covid-19.

Dengan adanya fenomena demikian tentang format kekuasaan lembaga negara dapat dipahami bahwa Lembaga-lembaga negara sering mengalami tumpang-tindih (overlapping) kewenagan atau bahkan terjadi sengketa diantara lembaga-lembaga negara itu sendiri, penyebabnya dapat dari berbagai variabel.

Saldi Isra dalam bukunya Pergeseran Legislatif memberikan beberapa indikator, seperti; Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 NRI, kehadiran lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, dan “Masalah lain yang sangat mengemuka, sistem presidensial Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 NRI dibangun diatas sistem kepartaian majemuk (multipartai)”

Sistem kepertaian mejemuk (multipartai) memang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem presidensial, misalkan pada lembaga-lembaga negara yang secara konstitusional telah diberikan kewenangannya. tetapi dalam melaksanakan kewenangannya terdapat berbagai interfensi atau pengaru lain dari lembaga-lembaga negara yang lain melalui penerapan sistem multipartai, salah satunya misalkan kewenagan pembentukan perundang-undangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang dalam hal ini sulit menjalankan kekuasaan atau kewenangannya tanpa adanya pengaruh lain. kesulitan ini, menajadi faktor yang sangat tidak sejalan dengan bagaimana atau apa yang diketahui dari ciri-ciri sistem pemrintahan presidensial.

Terkait dengan penerapan sistem presidensial diatas sistem multi-partai, Saldi isra berpandangan bahwa; bila mayoritas anggota legislatif menentukan pilihan politik yang berbeda dengan presiden, sering kali sistem prsidensial terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government) antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif. Biasanya, dukungan legislatif makin sulit didapat jika sistem presidensial dibangun dalam sistem multipartai.

Dengan demikian dalam sistem pemerintahan di indonesia yang menganut sistem multi-partai, minimal dalam sistem multipartai tersebut seharusnya ada format pencalonan presiden yang lebih dari dua orang atau kejelasan antara partai politik yang menajadi koalisi dengan partai politik yang oposisi, sehingga dapat membedakan dan adanya fungsi partai politik jika terjadi kesewenagan-wenangan kekuasaan.

Jadi antara satu lembaga negara dengan lembaga negara yang lain, manakala terjadi dominasi diantaranya maka yang terjadi adalah sengketa lembaga negara tersebut. Seperti misalnya adanya dominasi eksekutif (eksekutif haevy) dalam ketatanegaraan, maka yang terjadi adalah perluasan kewenangan eksekutif yang malah mencederai penlaksanaan pemisahan kekuasaan (triaspolitica) dalam sistem presidensial.

Sebagaimana juga pendapat dari politik modern, c.f. strong berpendapat dalam bukunya konstitusi-konstitusi bahwa; meskipun sangat penting dalam pemerintahan modern, fungsi legislatif sering kali dikalahkanoleh fungsi eksekkutif; pertama, karena tugas eksekutif modern tidak hanya terpusat pada pelaksanaan undang-undang, namun dalam banyak kasus juga mangajukan kebijakan untuk disetujui oleh lembaga legislatif; kedua, seperti yang telah dibahas sebelumnya, jumlah undang-undang kolektiv sangat banyak sehingga meskipun lembaga legislatif dapat menguasai pelaksanaan undang-undang, namun lembaga ini harus menyerahkan kekuasaan tak terbatas luas kepada pihak yang melaksanakannya (eksekutif). Dengan demikian, pertumbuhan demokrasi di negara-negar konstitusi modern menimbulkan paradogs ini, yaitu semakin banyak volume undang-undang yang disahkan oleh lembaga eksekutif pilihan rakyat dan kebutuhan rakyat memang menghendaki hal itu, maka semakin besar wilaya kekuasaan ekskutif yang tak terkontrol dalam pelaksanaan undang-undang yang dibuat dengan ara demikian.

Untuk itu dipahami bahwa dominasi eksekutif (eksekutif heavy) dalam ketatanegaraan sangat berpenagruh terhadap kewenagan lembaga-lembaga negaara lainnya, termasuk didalamnya ialah kewenangan lembaga legislatif terhadap pembentukan perundang-undangan. Dimana dalam hal pembentukan undang-undang presidn sangat mempunyai kewenagan yang diperluas sehingga dapat memumpuni kewenangan lembaga lain termasuk lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan membuat atau membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini akan di jelaskan lebih lanjut dalam pembahasan kewenangan presiden dalam pembentukan undang-undang di bawa ini.

Selanjutnya dalam hal yang sama yaitu praktek ketatanegaraan yang mengalami dominasi eksekutif atau bisa dikatakan bahwa praktek ketatanegaraan ini pernah terjadi di Indonesia tepatnya pada masa atau rezim era orde lama, dimana kewenagan lembaga eksekutif lebih mendominasi lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat yang pada masa itu mengalami intervensi lembaga eksekutif.

Dapat terihat dari pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan oleh lembaga eksekutif untuk menitip beberapa orang terdekat didalam bangku parlemen tersebut, atau dengan kata lain, jata 60% golongan karya didalam bangku parlemen atau Dewan Permusyawaratan Rakyat tersebut. Ismail Sunny dalam buku pembagian kekuasaan, menjelaskan bahwa; Sebab dibawah Demokrasi Terpimpin, tanpa adanya pemilu, maka seluruh anggauta MPR adalah dianggat Presiden semuanya. Dan dibawah orde baru, dengan hal pemilu hanya + 40%, maka + 60% anggauta M.P.R. adalah hasil penggangkatan. Ini menyebabkan badan legislatif tidak dapat mengontrol badan eksekutif. Artinya bahwa dalam hal kekuasaan lembaga-lembaga negara masih terdapat adanya kekuasaan yang lebih dominan atau dalam sistem pemerintahan yang dapat disebut sebagai negara yang mempunyai kecendurungan otoriterianisme.

Oleh karena itu akan lebih menarik jika dimulai dengan membangun sebuah pertanyaan seperti ini; apakah setelah keruntuhan kepemimpinan era orde baru tersebut, maka hal tersebut juga bergeser ? untuk sementara kita dapat menjawab nya secara singkat dan untuk mengawalinya kita dapat memberikannya jawabannya dengan mengakatan TIDAK ! sebab yang berganti hanyalah orang yang memakai jas di istana negara republik Indonesia tetapi rezimNya adalah sama atau tetap. Bagaimana tidak, setelah memasuki tatanan negara yang baru atau gerakan reformasi 1998 praktek ketatanegaraan-Nya masih tetap sama, terkait kasus diatas, jika lihat dalam praktek ketatanegaraan di indonesia masih mengalami kendala yang serupa, karena masih serupa sehingga dilakukan melalui wajah yang baru yaitu multi-partai tetapi masih dengan orang-orang atau elite politik yang sama dengan kata lain watak politik yang masih berbasis pada antropologi indonesia. dimana mempunyai sifat inferior terhadap sesama tetapi superior terhadap pihak luar.

Tergambar jelas pada kasus di masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudiono terkait dengan bank centuri, dimana terdapat praktek ketatanegaraan dengan masih adanya dominasi lembaga eksekutif (ekskutif heavy). pada buku berjudul menakar presidensialisme multipartai di indoneisa ditulis Djayadi Hanan dapat dipahami juga menjelaskan hal yang sama terkait dengan bagaimana “sistem multipartai memberikan keluasan bagi lembaga eksekutif dalam ketatanegaraan di negara republik indonesia, dan bagaimana kasus bank senturi menjadi contohnya dominasi eksekutif (eksekutif heavy) di indonesia

Begitu juga yang baru-baru ini terjadi dan yang paling serius direspon oleh publik yakni pengusulan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, meski ditentang oleh berbagai kalangan dan secara prosedural cacat dalam arti formil sebagaiman dapat dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011/ perubahan dalam Undang-Undang No 15 Tahun 2019, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengesahkan dengan berdalil merupakan iniseatif pemerintah atau minal hal-hal itu dapat dijadikan sebagai indikator sengketa kewenagan lembaga-lembaga negara, yang juga dalam hal ini adalah sengketa kewengan lembaga-lembag negara terhadap pembentukan perundang-undangan di Indonesia.

Maka dengan adanya itu, dapat dipahami bahwa corak perubahan dari agenda reformasi birokrasi negara yang sebatas prosedural ini, sebetulnya juga belum sedemikian pasti memberikan format kelembagaan yang demokratis akibat adanya kegagalan kosepsi yang berbeda dan praktek ketatanegaraan di Indonesia.  Sebagaimana yang dapat dipahami atau sekiranya apa yang didapat dari apa yang dijelaskan oleh  Hasyim wahid dkk dalam buku berjudul Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia

Demikian pula dengan judicial review oleh mahkamah konstitusi yang dapat mempengaruhi pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa dalam hal pembentukan undang-undang baik diawal perananangan sampai pada akhirnya yaitu pengundangan, Dewan Perwakilan Rakyat sangat berhati-hati dalam pembuatan undang-undang itu sendiri karena dapat sangat berpotensi diuji kembali oleh mahkamah konstitusi jika kemudian disingkronkan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hirarki perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang no 12 tahun 2011 pembentukan peraturan perundang-undangan, perubahan undang-undang No 15 Tahun 2019.

Terkait dengan kekuasaan kehakiman tersebut dalam bukunya Sistem Peradilan Berwibawa (suatu pencarian),  Bagir Manan berpendapat; Hakim-hakim dilihat bukan sekedar bouche de la loi atau spreekbius van de wet (mulut atau corong undang-undang)/ tetapi menjadi penerjemahdan atau pemberi makna  melalui penemuan hukum (rechtsvinding) atau konstruksi hukum (rechtsconstrucktie) dalam bentuk-bentuk penafsiran. Analogi, penghalusan hukum dan lain-lain, bahkan menciptakan hukum-hukum baru (rechtschepping) melalui putusan-putusannya (judge made law). (baca: Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (suatu pencarian), 2004).

Adapun hal-hal lain yang menajadi tambahan variabel atau Ni’Matul Huda menyebutnya dengan “potensi timbulnya sengketa antara lembaga-lembaga negara” yakni; pertama, Adaanya ketidaksamaan interpretasi terhadap kewenangan pembentukan undang-undang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, kewenangan lembaga Legislatif atau Dewan perwakilan Rakyat yang diabaikan oleh lembaga-lembaga negara lainnya. dan Ketiga, kewenangan lembaga Legislatif yang digunakan pula oleh lembaga-lembaga negara yang lainya.

Dengan demikian, jika kita menyadari ini secara jelas maka yang perlu dilakukan ialah memperbaiki diri dan Negara secara umum, dan cara-caranya lumayan sederhana untuk diselesaikan yakni ; pertama, ditinjau atau amendemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 agar secara jelas mengatur kewenangan lembaga Negara Kedua, kinerja partai politik dalam kehidupan bernegara dan elite Oligarki yang semestinya dapat digantikan dengan elite yang lebih representatif  dan, terakhir yang ketiga, jika perlu ketika pemilihan umum maupun pilkada semua warga negara menggunakan Hak konstitusional nya untuk menetap di rumah masing-masing dengan kata lain golput.

 

Penulis ; Moh. Y. K Salamun

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta

Reporter: KilatNews